Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEYOGIANYA, bagian paling mengharukan dari pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2009-2014, pekan lalu, adalah ketika mereka mengangkat sumpah. Betapa tidak: mereka bersumpah ”demi Allah”, bukan demi tambahan tunjangan pulsa telepon seluler, atawa demi studi banding, atawa demi lainnya.
Mereka bersumpah, ”demi Allah”, akan… ”bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan”… dan seterusnya. Dari ruang sidang yang megah itu, dan dari upacara yang membelanjakan uang rakyat hingga sekitar Rp 11 miliar itu, sumpah ini dibawa gelombang suara melalui berbagai frekuensi ke seluruh wilayah pemilihan umum legislatif.
Para pemilih, dari partai apa pun—pemenang atau pecundang—akan sama berharap para anggota Dewan memegang sumpah itu sebagai sumpah, yang akan menurunkan kutuk, laknat, dan tulah bila pelakunya tak menjalankan, apalagi berkhianat. Sebagian besar masyarakat tradisional, bahkan para pendengar, merinding bulu kuduknya jika dilibatkan dalam suatu upacara sumpah, saking luhurnya anggapan tentang betapa sakralnya upacara sumpah.
Betapa rendahnya anggapan tentang nilai sumpah telah dibuktikan oleh sebagian anggota Dewan dari periode sebelumnya. Ada anggota yang menganggap ruang sidang yang mulia itu sama saja dengan ruang tidur siang peninggalan leluhurnya, ada anggota yang menganggap membolos itu bagian dari tugas rutin, ada anggota yang tetap bisa ketawa setelah menilap uang rakyat, bahkan ada anggota yang masih berani mencalonkan diri sebagai ketua majelis meski angka absennya di masa lalu tinggi nian.
Secara kuantitas, produk Dewan periode yang lalu memang tak sekelonet amat. Mereka meloloskan sedikitnya 179 rancangan undang-undang. Bandingkan dengan periode sebelumnya, yang hanya meloloskan 175 rancangan undang-undang. Tapi, siapa pun tahu, sebagian besar rancangan undang-undang itu dikebut di akhir masa kerja, sehingga kualitasnya layak dipersoalkan. Ditambah dengan rendahnya tingkat kehadiran para anggota Dewan ketika membahas rancangan undang-undang itu, sempurnalah kelayakan mempertanyakan mutu kelolosannya.
Dari aspek komposisi, keanggotaan Dewan periode 2009-2014 sepertinya menimbulkan harapan. Mereka lebih berpendidikan, lebih muda, dan lebih menampilkan keterwakilan kaum perempuan. Mereka juga lebih ”glamor”, karena naiknya angka keterpilihan artis yang masuk lewat berbagai partai. Ada pihak yang meragukan kemampuan politik para artis ini, sesuatu yang sesungguhnya sangat tidak relevan. Jika boleh bicara jujur, lebih baik berurusan dengan artis sungguhan daripada dengan politikus yang belajar menjadi ”artis”.
Jika pun ada yang patut disiasati, agaknya, ialah naiknya angka ”fraksi darah biru”, yakni anggota Dewan yang masih bertali-temali hubungan keluarga dengan para tokoh di bidang eksekutif, legislatif—pokoknya yang masih atau pernah ”berkuku” di level kekuasaan. Jumlah mereka memang tak banyak, tak sampai tiga puluh orang, termasuk putra dan adik ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka, sebetulnya, menghadapi tantangan lebih berat daripada anggota Dewan lainnya, yakni membuktikan diri tidak sekadar ”menumpang hanyut”.
Tanpa kehilangan optimisme, kita tetap berharap dapat menggantungkan harapan kepada para anggota Dewan yang baru ini. Semoga mereka tak silau oleh berbagai ”peluang” yang bisa merendahkan marwah dan martabat mereka. Semoga mereka mendapat kekuatan memegang sumpahnya. Dan sebaliknya: semoga mereka tak tertimpa kutuk, laknat, dan tulah karena mengkhianati sumpahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo