IMBAUAN Presiden Soeharto agar perusahaan-perusahaan besar menjual sahamnya pada koperasi sebenarnya didasarkan pada pemikiran yang sederhana: supaya perusahaan-perusahaan swasta tidak merupakan enklave bisnis yang terpisah dari masyarakat tempat ia berada. Kalau bisa, suatu perusahaan swasta yang berada dalam suatu masyarakat harus menjadi bagian dari masyarakat, harus merupakan milik masyarakat. Contoh yang paling indah dan ideal adalah perkebunan teh atau pabrik-pabrik gula, atau pabrik-pabrik yang memproses bahan baku yang ditanam/dihasilkan oleh rakyat yang berada di sekitar pabrik tersebut. Misalnya perusahaan pengalengan jamur merang atau nanas. Itulah sebabnya PT Nusamba Indah memelopori penjualan saham kepada petani teh di Jawa Barat. Bisakah contoh seperti ini segera diikuti oleh pabrik-pabrik gula di Jawa, misalnya, yang notabene hampir semuanya milik negara? Kalau hal ini bisa dilaksanakan, pasti banyak permasalahan yang dihadapi oleh program TRI bisa diselesaikan. Kalau petani adalah juga pemilik pabrik gula, tidak akan ada keengganan petani untuk menanam tebu. Harga tebu tidak akan menjadi bahan sengketa antara petani dan pabrik, dan seterusnya. Nah, kalau memang begitu sederhana, mengapa sekarang nampaknya merupakan masalah yang sulit? Ya, tentu saja menjadi masalah sulit karena pemilikan saham oleh koperasi ini sekarang tidak lagi dipikirkan sebagai pemecahan masalah perusahaan yang menghadapi kesulitan kalau tidak mendapat dukungan petani/anggota koperasi. Sekarang pemilikan saham ini akan kita pakai sebagai alat/sarana untuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial yang sudah telanjur melebar. Perusahaan-perusahaan yang dimiliki para konglomerat sepertinya "harus" menjual saham kepada koperasi-koperasi, yang barangkali tidak ada kaitan langsung dengan eksistensi dan kontinuitas perusahaanperusahaan yang bersangkutan. Masalah kesenjangan sosial ekonomi yang dikedepankan oleh Presiden kepada para pengusaha konglomerat adalah masalah-masalah politik ekonomi nasional, yang tidak secara pas benar menjadi masalah bisnis yang bisa diatasi dengan penjualan saham kepada koperasi sebagai mitra bisnis perusahaan-perusahaan konglomerat. Pada hemat saya, imbauan ini akan cepat bisa dilaksanakan pada perusahaan-perusahaan perkebunan swasta/BUMN seperti tadi, yaitu teh, gula, kakao, karet, atau kelapa sawit, di Jawa ataupun di luar Jawa. Sebenarnya program PIR sudah didesain ke arah itu, karena secara jelas ada hubungan kaitan "saling ketergantungan" antara perusahaan besar sebagai inti dan petani-petani plasma. Petani adalah produsen bahan baku, sedangkan inti adalah perusahaan pemroses bahan baku tersebut menjadi barang jadi. Adapun kesenjangan sosial yang sekarang "memprihatinkan" di negara kita, pada pengamatan saya, tidak mudah kita kaitkan dengan kemitraan bisnis antara perusahaan dan koperasi. Bahkan koperasi karyawan, yang umumnya masih sangat kecil dan lemah, lebih banyak bersifat koperasi konsumsi atau koperasi simpan pinjam, yang sekadar membantu kesejahteraan para anggotanya. Maka, sulit membayangkan koperasi-koperasi ini memikirkan pencarian dana untuk membeli saham perusahaan tempat koperasi berada dan tempat karyawan anggotanya bekerja. Kalau kita realistis, haruslah diakui bahwa koperasi kita masih jauh dari sehat dan siap menggunakan peluang pembelian saham ini. Hendaknya perlu ditekankan, tujuan pemilikan saham oleh koperasi adalah pada peningkatan iklim dan semangat kebersamaan dalam perusahaan, yang sekaligus memberi manfaat peningkatan pendapatan para anggota koperasi, dan tidak pada perolehan dividen an-sich. Apabila tujuan peningkatan kebersamaan ini tercapai, langkah awal pengurangan kesenjangan sosial akan sudah tercapai, yang berarti ada langkah-langkah kongkret menuju perwujudan tatanan kehidupan ekonomi yang adil sebagaimana "diperintahkan" oleh GBHN 1988. Mengapa belum terlalu sering kita dengar "kabar gembira" tentang koperasi kita? Masalahnya memang banyak. Kita harus mengakui, pemerintah telah berbuat banyak untuk memajukan koperasi di negara kita. Namun, yang juga jelas, orientasi dan strategi pembangunan ekonomi pemerintah selama ini jauh lebih berhasil dari segi pertumbuhan (growth), bukan dari segi pemerataan (equity) atau keadilan (social justice). Memang, di negara mana pun yang menggunakan sistem pasar bebas, tujuan pertumbuhan jauh lebih mudah dicapai ketimbang pemerataan. Ini disebabkan "dunia usaha" yang berorientasi pada profit (keuntungan) yang selalu berpedoman pada (peningkatan) efisiensi secara terus-menerus, lebih mudah berkembang dalam suasana persaingan pasar bebas. Adalah tugas pemerintah di mana-mana untuk "mengatur" buah pertumbuhan ekonomi dan memeratakannya bagi seluruh warga masyarakat. Kalau dewasa ini kita prihatin bahwa kesenjangan sosial dalam masyarakat terasa terlalu lebar, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah kurang cepat "mengatur" hasil-hasil pertumbuhan ekonomi bagi pemerataan. Artinya, hasil-hasil pertumbuhan ekonomi yang telah meningkatkan kesejahteraan dan kekayaan golongan ekonomi kuat relatif lebih banyak yang dipergunakan untuk pembentukan modal lebih lanjut (atau menumpuk kekayaan), dan yang dipergunakan untuk program-program sosial pemerataan masih kurang memadai. Perkembangan koperasi sebenarnya memerlukan prasyarat (prakondisi) sistem ekonomi yang "memihak pada si miskin", sehingga ada ruang gerak luas bagi pengembangan kegiatan koperasi atas dasar inisiatif pribadi, dan ada motivasi kuat untuk menolong diri sendiri. Inilah salah satu kendala penting perkembangan koperasi. Strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pada dirinya mengandung isi "memihak pada yang kuat", yang peranannya besar bagi growth, bagi pertumbuhan ekonomi. Mengenai imbauan Presiden tersebut, koperasi harus menganggapnya sebagai kesempatan baik untuk lebih mempersatukan para anggotanya. Apabila melalui pembelian saham perusahaan, koperasi sebagai wadah anggota kini "didengar" suaranya dan "ikut serta" dalam menentukan policy perusahaan, maka secara teoretis, kepentingan ekonomi anggota bisa lebih efektif diperjuangkan. Sebaliknya perusahaan (kuat) yang telah memutuskan menjual saham kepada koperasi harus mampu pula memanfaatkan partisipasi aktif dari koperasi dan anggota-anggotanya, untuk lebih memajukan perusahaan. Misalnya, koperasi bisa lebih efektif mengawasi mutu produk bahan baku yang dihasilkan, petani anggota koperasi bisa lebih aktif menjaga "keamanan" hasil produksi, dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini