Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga nama calon pelaksana tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dikabarkan telah disepakati Tim Lima pekan lalu. Tim yang dibentuk dengan keputusan presiden ini seharusnya menyerahkan tiga nama itu kepada Presiden pada Jumat silam, tapi rencana Presiden untuk mengumumkannya sehari kemudian tertunda karena Presiden segera berangkat mengunjungi Sumatera Barat, yang terkena gempa besar.
Belum diketahui kapan tiga nama ini akan dilantik. Yang pasti, siapa pun mereka, sulit untuk diharapkan meningkatkan kerja Komisi bila Presiden tak mengambil tindakan keras pada polisi yang menyalahgunakan wewenang terhadap pimpinan Komisi. Terutama yang dilakukan pada saat penyidik polisi menetapkan status tersangka pada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah—yang semula diperiksa karena dugaan penyuapan—menjadi disangka menyalahgunakan wewenang ketika mencekal dan mencabut pencekalan terhadap Joko Tjandra dan Anggoro, dua pengusaha yang dikenal dekat dengan banyak petinggi polisi dan kini berstatus buron.
Kendati tindakan kedua pemimpin Komisi itu sesuai dengan aturan internal institusi mereka, penyidik polisi berkeras bahwa aturan itu bertentangan dengan undang-undang. Ketika diinformasikan bahwa polisi tak berhak menilai apakah aturan lembaga penegak hukum lain bertentangan dengan undang-undang atau tidak, para penyidik itu dikabarkan hanya berkilah ”ini perintah atasan”. Wajar jika protes mengalir. Sulit menghindarkan kesan bahwa polisi memang ingin melemahkan Komisi.
Ini sikap yang gampang ditemui di negara yang penuh korupsi. Komisi didirikan terutama karena institusi penegak hukum yang ada dianggap tak mampu bergerak, bahkan telah terjangkiti korupsi. Itu sebabnya, pada Pasal 6 Ayat c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jelas dinyatakan bahwa Komisi mempunyai tugas ”supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Tugas supervisi ini tentu tak mungkin dilakukan tanpa wewenang melakukan penyelidikan yang dapat berujung pada hukuman atau sanksi. Karena itu, pasal 11 ayat a undang-undang yang sama memberikan kewenangan kepada Komisi untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang ”melibatkan aparat hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara”.
Namun, apabila setiap kali Komisi melakukan penyelidikan terhadap petinggi polisi lantas pimpinan Komisi ditersangkakan dengan alasan yang dicari-cari, lembaga ini tak akan mampu menjalankan tugas yang diamanatkan undang-undang itu. Adalah penyelidikan Komisi pada dugaan keterlibatan Kepala Badan Reserse Kriminal Susno Duadji dalam kasus pencairan dana Bank Century yang diduga menjadi penyebab ditersangkakannya Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Dugaan ini belum tentu benar, tapi itulah kesan yang muncul di masyarakat.
Itu sebabnya, sebelum membahas usul Tim Lima, Presiden sepatutnya menonaktifkan dulu Komisaris Jenderal Susno Duadji dari jabatannya yang membawahkan para penyidik polisi. Setidaknya sampai polisi betul-betul menemukan bukti kuat bahwa Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah terlibat kasus penyuapan. Ini untuk memastikan para penyidik polisi dapat bertindak obyektif.
Ini tentu dengan asumsi Presiden Yudhoyono memang serius dalam upaya memberantas korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo