MALANG benar nasib Raja Damai, Hampir 200 orang laki-laki dan
wanita bersenjata golok, pacul, sampai pentungan, tiba-tiba
menyergap dan membakar padepokannya. Rumah berdinding papan dan
beratap rumbia di tengah hutan Desa Saiddarih (Kabupaten Deli
Serdang, Sum-Ut) tersebut, 19 Mei lalu, dalam sekejap seluruhnya
termakan api.
Salah seorang anak Raja Damai yang masih bayi, Monang, ikut
terbakar di buaiannya -- untung nyawanya keburu diselamatkan
salah seorang pengamuk yang tak ingin mengorbankan si kecil.
Sementara Raja Damai sendiri teraniaya: rambutnya yang sepanjang
6 meter dibabat habis. Setelah itu orang-orang lalu merajamnya
dengan batu dan senjata lainnya, sehingga cukup runyamlah
keadaan si korban.
Dengan tubuh mandi darah, lemas, tangan terikat ke belakang,
ramai-ramai Raja Damai diarak. Untunglah, sebelum teraniaya
lebihjauh, polisi dan tentara setempat menghadang arak-arakan
berdarah tersebut. Raja Damai diselamatkan. Ia dan anaknya, si
Monang, segera dilarikan ke rumah sakit di Medan. Beberapa orang
yang dianggap bertanggungjawab terhadap peristiwa hari itu
langsung berurusan dengan yang berwajib.
Apa dosa Raja Damai dan keluarganya sehingga menjadi tumpuan
kemarahan para tetangganya? "Mereka takut saya mengawini gadis
mereka," begitu dikatakan Raja Damai kemudian. Hal itu
dibenarkan salah seorang tetangganya, Amat Barus: "Penduduk jadi
resah mendengar rencana perkawinan itu."Sebenarnyalah, Raja
Damai memang hendak mengambil tiga wanita lagi, untuk melengkapi
jumlah istrinya menjadi 18 orang! Entah mengapa, keinginan Raja
Damai tersebut tersiar di kalangan penduduk. Padahal, menurut
cerita Raja Damai di Rumah Sakit Pirngadi, tiga calon istri yang
diinginkannya tak satu pun diharapkannya dari kampung sendiri.
Menurut "wahyu" Tuhan, kata Raja Damai, calon istrinya
masing-masing putri keturunan Kraton Solo, masih berdarah Sultan
Deli dan wanita asal luar negeri. Jadi, lanjutnya, "penduduk
Saiddarih jelas salah paham -- sebab sampai sekarang belum ada
wahyu yang menyuruh saya mengawini gadis desa sini." Kapan dan
siapa calon istrinya, katanya, semuanya ditentukan "wahyu" dalam
bentuk "mimpi kudus."
Penduduk Saiddarih mengetahui ada padepokan di desanya sejak
sekitar 1975. Karena letaknya di tengah hutan yang dianggap
angker, maka kebanyakan orang enggan menyelidik lebih jauh.
Memang, diketahui dari mulut ke mulut, banyak perempuan bekerja
di ladang Raja Damai. "Mula-mula kami pikir mereka itu hanya
pembantu rumah tangga biasa," ujar Kepala Desa Saiddarih.
Sampai terjadi sesuatu -- belum setahun lalu. Raja Damai
tiba-tiba berurusan dengan yang berwajib. Ia dituduh
mempengaruhi seorang wanita, Rosmanti (17 tahun), "dengan ilmu
mistik untuk kepuasan seks" (TEMPO, 11 Oktober 1980). Untuk itu
sang Raja dihukum 5 bulan dan 2 minggu penjara. Dan dari perkara
itulah terbongkar: Raja Damai ternyata menyimpan banyak
perempuan sebagai istri di padepokannya.
Menurut Raja Damai, kecuali istri pertamanya, Lina Munte, ke.14
istrinya dikawini berdasarkan petunjuk mimpi. Baik mimpi yang
diperolehnya sendiri, dari para pengikutnya, maupun mimpi calon
mertua dan bahkan calon istrinya sendiri. Tiurlina Sihotang,
misalnya, jauh-jauh dari Pulau Samosir hanya untuk menyerahkan
anaknya, Nurhaida (17 tahun), sebagai istri Raja Damai yang ke
11.
Tiurlina, janda, suatu ketika bermimpi bertemu dengan seseorang
berambut panjang yang berkata: "Kawinkan anakmu dengan orang
yang membawa berkah." Tiurlina, setelah pontang-panting mencari
menantu idaman, kemudian menemukan Raja Damai yang sebelumnya
tergambar dalam mimpinya.
Orang tua Rosmanti juga bermimpi seperti Tiurlina. Maka itu ia
menyerahkan anaknya kepada Raja Damai. Tak disangka, ternyata
salah seorang paman si gadis, kebetulan anggota kepolisian,
memperkarakan Raja Damai.
Padahal, kata Raja Damai kemudian, semua perkawinannya sama
sekali bukan berdasarkan nafsu birahi -- "tapi berdasarkan
perintah Tuhan." Buktinya? "Kalau untuk seks," katanya, "buat
apa saya mengawini wanita yang sudah peot? " Salah seorang
istrinya memang ada yang bekas janda berumur 39 tahun. Namun ada
juga yang masih ingusan, Sagina (8 tahun), yang dijadikannya
istri nomor 12. "Dia belum saya gauli, karena masih nikah
gantung," ujar Raja Damai.
Selesai menjalani hukuman, 20 Februari lalu, Raja Damai kembali
ke padepokan. Hal itu sebenarnya ditolak penduduk. Alasannya,
seperti resolusi penduduk yang disampaikan ke pejabat daerah di
sana, cara hidup Raja Damai -- yang mengambil sekian banyak
istri -- bertentangan dengan adat suku Batak-Karo.
Muspida setempat lalu memanggil Raja Damai untuk membicarakan
keberatan para tetangganya. Dalam pertemuan ini akhirnya Raja
Damai berjamji tidak akan mengambil istri lagi. Tapi baru
sebulan berjanji, Raja Damai sudah mengawini Murni (18 tahun)
yang masih merupakan adik istrinya, Las Maria, yang baru tamat
SMP.
Tahun Cobaan
Memperistri adik salah seorang istrinya bagi Raja Damai memang
biasa. Sebelum mengawini Rosinta (1977), berturut-turut Raja
Damai mengawini ke empat kakaknya: Partumpuan, Asmawaty, Martani
dan Sumihar. "Kami kawin, karena ibu bermimpi kami harus kawin
dengan Raja Damai," kata Rosinta.
Muspida sulit menerima protes penduduk. Soalnya, seperti
dikatakan seorang pejabat, "kami hanya bertindak bila ada
keberatan dari keluarga gadis yang dikawini." Dan, kecuali dari
paman si Rosmanti tempo hari, keberatan selama ini memang hanya
diajukan "orang luar". "Kami hidup berbahagia di samping bapak,"
kata Rosinta, "anehnya, orang lain yang keberatan."
Kesebalan penduduk terhadap Raja Damai makin meningkat. Tapi tak
cukup alasan untuk bertindak. Sampai kemudian muncul desas-desus
Raja Damai hendak mengambil tiga orang istri lagi dan salah satu
di antaranya gadis desa sendiri. Desas-desus itu -- yang
sebagian dibenarkan Raja Damai kemudian -- cepat membakar
kemarahan. Penduduk berkumpul dan pagi itu, sekitar pukul 8,
mereka bergerak menuju hutan: "Bunuh Raja Damai . . . bunuh...!"
Raja Damai Jona Sihotang (41 tahun), lahir di Pakkat (Tapanuli
Utara), diketahui berpendidikan SMEA. Pernah bekerja di pabrik
tekstil milik T.D. Pardede di Jalan Binjai, Medan, sejak muda
kelihatan aneh. Banyak bicara soal perdamaian, mimpi-mimpi
kudus, sehingga ia dianggap sinting dan masuk rumah sakit jiwa.
Pernah dihukum 11 bulan penjara, karena mempreteli perhiasan
seorang wanita dengan alasan untuk membiayai missinya,
"perdamaian abadi". Di setiap kesempatan ia berkhotbah. Berambut
panjang sekitar 6 meter, bertubuh kuning semampai, Raja Damai
memang lulusan kursus tertulis Church of Christ yang berpusat di
California.
Terhadap orang-orang yang menganiayanya, katanya, tak sedikit
pun ia menaruh dendam. Raja Damai berkata: "Tahun ini memang
tahun cobaan bagi orang-orang besar -- bukankah tahun ini
Presiden Reagan dan Paus ditembak orang? " Bila penduduk
Saiddarih tak mau menerimanya kembali, katanya, "mereka akan
rugi sendiri -- Pulau Samosir akan menerima saya . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini