Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sang raja mencari istri ke-18

Raja damai jona sihotang dikeroyok & dibakar padepokannya oleh penduduk sekitarnya. karena hendak mengambil 3 wanita lagi untuk dijadikan istrinya. (krim)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALANG benar nasib Raja Damai, Hampir 200 orang laki-laki dan wanita bersenjata golok, pacul, sampai pentungan, tiba-tiba menyergap dan membakar padepokannya. Rumah berdinding papan dan beratap rumbia di tengah hutan Desa Saiddarih (Kabupaten Deli Serdang, Sum-Ut) tersebut, 19 Mei lalu, dalam sekejap seluruhnya termakan api. Salah seorang anak Raja Damai yang masih bayi, Monang, ikut terbakar di buaiannya -- untung nyawanya keburu diselamatkan salah seorang pengamuk yang tak ingin mengorbankan si kecil. Sementara Raja Damai sendiri teraniaya: rambutnya yang sepanjang 6 meter dibabat habis. Setelah itu orang-orang lalu merajamnya dengan batu dan senjata lainnya, sehingga cukup runyamlah keadaan si korban. Dengan tubuh mandi darah, lemas, tangan terikat ke belakang, ramai-ramai Raja Damai diarak. Untunglah, sebelum teraniaya lebihjauh, polisi dan tentara setempat menghadang arak-arakan berdarah tersebut. Raja Damai diselamatkan. Ia dan anaknya, si Monang, segera dilarikan ke rumah sakit di Medan. Beberapa orang yang dianggap bertanggungjawab terhadap peristiwa hari itu langsung berurusan dengan yang berwajib. Apa dosa Raja Damai dan keluarganya sehingga menjadi tumpuan kemarahan para tetangganya? "Mereka takut saya mengawini gadis mereka," begitu dikatakan Raja Damai kemudian. Hal itu dibenarkan salah seorang tetangganya, Amat Barus: "Penduduk jadi resah mendengar rencana perkawinan itu."Sebenarnyalah, Raja Damai memang hendak mengambil tiga wanita lagi, untuk melengkapi jumlah istrinya menjadi 18 orang! Entah mengapa, keinginan Raja Damai tersebut tersiar di kalangan penduduk. Padahal, menurut cerita Raja Damai di Rumah Sakit Pirngadi, tiga calon istri yang diinginkannya tak satu pun diharapkannya dari kampung sendiri. Menurut "wahyu" Tuhan, kata Raja Damai, calon istrinya masing-masing putri keturunan Kraton Solo, masih berdarah Sultan Deli dan wanita asal luar negeri. Jadi, lanjutnya, "penduduk Saiddarih jelas salah paham -- sebab sampai sekarang belum ada wahyu yang menyuruh saya mengawini gadis desa sini." Kapan dan siapa calon istrinya, katanya, semuanya ditentukan "wahyu" dalam bentuk "mimpi kudus." Penduduk Saiddarih mengetahui ada padepokan di desanya sejak sekitar 1975. Karena letaknya di tengah hutan yang dianggap angker, maka kebanyakan orang enggan menyelidik lebih jauh. Memang, diketahui dari mulut ke mulut, banyak perempuan bekerja di ladang Raja Damai. "Mula-mula kami pikir mereka itu hanya pembantu rumah tangga biasa," ujar Kepala Desa Saiddarih. Sampai terjadi sesuatu -- belum setahun lalu. Raja Damai tiba-tiba berurusan dengan yang berwajib. Ia dituduh mempengaruhi seorang wanita, Rosmanti (17 tahun), "dengan ilmu mistik untuk kepuasan seks" (TEMPO, 11 Oktober 1980). Untuk itu sang Raja dihukum 5 bulan dan 2 minggu penjara. Dan dari perkara itulah terbongkar: Raja Damai ternyata menyimpan banyak perempuan sebagai istri di padepokannya. Menurut Raja Damai, kecuali istri pertamanya, Lina Munte, ke.14 istrinya dikawini berdasarkan petunjuk mimpi. Baik mimpi yang diperolehnya sendiri, dari para pengikutnya, maupun mimpi calon mertua dan bahkan calon istrinya sendiri. Tiurlina Sihotang, misalnya, jauh-jauh dari Pulau Samosir hanya untuk menyerahkan anaknya, Nurhaida (17 tahun), sebagai istri Raja Damai yang ke 11. Tiurlina, janda, suatu ketika bermimpi bertemu dengan seseorang berambut panjang yang berkata: "Kawinkan anakmu dengan orang yang membawa berkah." Tiurlina, setelah pontang-panting mencari menantu idaman, kemudian menemukan Raja Damai yang sebelumnya tergambar dalam mimpinya. Orang tua Rosmanti juga bermimpi seperti Tiurlina. Maka itu ia menyerahkan anaknya kepada Raja Damai. Tak disangka, ternyata salah seorang paman si gadis, kebetulan anggota kepolisian, memperkarakan Raja Damai. Padahal, kata Raja Damai kemudian, semua perkawinannya sama sekali bukan berdasarkan nafsu birahi -- "tapi berdasarkan perintah Tuhan." Buktinya? "Kalau untuk seks," katanya, "buat apa saya mengawini wanita yang sudah peot? " Salah seorang istrinya memang ada yang bekas janda berumur 39 tahun. Namun ada juga yang masih ingusan, Sagina (8 tahun), yang dijadikannya istri nomor 12. "Dia belum saya gauli, karena masih nikah gantung," ujar Raja Damai. Selesai menjalani hukuman, 20 Februari lalu, Raja Damai kembali ke padepokan. Hal itu sebenarnya ditolak penduduk. Alasannya, seperti resolusi penduduk yang disampaikan ke pejabat daerah di sana, cara hidup Raja Damai -- yang mengambil sekian banyak istri -- bertentangan dengan adat suku Batak-Karo. Muspida setempat lalu memanggil Raja Damai untuk membicarakan keberatan para tetangganya. Dalam pertemuan ini akhirnya Raja Damai berjamji tidak akan mengambil istri lagi. Tapi baru sebulan berjanji, Raja Damai sudah mengawini Murni (18 tahun) yang masih merupakan adik istrinya, Las Maria, yang baru tamat SMP. Tahun Cobaan Memperistri adik salah seorang istrinya bagi Raja Damai memang biasa. Sebelum mengawini Rosinta (1977), berturut-turut Raja Damai mengawini ke empat kakaknya: Partumpuan, Asmawaty, Martani dan Sumihar. "Kami kawin, karena ibu bermimpi kami harus kawin dengan Raja Damai," kata Rosinta. Muspida sulit menerima protes penduduk. Soalnya, seperti dikatakan seorang pejabat, "kami hanya bertindak bila ada keberatan dari keluarga gadis yang dikawini." Dan, kecuali dari paman si Rosmanti tempo hari, keberatan selama ini memang hanya diajukan "orang luar". "Kami hidup berbahagia di samping bapak," kata Rosinta, "anehnya, orang lain yang keberatan." Kesebalan penduduk terhadap Raja Damai makin meningkat. Tapi tak cukup alasan untuk bertindak. Sampai kemudian muncul desas-desus Raja Damai hendak mengambil tiga orang istri lagi dan salah satu di antaranya gadis desa sendiri. Desas-desus itu -- yang sebagian dibenarkan Raja Damai kemudian -- cepat membakar kemarahan. Penduduk berkumpul dan pagi itu, sekitar pukul 8, mereka bergerak menuju hutan: "Bunuh Raja Damai . . . bunuh...!" Raja Damai Jona Sihotang (41 tahun), lahir di Pakkat (Tapanuli Utara), diketahui berpendidikan SMEA. Pernah bekerja di pabrik tekstil milik T.D. Pardede di Jalan Binjai, Medan, sejak muda kelihatan aneh. Banyak bicara soal perdamaian, mimpi-mimpi kudus, sehingga ia dianggap sinting dan masuk rumah sakit jiwa. Pernah dihukum 11 bulan penjara, karena mempreteli perhiasan seorang wanita dengan alasan untuk membiayai missinya, "perdamaian abadi". Di setiap kesempatan ia berkhotbah. Berambut panjang sekitar 6 meter, bertubuh kuning semampai, Raja Damai memang lulusan kursus tertulis Church of Christ yang berpusat di California. Terhadap orang-orang yang menganiayanya, katanya, tak sedikit pun ia menaruh dendam. Raja Damai berkata: "Tahun ini memang tahun cobaan bagi orang-orang besar -- bukankah tahun ini Presiden Reagan dan Paus ditembak orang? " Bila penduduk Saiddarih tak mau menerimanya kembali, katanya, "mereka akan rugi sendiri -- Pulau Samosir akan menerima saya . . . "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus