KETIKA gitar cara klasik, dengan latar gesekan biola dan sisipan
bunyi flut atau piano, dalam musik Ully Sigar Roesady terasa
lain. Terutama barangkali karena suara yang menyeretnya -- atau
yang disorongkannya -- di sana khas dia punya. Belum banyak
memang, di sini, penyanyi yang menggunakan teknik vokal kopstem
-- suara dari kepala -- seperti itu. Seperti Nana Mouskouri atau
Joan Baez.
Tak heran jika kaset pertamanya, Rimba. Gelap, ketika memasuki
pasar musik pop Indonesia bagai wajah baru yang aneh. Orangnya
sendiri memang unik. Ia muncul sebagai penyanyi - tadinya
sebutan itu enggan disandangnya karena risi -- setelah
sebelumnya hanya dikenal sebagai pencipta lagu. Kecuali itu, ia
adalah guru gitar klasik dan ibu tiga anak. Kini usia perempuan
Sunda berambut panjang itu 29 tahun.
Tertahan-tahan
Kasetnya yang kedua, yang barusan beredar, Pelita Dalam Gulita
--entah kenapa ia menyukai judul-judul serba gelap -- berisi
sepuluh lagu ciptaannya. Penggarapan musiknya dibantu Billy J.
Budiardjo, orang yang juga menangani musik Ebiet G. Ade. Karena
itu, berbeda dengan kaset Ully yang pertama yang digarapnya
sendiri, kali ini ada yang berubah. Bukan coraknya. Hanya lebih
manis, seperti terdengar dari kaset Ebiet.
Bunyi-bunyian yang biasanya hanya terdengar pada musik Beethoven
atau Bach misalnya, pada kaset Ully muncul sebagai unsur kuat
yang juga menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain.
Meski masih terasa sebagai karya cangkokan. Di samping terlalu
dekat pada induknya -- pada beberapa bagian malah seperti hanya
"pameran" pengetahuan -- belum luluh benar.
Karena itu, lagu pertama di Sisi A, Pelita dalam Gulita, yang
hanya sedikit dimasuki unsur tadi, terasa lebih mempribadi.
Betapa pun bagian refrainnya mengingatkan pada sebuah lagu orang
lain. Dan lagu pertama di Sisi B, Hilangnya Pesona Senja, meski
suasana musiknya lebih cocok untuk pagi hari, agaknya merupakan
yang terbaik dalam kaset ini. Lebih segar dan spontan.
Spontanitas macam itulah yang sangat sedikit dijumpai. Sehingga
hampir seluruh lagu Ully seperti tertahan-tahan, oleh
semangatnya sendiri: semangat seorang guru gitar klasik yang
fanatik. Agak bertentangan dengan semangat liriknya yang hendak
bicara tentang, misalnya, nasib si miskin penghuni gubuk
(Melodrama Rumah Papan) atau remaja korban narkotika (Belenggu
Putih).
Vokal Ully -- yang jernih, bisa ditarik dalam satu napas panjang
pada nada tinggi -- di samping khas juga istimewa. Ditambah
variasi a la Joan Baez, maka pantas dibilang, Ully adalah
penyanyi yang boleh. Suaranya bagai muncul dari tengah
kegelapan. Ingat raungan serigala dalam film-film horor?
Hanya saja, pola semacam itu cepat mendatangkan rasa jenuh. Dan
pengucapannya yang seragam menyebabkan seluruh lagunya seakan
sama. Barangkali Ully harus pandai-pandai membedakan suasana.
Lebih-lebih kalau ia serius hendak mengetengahkan lirik.
Yudbistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini