Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pengakuan pak guru, tersangka

Profil agus naser atmadiwirja yang dituduh sebagai pembunuh mayat terpotong 7. ia mengaku membunuh istrinya, ny. diah holidah, yang mayatnya ia potong menjadi 7. ia kesal dan sering bertengkar.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA lengkap, dalam pengakuannya kepada polisi, Agus Naser Atmadiwirja. Lahir di Surabaya, 25 September 1935. Lulus Sarjana Muda Fisika IKIP Negeri Jakarta tahun 1962. Ia menjadi pegawai negeri sejak 1964. kini bergolongan III C. Mengajar fisika di SMA Muhamadiyah, Jalan Garuda, Kemayoran, sejak 1973 sebagai guru yang diperbantukan. Jabatan kepala sekolah dipegangnya sejak 1983. Nama panggilannya Pak Naser atau Pak Agus. "Ia seorang guru yang disiplin. Datang paling awal dan pulang paling akhir." kata wakil kepala sekolah itu Susilo Wardoyo. Tetapi kegiatan sekolah sore hari, misalnya rapat, Agus hampir tak pernah muncul. Ia punya sambilan mengajar di Sekolah Menengah Farmasi (SMF), Jalan Percetakan Negara. Seminggu hanya mengajar empat jam, khusus untuk metematika. Honornya Rp 68 ribu. Total penghasilannya mencapai Rp 30 ribu. Kesan umum mengenai Agus: orangnya kalem, mahal senyum. Humornya kurang. Ia memang guru angker. Disiplinnya ketat. Kini Pak Guru itu dituduh telah memunuh istrinya. Nyonya Diah. Mayatnya, yang dipotong tujuh, ditemukan di Jalan Pemuda. Banyak rekan guru atau muridnya yang kaget. Jangankan membunuh, beristri dua pun banyak yang tak menduga. Di balik jeruji besi ruang tahanan Polsek Cisewu, Garut, Jawa Barat. Pada 3 Mei lalu, sekitar pukul 23.00, Agus minta kertas kosong dua lembar. Dengan tangannya sendiri ia menuliskan pengakuan: Saya khilaf dan tidak sadar telah membunuh istri saya. Karena panik dan takut. saya mencoba menghilangkan jejak dengan membuang mayat itu. Saya memotongmotongnya kemudian memasukkan ke dalam dua karung. Dengan sepeda motor saya buang mayat itu. Badan dan telapak tangannya saya buang di Cempaka Putih. di tepi sungai dekat kantor Kecamatan Cempuka Putih. Sedangkan sisanya saya letakkan di Jalan Pemuda depan IKIP Rawamangun. Seluruhnya suya lakukan sendiri, di rumah saya. Tidak ada orang yang tahu dan yang membantu saya. Saya tidak melapor ke siapa pun termasuk ke polisi. Saya takut karena ini hal yang baru saya alami. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas kekhilafan saya tersebut, hingga menyalahkan semua fihak. Saya siap menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan pengadilan. Saya khilaf dan tidak sadar. Saya juga istighfar, mohon ampun dari Allah Swt. Di hadapan Kapolres Garut, Letkol. Somantri, Agus juga mengaku secara lisan. Guru yang tak pernah melepas kopiahnya itu mengaku membunuh karena kekesalan yang menumpuk terhadap istrinya. "Di rumah ia sangat dominan. Mencuci piring, dan menghidangkan makanan saja, harus saya yang melakukannya." katanya. Di mata Agus Diah adalah wanita yang keras, tak pernah mau mengalah. Watak itu menurut Agus sudah diketahui sejak pernikahannya tahun lalu. "Apalagi kemudian kami punya anak. Saya berharap suatu ketika Diah akan berubah. Ternyata tidak. Kami sering bertengkar. Pertengkaran kami lakukan di dalam kamar, agar tak diketahui anak. Itu sebabnya mereka melihat kami tampak harmonis." kata Agus. Bertahun-tahun tertekan. Kehadiran Saadah membawa angin baru. Janda beranak dua -- ketika itu berusia 25 tahun yang berkulit kuning dan kecantikannya hanya dinilai 6 oleh Agus itu akhirnya menggaet hatinya. Apalagi kata Agus kehidupan seks Diah mulai dingin. "Mula-mula saya memaklumiya. Mungkin Diah lelah sehabis mengajar." Namun, belakangan Diah sering menolak kebutuhan biologis Agus. Apa boleh buat, ia terpaksa mencarinya dari Saadah. "Selama setahun kami menjalin hubungan asmara dengan Saadah, tanpa diketahui anak-anak dan istri saya," katanya. Dalam pemeriksaan polisi, Saadah membenarkan majikannya ini suka iseng. Ia meladeni Agus, biasanya pagi hari. Itu dilakukannya berbulan-bulan. Karena berzinah dirasa tidak baik, akhirnya Agus melamar Saadah. Keduanya menikah pada 1983. Saadah mendapatkan jatah sepertiga dari gajinya. Memang gaji yang memperuncing hubungan Agus-Diah. Januari lalu, ketika Agus tak masuk kantor, ada pegawainya yang mengantarkan gaji ke rumah. Ternyata, gaji sebenarnya berbeda dengan yang selama itu diterima istrinya. Persoalan semakin ruwet setelah muncul lagi masalah rumah yang belum dimiliki. "Padahal, sebentar lagi saya pensiun," kata Agus. Diah setuju Agus mengambil rumah BTN. Uang muka BTN terkumpul Rp 1 juta. Kata Agus, uang itu sumbangan dari kakak plus saudaranya. Jumlah ini masih kurang Rp 400 ribu. Ia berharap Diah bisa menombok kekurangan itu. "Laki-laki tak mau bertanggung jawab," kata guru TK itu mengomel. Diah akhirnya menjual kalung dan memnjam uang dari TK Trisula untuk melunasi uang muka rumah di Depok Timur. Agus ternyata tak bisa melunasi pinjaman dari TK Trisula itu. Diah marah dan menuduh suaminya ingkar. Cekcok sengit tak terhindarkan. Waktu itu pada 7 April sehabis makan sahur. "Karena di rumah cuma kami berdua, pertengkaran tidak seperti biasanya di dalam kamar, tapi di ruang makan," katanya. "Saya benar-benar merasa tersinggung ketika dilecehkan dan disebut sebagai laki-laki tak bertanggung jawab. Saya jadi gelap mata. Tanpa pikir lagi saya hantamkan itu kayu ke kepalanya. Dua kali hantaman istri saya rebah, tapi masih bisa melawan. Di saat itulah saya jambak kepalanya, dan saya hantamkan ke tembok. Setelah saya goyang-goyang tidak bergerak, barulah saya sadar. Istri saya sudah meninggal." Ia mulai panik. "Yang saya pikirkan bagaimana menghilangkan jejak," katanya. Mayat segera diseret ke kolong ranjang, dan pintu kamar dikuncinya. Darah yang mengotori lantai segera dilap. "Kalau ketahuan anak-anak, wah, mampuslah saya. Selama satu jam saya mengepel, pukul lantai sudah bersih. Anak-anak yang lewat pun tak meiihat bekas ceceran darah." Sekitar pukul 11.00 Agus meminta anak-anaknya mencari ibunya. Saat itu dimantaatkan untuk membuang mayat istrinya. "Kalau saya punya mobil, saya tidak akan memotong-motong mayat istri saya. Langsung saya buang". Kebetulan di rumah ada dua karung plastik dan ada pula golok yang baru saja diasah sehari sebelumnya. Hanya dua jam ia mencincang mayat Diah. "Itu semua saya lakukan sendirian, dan perasaan saya bukan main takutnya."Widi Yarmanto (Jakarta) Hasan Syukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum