Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyian dalam gelap

Kaset kedua ully sigar roesady, pelita dalam gulita penggarapan musiknya dibantu oleh billy j. budiardjo. masih seperti dulu. tapi warna yang hendak dipertahankannya menyebabkannya terasa monoton.(ms)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA gitar cara klasik, dengan latar gesekan biola dan sisipan bunyi flut atau piano, dalam musik Ully Sigar Roesady terasa lain. Terutama barangkali karena suara yang menyeretnya -- atau yang disorongkannya -- di sana khas dia punya. Belum banyak memang, di sini, penyanyi yang menggunakan teknik vokal kopstem -- suara dari kepala -- seperti itu. Seperti Nana Mouskouri atau Joan Baez. Tak heran jika kaset pertamanya, Rimba. Gelap, ketika memasuki pasar musik pop Indonesia bagai wajah baru yang aneh. Orangnya sendiri memang unik. Ia muncul sebagai penyanyi - tadinya sebutan itu enggan disandangnya karena risi -- setelah sebelumnya hanya dikenal sebagai pencipta lagu. Kecuali itu, ia adalah guru gitar klasik dan ibu tiga anak. Kini usia perempuan Sunda berambut panjang itu 29 tahun. Tertahan-tahan Kasetnya yang kedua, yang barusan beredar, Pelita Dalam Gulita --entah kenapa ia menyukai judul-judul serba gelap -- berisi sepuluh lagu ciptaannya. Penggarapan musiknya dibantu Billy J. Budiardjo, orang yang juga menangani musik Ebiet G. Ade. Karena itu, berbeda dengan kaset Ully yang pertama yang digarapnya sendiri, kali ini ada yang berubah. Bukan coraknya. Hanya lebih manis, seperti terdengar dari kaset Ebiet. Bunyi-bunyian yang biasanya hanya terdengar pada musik Beethoven atau Bach misalnya, pada kaset Ully muncul sebagai unsur kuat yang juga menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain. Meski masih terasa sebagai karya cangkokan. Di samping terlalu dekat pada induknya -- pada beberapa bagian malah seperti hanya "pameran" pengetahuan -- belum luluh benar. Karena itu, lagu pertama di Sisi A, Pelita dalam Gulita, yang hanya sedikit dimasuki unsur tadi, terasa lebih mempribadi. Betapa pun bagian refrainnya mengingatkan pada sebuah lagu orang lain. Dan lagu pertama di Sisi B, Hilangnya Pesona Senja, meski suasana musiknya lebih cocok untuk pagi hari, agaknya merupakan yang terbaik dalam kaset ini. Lebih segar dan spontan. Spontanitas macam itulah yang sangat sedikit dijumpai. Sehingga hampir seluruh lagu Ully seperti tertahan-tahan, oleh semangatnya sendiri: semangat seorang guru gitar klasik yang fanatik. Agak bertentangan dengan semangat liriknya yang hendak bicara tentang, misalnya, nasib si miskin penghuni gubuk (Melodrama Rumah Papan) atau remaja korban narkotika (Belenggu Putih). Vokal Ully -- yang jernih, bisa ditarik dalam satu napas panjang pada nada tinggi -- di samping khas juga istimewa. Ditambah variasi a la Joan Baez, maka pantas dibilang, Ully adalah penyanyi yang boleh. Suaranya bagai muncul dari tengah kegelapan. Ingat raungan serigala dalam film-film horor? Hanya saja, pola semacam itu cepat mendatangkan rasa jenuh. Dan pengucapannya yang seragam menyebabkan seluruh lagunya seakan sama. Barangkali Ully harus pandai-pandai membedakan suasana. Lebih-lebih kalau ia serius hendak mengetengahkan lirik. Yudbistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus