INI dialog langka. Beberapa jenderal bertemu dalam satu forum, berbicara mengenai hal yang sulit dikemukakan di depan umum. Malam itu, Selasa pekan lalu mereka hadir di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta, dalam acara syukuran, sekaligus memperkenalkan buku Memori Jenderal Yoga. Dan Yoga Sugomo, 65 tahun, siapa tak kenal, tiada lain bekas Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Buku setebal lebih dari 500 halaman itu diterbitkan oleh PT Bina Rena Pariwara, dipersiapkan selama lebih kurang 10 tahun dan disusun oleh bekas wartawan Suara Karya, B. Wiwoho, dan redaktur pelaksana Bisnis Indonesia, Banjar Chaeruddin. Buku ini dibagi dalam dua bagian utama. Bagian pertama berisi, antara lain, kesan dan pandangan sejumlah orang terhadap Yoga. Dan bagian kedua, yang disebut "Memori", berisi keterlibatan Yoga dalam beberapa peristiwa sejarah. Dalam acara di Sari Pan Pasifik malam itu, selain Jenderal Yoga Sugomo, hadir pula antara lain Menhankam Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani, Mensesneg Mayjen. Moerdiono, Pangab Jenderal Try Sutrisno, dan bekas Pangkopkamtib Jenderal (Purn.) Soemitro. Dan tiga pakar ilmu politik ditampilkan: Burhan Magenda, Nazaruddin Syamsuddin (keduanya dosen FISIP UI), dan Afan Gaffar, dosen pascasarjana Fisipol UGM. Menurut Burhan, membaca buku ini "seperti membaca detail dari sejarah politik bangsa kita". Berbeda dengan Burhan, dua peresensi lainnya melancarkan kritik. Menurut Nazaruddin, dari segi isi, buku ini dapat menjadi "korban" dari nama Yoga dan profesinya. Masyarakat mengharap lebih banyak dari biografi seorang intel, yang dapat menjelaskan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh bacaan-bacaan lain. "Hal inilah yang tidak dapat disuguhkan oleh Pak Yoga," katanya. Bagi Nazar, cerita tentang "Malari" bukan saja tidak tuntas, tapi juga terasa seakan-akan ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Misalnya timbulnya peristiwa itu semata-mata dianggap sebagai ulah kelompok PSI, sedang pengkaitannya dengan Ali Moertopo dan Jenderal Soemitro hanya dipandang sebagai sebuah isu. "Saya tidak tahu apakah kedua beliau itu memang terkait atau tidak dalam peristiwa tersebut, akan tetapi sebaiknya ada penjelasan untuk menolak isu yang beredar. Umpamanya, perlu dijelaskan mengapa Pak Mitro dipensiunkan segera setelah Malari," ujar Nazar. Peresensi lainnya, Afan Gaffar, senada dengan Nazar. Ia menyebut buku ini mengecewakan karena pengungkapan materinya tidak utuh dan lengkap. Yoga sendiri mengakui bukunya tidak sempurna. Dan yang diungkapkannya barulah lima persen dari "kekayaan kami di Bakin". Semula, maksud Yoga hanyalah menulis sekadar catatan buat anak-cucunya sendiri, agar mereka tahu andil bapak dan kakeknya dalam republik. Soalnya, setelah menginjak remaja, anak-anaknya menanyakan apakah memang benar bapak mereka seorang tentara, sebab "sering berpakaian preman" dan "pekerjaannya tidak jelas". Bahwa pengungkapannya tidak lengkap, diakuinya, karena ia adalah bekas kepala intelijen. "Saya tidak melihat manfaat untuk menjelaskan semuanya secara detail. Kecuali kalau dipaksakan juga menyusun buku semacam Spycalcher yang sekarang dilarang di Inggris itu," katanya sambil tertawa. Tapi ia masih ingin menulis memori kedua yang dijanjikannya akan mengungkapkan hal-hal yang lebih detail. Karena namanya disebut-sebut, Soemitro pun bicara, dan menegaskan bahwa Ali Moertopo bukanlah saingannya. Bahwa ia berhenti sebagai Pangkopkamtib, itu atas permintaannya sendiri kepada Presiden Soeharto, karena merasa gagal mengamankan Jakarta dari kerusuhan peristiwa "Malari". Setelah itu ia memanggil dan memerintahkan agar Ali Moertopo "merusak nama saya demi kepentingan Orde Baru". Ini ia lakukan setelah Pak Harto mengatakan kepadanya ada "kelompok Rahmadi", yang katanya memakai Soemitro untuk diorbitkan berhadapan dengan Pak Harto. Celakanya, "fitnah" itu jalan terus. Antara lain ia diisukan punya istri baru dan punya saham di Hotel Mandarin. "Rada dongkol saya," katanya. Ia lantas minta kepada Benny Moerdani, agar "nama saya jangan dirusak terus-terusan". Selain ia merasa tak bermusuhan dengan Ali Moertopo, tugas "menggarap" seperti itu bukan salah Ali. Tatkala diminta berbicara, Jenderal Benny secara bergurau menyamakan peran Yoga seperti halnya James Bond, agen rahasia beken dari Inggris ciptaan penulis Ian Fleming. Pengumpamaan profil Yoga Sugomo oleh Benny Moerdani ada alasannya. "Dalam buku ini disebutkan, Pak Yoga lulusan M16, Military Intelligence di Inggris. Sehari-hari, agen M16 yang kita kenal adalah James Bond," katanya. Hadirin tergelak. "Tunggu dulu. Ini lebih seru," tambah Benny. "James Bond itu kan ceritanya tak pernah tuntas. Dia selalu dikelilingi wanita cantik dan ia menang terus. Namun kita tak pernah tahu apa latar belakangnya, dan James Bond sendiri tak pernah menceritakan kenapa dia melakukan sesuatu. Ini adalah ciri seorang intel. Intel sendiri barang yang tidak jelas. Kan anaknya Pak Yoga sendiri menganggap bapaknya misterius." Begitu seloroh Jenderal L.B. Moerdani. Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini