NYONYA Diah dikenal pemurah. Sebagai guru taman kanak-kanak, bukan rahasia lagi, menjelang Lebaran ia sering menerima bingkisan dari orantua murid. "Hampir setiap Lebaran, saya kebagian kain." kata tetangganya, Nyonya Saleh. Ada tas, kain, atau pakaian yang dibagi-bagi "sinterklas" Diah. Tapi tidak pada hari Idulfitri kali ini. Ia telah menghadap kepada-Nya -- dengan tragis -- April lalu, sebulan sebelum Lebaran. Diah Holidah, 46 tahun, adalah anak nomor empat dari delapan putra-putri Kartobi, 80 tahun, dan Emih, 70 tahun. Ia dibesarkan di Bandung sampai lulus Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SGTK) tahun 1963. Masa pacaran dengan Agus Naser, pemuda asal Desa Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, berjalan pada waktu sekolah itu dan kemudian diakhiri dengan perkawinan. Agus lalu memboyong istrinya ke Jakarta. Kebetulan ayah Agus bertugas di Departemen Agama di Ibu Kota. Pasangan pengantin baru ini lantas membangun pavilyun di rumah orangtua Agus di Jalan Percetakan Negara VI. Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat. Di Jakarta. Diah tak langsung bekerja sebagai guru. Ia, yang punya tubuh gempal dengan kulit kuning bersih itu, pada mulanya dilarang suaminya bekerja. Baru setelah anak ketiganya berusia 3 tahun. Diah lekerja di TK Trisula, Salemba, Jakarta Pusat, tahun 1977. Gaji terakhirnya tercatat Rp 100 ribu. Pasangan beranak tiga ini -- tertua 23 tahun dan terkecil 15 tahun -- di mata banyak orang terlihat sebagai sejoli yang mesra. "Ke mana-mana, biarpun dekat, Diah diantar suaminya naik Honda Bebek," kata tetangganya. Melihat kemesraan Agus dan Diah, tetangganya sering menggoda, "Pacaran terus. ya'?" "Kalau ada pertemuan PKK malam hari, Diah selalu minta ditemani, entah oleh suami atau anaknya," kata tetanganya. Sebagai sekretaris PKK Kelurahan Rawasari dan Bendahara PKK RW, ada saja yang mesti diurus Diah. Belum lagi keikutsertaannya dalam Majelis Taklim. Penampilan Diah sering dikagumi ibu-ibu PKK. Dengan celana panjang atau rok, Diah tetap rapi dan anggun. Diah, yang sudah punya satu cucu itu, sesekali ke salon untuk mengecat rambutnya yang memutih. Namun, hidup keluarga yang sebenarnya ternyata tak seperti yang dilihat tetangganya, yang serba lurus itu. Ia tak pernah menduga bahwa suaminya membagi perasaan dengan perempuan lain. Bagaimana tak percaya? Almarhumah, kata Nyonya Prawoto, yang sering bergaul dengan Diah, pernah mengatakan bahwa suaminya sering menyiapkan sarapan selagi ia masih pula tidur. "Bahkan Agus juga yang mengelap sepatu Diah," kata Tyonya Prawoto. Namun, diam-diam ternyata Agus memendam ketidakpuasan. "Di rumah ia sangat dominan (lihat Pengakuun Pak Guru Tersangka). Istrinya dinilai membandel dan tak pernah mengalah. Puncaknya, Diah mulai dingin di ranjang. "Bayangkan saja, sebagai laki-laki, wajar kalau saya meminta hubungan badan. Tapi istri saya sering menolak," kata Agus. Itu tampaknya sudah berlangsung lama. Maka, ketika tahun 1981, ada wanita lain dalam rumah itu, Agus merasa menemukan jenis pribadi yang lain. Dia adalah Saadah atau biasa dipanggil Adah, yang ketika itu berusia 5 tahun. Adah, masih keluarga dekat Diah, bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Agus. Ayah Diah dan Saadah adalah saudara sepupu. Adah, yang bertubuh tipis dengan wajah berahang lebar itu, dijemput Diah dari kampungnya yang sepi dan tak bisa dilalui kendaraan roda empat, Cikangkung, Cisewu, sekitar 140 km dari di Garut, Jawa Barat. Ketika itu Adah baru saja ditinggalkan suaminya dengan dua anak. Sejak itu Agus mulai main kucing-kucingan. Menurut Adah, setiap hari Agus cuma pura-pura berangkat bekerja. Padahal, ia kembali lagi ke rumah pukul 09.00, ketika istri dan anak-anaknya sudah keluar rumah. "Pak Agus lalu memaksa saya untuk melayaninya," tutur Adah. Kenakalan Agus itu berlangsung hampir setahun. Kedua insan itu akhirnya sama-sama "bertepuk" dan sepakat untuk kawin. Saadah disuruh pura-pura berpamitan kepada Diah untuk pulang ke kampunnya di Cikangkung. Bagi Diah, tak ada persoalan apa-apa. Tapi Agus lantas menyusul Adah ke kampungnya. "Saya kira ia akan membujuk agar Adah kembali ke Jakarta. Ternyata ia malah melamar Adah," ujar Sarwita, ayah Saadah, seorang petani. Sarwita dengan halus menolaknya, karena Agus punya istri yang masih saudara dekat Adah. Tapi dua minggu kemudian Agus datang lagi dan mendesak agar dinikahkan, karena keduanya sudah sering berhubungan badan. Akhirnya, 1983, setelah menunjukkan surat keterangan sebagai duda ditinggal mati istrinya. ia dinikahkan. "Dibandingkan Diah, Saadah tidaklah terlalu cantik," kata Agus. Namun, istri mudanya itu punya kelebihan lain dibanding Diah. "Apa yang tidak saya dapatkan dari Diah diberikan oleh Saadah. Termasuk soal seks." Setelah mereka resmi sebagai suami-istri. Agus memboyong Adah dan seorang anak dari suami terdahulu ke Jakarta. Ia mengontrak sebuah rumah petak berukuran 2,5 x 7 meter di bilangan Jalan Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Agus setia mengapeli bini keduanya ini. Giliran Adah siang sampai hari mulai gelap. "Semula saya kira Agus itu tukang kredit. Soalnya, kalau datang siang hari lalu sore pergi lagi," kata Sri Asih, yang tinggal hanya berbatas tripleks dengan Adah. Kalau datang, Agus lantas masuk rumah tanpa basa-basi dengan orang di kiri-kanannya. Hanya sepeda motornya saja yang ditinggal di depan rumah, setelah pintu rumah ditutup rapat. Dari hubungan kucing-kucingan dengan Adah itu, akhirnya Agus memperoleh seorang anak lelaki, Taufik, 4 tahun. Saadah, di lingkungan tetangganya, dikenal alim. Selebihnya Adah yang tidak tamat SD itu, hampir tak pernah berhubungan dengan tetangga. Jarang ia mengobrol. Hanya kepada beberapa tetangga terdekatnya saja ia pernah berterus terang bahwa ia istri muda Agus. "Tidak apa-apa, jadi istri keduanya, sebab saya sangat mencintai Agus," ujar Sumiati, menirukan kalimat Adah. Namun, seperti dicium tetangganya, perkawinan mereka diliputi misteri. Ada sesuatu yang disembunyikan.Bunga Surawijaya, Budiono Darsono (Jakarta), dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini