DI Tahun 1981, di satu sudut Jakarta ditemukan mayat dengan 13 bagian tubuh yang terpotong-potong. Kini kabar yang mencekam orang Indonesia, khususnya Jakarta, adalah nasib Nyonya Diah yang jasadnya jadi tujuh keping. Meskipun bukan buat pertama kali kaget, masyarakat terkesiap juga terhadap tindakan sadistis itu. Gejala baru? Orang memang melihat tanda-tanda. Jauh dari Jakarta, di Aceh, misalnya, seorang tewas dengan kepala terpisah dari badan, lengan kiri putus. Kenapa? Rusli, lelaki itu, dibunuh hanya karena ia memetik buah kelapa milik abangnya. Kejadiannya di bulan Puasa, 4 Mei lalu. Hari masih pagi ketika Rusli, 28 tahun, penduduk Seuneubok Buloh, Pemukiman Blang Guci, Idi Raeyuk, Aceh Timur, pergi memetik buah kelapa di kebun milik M. Nur, abangnya. Rupanya pengantin yang baru menikah sebulan itu butuh tambahan uang untuk menyambut Lebaran. Kebun kelapa milik Nur terletak di Seuneubok Meurdu, satu kilometer dan rumah Rusli. Sedang asyik Rusli memetik kelapa, Usman Napi, paman Nur, kebetulan lewat. Ia segera lapor ke Nur. Siasat pun kemudian diatur. Usman mendatangi Rusli dan Nur menunggu di semak-semak. "Kau naik kelapa, ya?" tegur Usman pada Rusli yang sedang menguliti kelapa. "Ya, untuk menambah beli daging," sahut Rusli tanpa rasa bersalah. "Bukankah kelapa ini milik abang kandung saya?" katanya lagi. "Minta untuk aku dua bijilah," pinta Usman. Rusli menurut. Ketika parangnya dipinjam Usman, Rusli juga tak menolak. Tiba-tiba Usman menebas bahu kanan Rusli. Rusli meraung. "Minta ampun, jangan dibacok saya, Pakcik," ratapnya. Tapi sekali lagi parang diayun, kali ini telinga kiri Rusli yang hampir copot. Dengan berlumur darah, Rusli menghambur lari. Tapi rupanya ia harus mati hari itu. Di depannya sudah berdiri M. Nur, dengan cangkul di tangan Abang kandung itu menyambutnya dengan hantaman cangkul pada lengan kanan. Nyaris putus. Usman, yang datang dari belakang, menjambak rambut Rusli, dan leher anak muda yang baru sebulan kawin itu digoroknya. Mayatnya diseret ke semak-semak dan ditutupi daun kelapa. Yang membuat masyarakat di Aceh Timur gempar, kedua penjagal itu bukanlah mereka yang selama ini malang melintang di dunia kriminal, M. Nur, 36 tahun, adalah petani yang sehari-hari berjualan jagung bakar. Ayah tiga anak ini selama ini tak pernah berurusan dengan polisi. Usman Napi juga orang baik-baik. Sehari-hari ia berdagang kue keliling dari desa ke desa. Entah mengapa mereka seperti ringan saja mencopot hidup Rusli hari itu. Begitu pentingkah masalah hak milik, hingga soal itu harus dipertahankan dengan begitu keras? Jauh di Nusa Tenggara Timur sana, soal yang mirip dengan akibat kebengisan yang mirip uga pernah terjadi. Ini April tahun lalu. Efrain Bobo, 22 tahun, penduduk Desa Fatunisuan, Timor Tengah Utara, dituduh jadi dalang pencurian 27 kuda di wilayah kering kerontang itu. Bujangan itu dijemput dari desanya oleh empat orang penduduk Desa Kiuola. desa tetangga Fatunisuan. Setelah berjalan kaki hampir lima jam, di hutan Elonaek, Bobo disikat oleh dua penjemputnya, Yosep Siuk Pakai dan Dominikus. Kepalanya ditebas parang sampai putus, lidah dan kemaluannya dipotong dan dilahap si pembunuh. "Agar roh si mati tak mengejar," ujar Yosep memberi alasan. Lalu sisa potongan tubuh Bobo dibakar habis. Kasus lain terjadi juga di Tangerang, Jawa Barat, pekan lalu. Kamsin, pemuda 25 tahun, yang memang sudah bercap bromocorah, tertangkap ketika membuka genting dapur Ibu Sawiyah di Kampung Selon, Desa Kaliasin, Sabtu malam pekan lalu. Sang nyonya rumah memergokinya dan berteriak-teriak minta tolong. Kamsin pun lalu dikejar-kejar ratusan penduduk yang membawa lampu petromaks dan senter. Malang, Kamsin kecebur di sumur. Tanpa ampun, orang banyak itu menyerbunya. Sebuah cerita menyatakan, Kamsin kemudian dibakar ketika ia masih berada dalam sumur yang ternyata kering. Sumur kosong tempatnya terjatuh dijejali sampah oleh ratusan penduduk. "Siramkan bensin, siramkan bensin," teriak orang banyak. Dan Kamsin pun disulut hidup-hidup. Mayatnya yang hangus kemudian digeletakkan di pinggir jalan raya. Apa gerangan sebab tindakan kekerasan itu? Ketika hal ini ditanyakan kepada para ahli, ada beberapa jawaban ditawarkan. Prof. Dr. Daldiri Mangoendiwirjo, Kepala Lab Kedokteran Jiwa RSUD dr. Sutomo Surabaya, misalnya, menduga tindakan sadistis yang terjadi belakangan ini "seiring dengan industrialisasi yang berkembang pesat". Masyarakat semakin egoistis dan materialistis. "Segalanya diukur dengan barang," kata Daldiri. Akibatnya, orang kehilangan rasa menghargai sesamanya. Ditambah lagi. penghayatan terhadap nilai-nilai agama umumnya juga kurang. Dr. Jamaludin Ancok, psikolog dari UGM Yogya, mirip pendapatnya. Menurut dia, perubahan tata nilai yang "lebih mengarah kepada materialisme" membuat manusia gampang dijangkiti sadisme. Karena, "sikap materialistis itu berdampak mengurangi nilai-nilai moral, sebagai penyejuk. seperti kesetiakawanan atau agama," ujar Ancok. Menurut Ancok pula, sikap materialistis memacu orang untuk selalu tidak sabar dan stres dalam kerja. "Stres di kantor lalu dibawa ke rumah," kata Ancok. Contohnya, di Amerika Serikat, sampai sekarang sudah ada 103 pembunuhan anak oleh orangtua akibat stres yang menimbulkan emosi membabi buta. Di Indonesia, Jamaludin Ancok menilai, sudah mulai muncul sifat seperti ini. Kurangnya penelitian tentang masalah ini menyebabkan pendapat seperti yang dikemukakan kedua pakar itu belum bisa dianggap sahih. Ada pendapat lain, bahwa faktor "industrialisasi" tak bisa menjelaskan kasus yang terjadi di pelosok Aceh dan di Nusa Tenggara Timur. Juga tak jelas, sejauh mana kasus kekerasan di daerah seperti Aceh bisa disebut sebagai akibat kurang "penghayatan nilai-nilai agama". Dalam sejarah agama-agama, penghukuman dengan membakar dan merajam justru juga dilakukan. Pembunuhan yang kejam juga diperbuat di masa lampau, ketika sikap "materialistis" umumnya belum dikatakan ada. Studi antropologis tentang masyarakat Afrika zaman lalu, misalnya, di wilayah Buganda, menunjukkan pembantaian tak jarang dilakukan, hanya karena sang raja semalam bermimpi buruk. Di Jawa di abad ke-18 sendiri, seperti dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, Trunojoyo dibunuh beramai-ramai, dan hatinya diserpih untuk ditelan, serta kepalanya diletakkan di pintu keputren untuk jadi alas kaki. Tapi toh ada yang melihat unsur jaman modern dalam soal kekerasan ini. Baik Jamaludin Ancok maupun Prof. Daldiri sepakat menganggap film action merangsang seseorang untuk berperilaku agresif. "Film-film itu jelas berpengaruh pada perkembangan jiwa," kata Daldiri. Terutama anak dan remaja. Pengaruh film itu juga yang pernah diduga jadi penyebab pada kasus yang terjadi di Kisaran, Medan, baru-baru ini. Hari itu Jailani Naibaho terbunuh. Anak berusia 11 tahun itu mati dengan kepala koyak dan peluru senapan angin kaliber 4,5 mm bersarang di otaknya. Sehari setelah Lebaran, Jailani diajak temannya, Pauk, 12 tahun, berburu burung di kawasan Perkebunan Tanah Raja yang cukup luas itu. Tengah hari kedua anak itu berangkat jalan kaki. Pauk menenteng senapan angin 4,5 mm "Benyamin" milik bapaknya. Di tengah jalan, Muhammad Ismail Lubis, siswa kelas I SMPN 3 Kisaran, bergabung dengan dua sekawan tadi. Kemudian terjadilah musibah itu. Pada suatu saat, Jailani ditemukan tergeletak. Dari pelipis kirinya mengucur darah segar. Kabarnya, seperti dalam film koboi, Ismail menodongkan "Benyamin" 4,5 mm itu ke arah Jailani dalamjarak sekitar satu meter. Lalu, jebret! Menurut sumber harian Kompas, kedua anak itu sedang main-main meniru film yang kini sedang ramai. "Sebab, sebelum korban ditembak, keduanya sedang melakukan aksi tembak-menembak, layaknya dalam adegan film," ujar sumber Kompas itu. Benarkah? Ismail Lubis sendiri pada TEMPO mengaku tak sengaja menembak pelipis Jailani. Waktu itu ia sedang membidik seekor, burung. Belum sempat menembak, sang burung terbang. Tatkala memperhatikan ke mana arah terbangnya burung, kaki Ismail kesandung akar kayu. Tak sengaja, picu "Benyamin" di tangannya tertarik dan senapan itu menyalak. Robeklah pelipis Jailani. Jika cerita Ismail benar, ini memang tak ada hubungannya dengan pengaruh film. Tapi toh ada anggapan bahwa kepekaan orang akan tingkat sadisme dan korbannya sangat dipengaruhi oleh film. Bahkan Mayor Bambang S.W., dari Polres Asahan, tempat terjadinya tragedi Jailani, menganggap, "film kartun untuk anak-anak pun penuh adegan tembak-tembakan." Yang banyak bisa dituding tentu saja film kungfu, di mana biasa tersaji adegan darah muncrat dari mulut, dan di mana sadisme seakan-akan bisa dimaafkan bila seimbang dengan tingkat dendam yang ada. Film nasional pun, seperti Si Pitung dan Jaka Sembung, juga bisa dianggap ikut menyebarkan penerimaan kepada sadisme, dalam menirukan film kungfu Hong Kong. Toh sutradara kawakan Fritz G. Schadt tak setuju pada anggapan bahwa orang jadi garang gara-gara film keras. Kekerasan tak cuma di film, tapi juga di media lain dan juga tayangan berita di TV yang penuh darah muncrat -- misalnya adegan perang. "Apakah itu membuat orang meniru? Kan tidak," kata Fritz. Prof. Singgih Gunarsa, ahli psikologi perkembangan dan guru besar UI, juga menilai film tak terlalu berpengaruh membentuk perilaku sadistis. Penyebab utama adalah masalah kepribadian. "Sadisme yang merupakan ungkapan rasa jengkel, kecewa, putus asa, dan segala yang tak mengenakkan itu berkaitan erat dengan struktur dan fungsi kepribadian seseorang," analisanya. Ini menyangkut masalah pengendalian diri serta kematangan individu. "Jika fungsi kepribadian melemah, maka pertahanan dirinya jebol, tidak terkontrol, dan ia bisa melakukan tindakan sadistis," tutur psikolog itu lagi. Dalam kata-kata Iman Santosa Sukardi, ahli psikologi lain dari UI juga, dalam perilaku sadistis tak cuma faktor "eksternal" yang harus diperhatikan, tapi juga faktor "internal", alias diri si pelaku sendiri. Kalau seseorang berkepribadian baik dan juga tak kecewa dalam hidupnya, tiba-tiba berubah jadi seorang sadis, menurut Singgih Gunarsa, itu diakibatkan faktor stimulans. Yaitu, faktor penekan dari luar yang dilakukan secara terus-menerus yang membuat individu merasa dirinya terancam. Faktor penekan itu bisa berbentuk uang, kedudukan, kecemburuan, situasi sosial, dan lainnya. Dengan tekanan terus-menerus, individu akan kehilangan kontrol rasionalnya dan ia akan melakukan tindakan di luar batas. Kalau Agus Abu Naser benar pembunuh Nyonya Diah -- dan kalau benar ia sebelumnya orang baik-baik -- agaknya faktor stimulans inilah yang membuatnya nekat. Para ahli sejauh ini memang baru mencoba menjelaskan dasar umum perilaku sadistis -- satu hal yang menunjukkan kekurangan dunia kriminologi Indonesia kini: tak ada penelitian memadai tentang itu.Toriq Hadad, Irwan E Siregar, Sarluhut Napitupulu, Priyono B Sumbogo, Linda Jlil, Slamet Subagyo dan Herry Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini