Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

RUU PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI</font><br />Beleid ’Jalan Tengah’

Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah disahkan. Terdapat sejumlah pasal yang dinilai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.

5 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOR ”setuju” itu langsung diteriakkan seratusan anggota Dewan ketika Ketua DPR Agung Laksono bertanya, apakah Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disepakati untuk disahkan menjadi undang-undang. Selasa pekan lalu, akhirnya RUU itu disahkan tanpa interupsi atau catatan sedikit pun.

”Ini hasil kerja keras DPR bersama pemerintah,” kata Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Dewi Asmara, sumringah.

Hari itu semua tampak mulus. Padahal malam sebelumnya sempat muncul ketegangan antara DPR dan wakil pemerintah pada saat membahas ihwal kewenangan penuntutan—tercantum dalam pasal 1 ayat 4 RUU. Pemerintah menghendaki Komisi Pemberantasan Korupsi tetap diberi kewenangan penuntutan yang sama seperti kejaksaan, sebagaimana tertera dalam draf awal dari pemerintah. Sedangkan mayoritas fraksi menghendaki sebaliknya: penuntutan diberikan hanya kepada kejaksaan, sesuai dengan Undang-Undang tentang Kejaksaan dan hukum acara pidana.

Menghadapi ketegangan ini, lobi pun digelar. Pemerintah tetap berkukuh pada pendiriannya. Menurut Dewi, perwakilan fraksi-fraksi akhirnya menyepakati ”jalan tengah”, yakni menjadikan redaksional pasal tentang penun-tutan itu, ”sepanjang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Dewan, kata Dewi, pada dasarnya tidak ingin membuat lembaga negara yang satu lebih tinggi atau lebih kuat dari yang lain. ”Kami mempunyai spirit penegak hukum itu mempunyai kapasitas yang sama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,” ujarnya.

Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang baru telah lahir dengan ”selamat”. Namun ini tak berarti bahwa jalan menyikat para koruptor bertambah mulus. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, menyebut empat pasal yang rawan ”diselewengkan”. Pasal tentang pengertian penuntut umum, penyadapan, jumlah dan komposisi hakim, serta kedudukan pengadilan tindak pidana korupsi. ”Ini pasal-pasal yang sangat rentan diuji dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Pasal tentang pengertian penuntut umum, menurut Febri, dapat menimbulkan kekacauan hukum di beberapa daerah, karena ketentuan itu belum tegas menyatakan KPK juga berwenang melakukan penuntutan sebagaimana kejaksaan. ”Bagaimana jika ada hakim yang menafsirkan hanya kejaksaan yang berwenang menuntut?” tanyanya.

Lalu soal pasal penyadapan. Kendati telah direvisi, secara implisit pasal ini mensyaratkan, penyadapan harus dilakukan seizin ketua pengadilan. ”Padahal tidak perlu izin,” katanya. Dan soal pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di ibu kota provinsi dalam waktu dua tahun, Febri khawatir ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. ”Itu jika ternyata dalam waktu itu belum juga terbentuk pengadilan antikorupsi di ibu kota provinsi,” katanya.

Adapun tentang komposisi majelis hakim, Febri melihat bahaya di balik itu semua. Peran ketua pengadilan yang menentukan komposisi itu bisa dipakai untuk memangkas peran hakim ad hoc yang selama ini terbukti paling galak menghukum terdakwa kasus korupsi. Soal komposisi ini juga dikeluhkan Wakil Ketua KPK M. Jasin. Menurut dia, seharusnya soal komposisi hakim karier dan ad hoc ditentukan dengan jelas. ”Sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tuturnya.

Lantaran undang-undang itu dianggap mengecewakan, Febri menegaskan pihaknya bersama sejumlah lembaga antikorupsi lain akan membawa undang-undang baru ini ke Mahkamah Konstitusi. ”Kami akan melakukan uji materi,” ujarnya.

Bagi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, salah satu ”tantangan” undang-undang ini adalah mengimplementasikan soal jumlah pengadilan antikorupsi di setiap kabupaten atau kota. ”Bisa tidak seketika itu juga dibentuk?” katanya. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharamkan dualisme peradilan, menurut Andi, pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi tidak boleh dicicil karena pengadilan negeri tidak boleh menangani perkara korupsi.

Dalam soal ini Mahkamah Agung sudah memberikan ancang-ancang. Pengadilan tindak pidana korupsi akan dibentuk bertahap. ”Untuk permulaan, kami akan membuka pengadilan antikorupsi di tujuh ibu kota provinsi,” kata juru bicara Mahkamah Agung, Hatta Ali. Tujuh kota itu Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang, Medan, Makassar, dan Samarinda.

Namun Hatta Ali mengingatkan pembentukan pengadilan antikorupsi itu juga bergantung pada anggaran yang disiapkan pemerintah. ”Kalau pemerintah siap, ini bisa lancar,” ujarnya. Anggaran tersebut, katanya, akan digunakan untuk membayar gaji, fasilitas hakim, biaya administrasi, dan biaya operasional pengadilan. Hatta Ali optimistis, pengadilan tindak pidana korupsi akan terbentuk di semua ibu kota provinsi dalam waktu dua tahun.

Rini Kustiani, Anton A., Eko Ari, Sutarto

Dihadang di Pengadilan

Inilah pasal-pasal dalam Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang dinilai bisa menghadang kerja Komisi Pemberantasan Korupsi.

PASAL 1 AYAT 4
”Penuntut umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Tidak tegas menyebut selain kejaksaan, KPK berwenang melakukan penuntutan. Bisa terjadi hakim menafsirkan yang dapat melakukan penuntutan hanya kejaksaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

PASAL 3
”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”.

Pasal ini berkaitan dengan pasal 35 ayat 4: ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di ibu kota provinsi dibentuk paling lama dua tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan”.

Bisa menimbulkan ketidakpastian hukum apabila dalam waktu dua tahun pengadilan tindak pidana korupsi belum terbentuk di semua ibu kota provinsi. Jika kemudian perkara korupsi itu diproses di pengadilan negeri, terjadi dualisme peradilan, hal yang dilarang Mahkamah Konstitusi.

PASAL 26 AYAT 3
”Penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim ditetapkan oleh ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus”.

Lewat ketentuan ini, ketua pengadilan negeri bisa menetapkan majelis hakim, misalnya terdiri atas tiga hakim karier dan dua hakim ad hoc. Padahal sebelumnya, undang-undang mengatur jumlah hakim ad hoc lebih dominan ketimbang hakim karier.

PASAL 28 AYAT 1
”Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Penjelasan pasal: penyadapan sebagai alat bukti hanya dapat dilakukan terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan telah dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi.

Pasal ini dianggap membatasi wewenang penyadapan KPK karena penyadapan masih membutuhkan izin pengadilan. Padahal Undang-Undang KPK menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus