DOKTER Ahmad Rizal -- biasa dipanggil Eri -- adalah ahli bedah tulang di Padang. Senin pekan lalu ia diadukan ke Kepolisian Resor Kota Padang dan Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Sumatera Barat oleh Sofyan, ayah Oskar Haris. Oskar, 12 tahun, Agustus 1989, jatuh dari punggung sapi. Engsel siku kirinya menonjol. Setelah tiga bulan diurut dukun pijat, tonjolan itu belum lenyap. Lalu, ia dibawa ke RS Dokter Jamil di Padang. Setelah Oskar dironsen, Dokter Eri meminta anak itu dioperasi dan dipasangi pen. Untuk itu, dibutuhkan uang Rp 175 ribu untuk membeli pen. Sehari kemudian, Wilda, ibu Oskar, bersama Yetti, tetangganya, menyerahkan uang Rp 175 ribu kepada Eri. Begitu uang diserahkan, Yetti minta kuitansi. Eri tersinggung. Ia lemparkan uang itu hingga berserakan. "Kalau dibayar perusahaan, bukan di sini tempatnya. Silakan ke Rumah Sakit Yos Sudarso. Rumah sakit ini hanya untuk orang tidak mampu," kata Eri seperti ditirukan Wilda. Yetti menangis sambil memunguti uang itu. Lalu Oskar dioperasi di RS Yos Sudarso, tempat Eri praktek. Dua hari setelah itu, Indrawati, bendahara PT Arvenaya (tempat Sofyan bekerja), menyerahkan uang Rp 525 ribu kepada Eri. Dalam kuitansi dicantumkan Rp 400 ribu sebagai jasa operasi dan Rp 125 ribu jasa follow-up. Pembelian pen tak dicantumkan. "Tidak perlu, itu sudah termasuk dalam biaya operasi," kata Indrawati kepada Sofyan, mengutip Eri. Seminggu setelah dirawat, Oskar boleh pulang. Orang tuanya membayar Rp 395 ribu, yakni Rp 200 ribu jasa dokter anestesi, Rp 35 ribu sewa tempat tidur seminggu, Rp 122.750 sewa kamar operasi, dan sisanya untuk obat dan lain-lain. Sepulang dari rumah sakit, Sofyan diingatkan oleh kepala bangsal, "Jangan lupa, dua tahun lagi kembali ke sini untuk dibuka pennya." Februari 1993, Sofyan memeriksakan anaknya di RSCM Jakarta. Tapi dokter di sini tidak menemukan pen. Kesimpulannya, pen tak pernah dipasang. Sofyan, yang merasa dikibuli, menghimpun bukti, lalu mengadukan kasusnya. Yang diharapkan tamatan SMP itu bukan pengembalian uang, tapi agar kasus penilapan itu diselesaikan secara hukum. Dokter Eri, 48 tahun, membantah tuduhan itu. Pria jangkung ini mengaku memang tidak pernah memasangkan pen. Waktu itu, pemilik beberapa kuda pacuan ini hanya memotong tulang Oskar yang menonjol. Maka, dalam kuitansi tak ada penyebutan pembelian pen. Kasus Oskar sebenarnya tak merisaukan Eri. Ia justru agak gerah oleh ramainya isu tentang dirinya. Misalnya, ia dituding lebih mendahulukan kepentingan pribadi (mengurus kuda) daripada mengurus pasien. Menarik uang pasien sebelum operasi juga dikeluhkan. Eri yang telah sepuluh tahun bertugas di RS Dokter Jamil itu diadukan ke Kotak Pos 5000. Menurut Eri, pengaduan itu bisa jadi sentimen teman seprofesi. Maklum, dialah satu-satunya dokter ortopedi di Sumatera bagian tengah. Mengenai uang jaminan, itu dikutip untuk menghindari pasien yang kabur. Adapun soal perlakuan kasar terhadap pasien, itu relatif. "Dan saya maklum kenapa saya sering diisukan," katanya. Toh pengaduan di atas tidak dianggap angin lalu oleh instansinya. Dokter Yuslis Katin, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Sumatera Barat, sudah memberikan peringatan tertulis dua kali. "Kalau sudah ketiga kali, ia saya kenai tindakan," kata Yuslis. Tentang pengaduan Sofyan, pihaknya tengah menurunkan tim, tapi sejauh ini belum ditemukan penyimpangan. "Pasien itu cuma dianjurkan menyediakan dana kalau, misalnya, diperlukan untuk membeli pen. Saya kira, itu cuma salah paham," kata Yuslis. Hingga pekan lalu, polisi belum memanggil Dokter Eri.WY dan Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini