BANJIR bandang di lereng Gunung Semeru, Jawa Timur, medio Mei
lalu, selain menewaskan 257 penduduk di sekitarnya, malah
memancing kedatangan pelancong domestik. "Menyaksikan bencana
alam ternyata merupakan obyek wisata yang menarik," kata Menko
Kesra Soerono.
Minggu 24 Mei lalu, Soerono berkunjung ke dukuh Sumbersari --
salah satu di antara 7 pedukuhan yang terparah menderita amukan
alam di Desa Penanggal di Kecamatan Candipuro.
Pamong desa setempat ternyata berhasil memanfaatkan kedatangan
para pelancong yang rupanya menganggap tempat bencana itu
sebagai tempat bersantai. Ketika Soerono ke sana malah Seksi
Logistik Posko Penanggal yang dikoordinasi Camat Candipuro,
Mansur, mengaut sumbangan dari para pengunjung.
Uang itu kemudian disalurkan untuk 1.446 pengungsi yang bertebar
di berbagai pelosok di kecamatan tersebut. Sisanya dibagikan
kepada penduduk di 5 desa lain yang juga ditimpa bencana. Uang
sumbangan itu juga dipakai untuk biaya penguburan 114 jenazah,
kenduri, membuat 3 barak tempat penampungan 300 pengungsi serta
membeli alat-alat dapur.
Desa Penanggal dihuni 7.025 penduduk. Ketika bencana, terjadi,
76 jiwa tewas. Setelah kejadian itu ada 66 orang yang
ditransmigrasikan ke Sekayu, Sumatera Selatan. Mereka memang tak
mau lagi bertahan di kawasan Semeru itu setelah mengetahui bahwa
daerah tersebut merupakan "area bahaya utama". Menurut catatan
petugas Proyek Semeru-Penanggal, radius yang amat berbahaya itu
meliputi 271 km persegi.
Bila Semeru meletus lagi, kemungkinan besar alur lahar Besuk
Sat- Kali Mujur, siap melepas endapan lumpur 20 juta m3
longsoran 3 anak gunung di desa itu ditambah 3,3 juta m3 lahar
panas.
Seorang pejabat di Lumajang mengatakan, sebenarnya kawasan
Penanggal bukan daerah pemukiman. Tapi penduduk bersikeras
tinggal di situ. Lurahnya, Slamet Siswanto, 50 tahun,
mengatakan, penduduk Penanggal umumnya terdiri pendatang dari
Solo, Yogya, Kediri, Tulungagung, Ponorogo dan Madura.
Kini desa yang luasnya 1.164 hektar itu berantakan. Selain itu,
tidak kurang dari 300 hektar sawah sedang diancam kekeringan
karena saluran irigasinya tertimbun lumpur. Luas sawah di sini
seluruhnya 707 hektar.
Menurut Bupati Lumajang, Suwandi, sewaktu-waktu banjir bandang
siap mengancam daerahnya. Dulu pembenahan terutama ditujukan
pada alur Kali Glidik dan Rejali. Kini perhatian khusus terpaksa
ditujukan ke alur lahar Kali Mujur di sebelah timur. Menurut Pak
Bupati itu, setelah bungkam selama 70 tahun, tiba-tiba alur ini
memperlihatkan ancaman ganas -- di antaranya menjadi penyebab
kejadian pada Mei lalu itu. Selain lahar-lahar yang sudah
mengalir, di situ kini masih tersimpan material longsoran 3 anak
gunung (Batok, Leker dan Papak) berkisar 20 juta meter kubik
lagi. "Yang sudah longsor dalam kejadian baru-baru ini hanya 10
juta meter kubik," kata Suwandi.
Alur tersebut juga bakal mengancam Kota Lumajang, ibukota
kabupaten yang jaraknya 32 km dari Desa Penanggal. Jika tanggul
Leces dan Kertosari tak segera diperbaiki, keadaan memang cukup
gawat. Sebab pada kejadian yang lalu itu-banjir bandang ternyata
tak selalu melewati alur yang telah ada.
Bertolak Belakang
Dari pengalaman itu Bupati Suwandi sedang berusaha memindahkan
penduduk ke daerah yang lebih aman. Masih di Penanggal, tempat
pemukiman baru itu sebenarnya sudah disiapkan. Hanya
menunggu persetujuan pihak Perhutani saja.
Pilihan lokasi ini sebenarnya bertolak belakang dengan yang
telah disarankan dan direkomendasikan Tim Vulkanologi dari
Bandung yang pernah melakukan survei ke sana. Tim menunjuk
lokasinya di kawasan belakang Gunung Sawur. Tapi penduduk
keberatan tinggal di sana. "Mereka tak ingin beranjak jauh dari
desa asal mereka," tutur Widjimoeljo, Kepala Dinas PU Kabupaten
Lumajang.
Meski sudah diperingatkan bakal ada bahaya mendadak berikutnya,
penduduk Penanggal justru yang masih tersisa tetap bertahan.
Kepada mereka juga ditawarkan agar bertransmigrasi. Mereka
menolak, dengan alasan, "daripada bertransmigrasi bakal mati
digigit nyamuk banjir lahar 'kan tidak setiap tahun terjadi."
Akhirnya lokasi terpaksa dipertahankan, tetap di tempat
masing-masing. "Yang sudah dipilih itu adalah lokasi yang
teraman dibanding dengan semua tempat yang berbahaya," kata
Suwandi. Lurah Penanggal, Slamet Siswanto menutup cerita:
"Mungkin karena kesuburan Penanggal yang membuat penduduk tak
mau beranjak dari desa ini. Mereka tetap nekat menghadapi
ancaman bencana. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini