Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARUS kita katakan, Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu, menyimpan banyak cacat. Ibarat buah tak masak di pohon, peraturan itu manis di luar tapi masam di dalam.
Sebelumnya, undang-undang ini telah banyak jadi omongan. Ketika dibahas di legislatif, terasa betul bagaimana Dewan berusaha membonsai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui beleid ini. Dewan menyusun peraturan ini atas perintah Mahkamah Konstitusi, tiga tahun lalu.
Hak penuntutan Komisi, misalnya, hendak dicabut sama sekali dan diberikan kepada kejaksaan. Tanpa hak menuntut, Komisi hanya jadi macan ompong. Investigasi mereka bakal melempem jika tidak dirumuskan dalam materi tuntutan yang calak dan argumentatif. Penuntutan oleh kejaksaan dikhawatirkan tak maksimal mengingat jaksa masih rentan terhadap suap dan kongkalikong.
Wewenang penyadapan, yang selama ini menjadi pedang Komisi dalam mengungkap korupsi, juga hendak copot. Mayoritas anggota Dewan menghendaki Komisi hanya boleh menyadap setelah mendapat izin pengadilan. Padahal menyadap dengan izin pengadilan menyimpan kendala teknis: sementara Komisi menanti izin, koruptor keburu kabur. Lebih gawat lagi jika pengadilan tak netral atau menerima suap.
Setelah undang-undang ini disahkan, ”masam” itu tak hilang. Pasal 1 ayat 4 peraturan itu, misalnya, menyebutkan penuntut pengadilan tindak pidana korupsi adalah penuntut umum, sebagaimana diatur undang-undang. Sungguh celaka jika majelis hakim meninggalkan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan berpegang pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam kitab itu disebutkan, penuntut umum adalah jaksa.
Dalam beleid yang baru, hak penyadapan Komisi memang tak dicabut. Tapi dengan catatan: penyadapan mengacu pada aturan perundang-undangan. Sekali lagi, ada ”masam” yang mengancam: sebagian besar undang-undang yang mengatur penyadapan tak dibuat dengan semangat menggempur korupsi—kejahatan luar biasa yang harus diperangi dengan cara-cara tak biasa. Undang-Undang Telekomunikasi, misalnya, jelas-jelas melarang penyadapan.
Tak kalah berbahaya adalah perihal komposisi hakim karier dan hakim ad hoc. Peraturan lama menyebutkan komposisi hakim karier dan ad hoc adalah 2 : 3. Sejauh ini komposisi itu ideal karena hakim ad hoc—yang berasal dari luar birokrasi kehakiman—lebih bisa diandalkan dalam menggempur koruptor dibandingkan dengan sejawat mereka dari dalam birokrasi.
Dalam peraturan yang baru, komposisi itu ditentukan oleh ketua pengadilan negeri. Dengan kata lain, boleh jadi dalam sebuah pengadilan, jumlah hakim ad hoc lebih sedikit daripada hakim karier. Nah, hakim karier yang nakal dikhawatirkan akan melencengkan arah pengadilan—misalnya dengan menolak hasil sadapan sebagai alat bukti.
Sulit untuk tak kecewa terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Sulit pula untuk tak curiga bahwa mereka mengegolkan aturan itu untuk mengamankan diri—mengingat beberapa kasus rasuah Dewan yang sedang ditelisik komisi antikorupsi.
Tak bisa tidak, undang-undang ini harus digugat ke Mahkamah Konstitusi. Komisi antikorupsi harus berdiri di depan, terutama karena undang-undang mengharuskan judicial review dilakukan oleh mereka yang secara langsung dirugikan. Dewan Perwakilan Rakyat yang baru harus mengamendemen peraturan itu. Bagaimanapun, gerakan pemberantasan korupsi harus diselamatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo