Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sementara, kartika-thahir menang

Pengadilan tinggi singapura menggugurkan tuntutan pertamina atas simpanan kartika-thahir senilai rp 153 milyar di bank sumitomo. pertamina dianggap gagal menyediakan bukti-bukti simpanan.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertamina dikabarkan kalah dalam kasus deposito Kartika-Thahir senilai Rp 153 milyar. Tapi, menurut Pertamina, pokok perkara kasus itu belum dibedah pengadilan. HEBOH kasus komisi bekas pejabat Pertamina almarhum Haji Achmad Thahir sudah berakhir? Setidaknya begitulah berita Asian Wall Street Journal (AWSJ) edisi 17 Juli 1991. Menurut media asing itu, panitera di Pengadilan Tinggi Singapura, Jumat dua pekan lalu, menggugurkan tuntutan Pertamina atas simpanan Kartika- Thahir senilai US$ 65 juta (sekitar Rp 127 milyar) lebih di Bank Sumitomo. Gara-garanya, demikian dilansir AWSJ, yang kemudian dikutip koran-koran dalam negeri, sepele saja. Yakni, Pertamina diang- gap tak mampu mengajukan dua berkas bukti sengketa simpanan itu, yang diminta pihak Kartika, sampai tanggal 5 Juli 1991 (batas waktu yang ditentukan pengadilan). Dengan kata lain, BUMN itu gagal "membawa pulang" komisi yang di sini sudah dipastikan sebagai uang negara itu? Tentu saja berita itu mengagetkan. Sebab, masyarakat sudah hampir melupakan kasus komisi di zaman Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo itu, kendati sejak 14 tahun lalu Pertamina berjuang keras untuk memburu simpanan tersebut dengan biaya mahal, karena harus menyewa pengacara Singapura dan London. Apalagi, selama ini Pertamina dikabarkan selalu di atas angin dalam per- sidangan kasus itu di pengadilan Singapura. Kasus spektakuler ini muncul empat hari setelah Thahir, bekas Asisten Umum Direktur Utama Pertamina, meninggal 23 Juli 1976. Waktu itu Nyonya Kartika Ratna -- istri muda almarhum -- berusaha mencairkan deposito senilai US$ 80 juta, di The Chase Manhattan Bank, The Hong Kong & Shanghai Banking Corporation, dan Bank Sumitomo di Singapura. Simpanan di Chase dan Shanghai bisa ditarik Kartika. Tapi di Sumitomo, wanita kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 62 tahun silam itu gagal mencairkan deposito sejumlah US$ 35 juta (kini berikut bunga berjumlah US$ 78 juta atau sekitar Rp 153 milyar). Sebab, sebelum dia datang, dua orang putra Thahir dari istri pertamanya lebih dulu mengklaim uang itu. Sengketa anak dan ibu tiri itu tercium oleh pemerintah In- donesia. Akibatnya, kedua pihak gagal memperoleh warisan ter- sebut. Bahkan, pada Mei 1977, Pertamina secara resmi menuntut agar simpanan itu dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Sebab, menurut hasil penyelidikan tim Keppres 9/1977, yang ketika itu diketuai Jaksa Agung Ali Said, Asisten Hankam/Kopkamtib Mayor Jenderal L.B. Moerdani, dan Wasekab Is- mail Saleh, komisi itu diduga berasal dari korupsi almarhum. Persisnya, tim pengusut kasus itu -- dipimpin L.B. Moerdani -- menyatakan bahwa komisi sebesar 5% itu diperoleh almarhum dari beberapa perusahaan Jerman, kontraktor Pertamina, seperti Siemens, Ferrosthal, dan Klockner, dalam proyek Krakatau Steel. Pada akhir Maret 1980, untuk pertama kalinya perkara itu dis- idangkan di Pengadilan Tinggi Singapura. Tak disangka Kartika mengeluarkan jurus keras. Ia menyatakan bahwa komisi begitu sah-sah saja di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, ia, misalnya, menyebut sekurangnya 17 nama pejabat tinggi dan pengusaha besar Indonesia, termasuk Ibnu Sutowo, menerima komisi semacam itu. Keruan saja, tudingan itu diprotes tim pengacara Indonesia, Michael Sherrad Q.C. dan Siva Selvadurai. Mereka menganggap tudingan yang bersifat membelokkan persoalan ke arah non- yuridis itu tidak relevan. Pada 1982, melalui putusan sela, Hakim T.S. Sinnathuray mengabulkan protes itu. Kartika naik banding. Akibatnya, persidangan pokok perkara dihentikan untuk sementara. Belakangan, Mei 1984, Mahkamah Agung Singapura menolak band- ing Kartika tadi. Berdasarkan itu, pada September 1986, Hakim Sinnathuray memerintahkan Kartika membuka asal-usul sumber deposito itu. Kembali Kartika naik banding. Ia menganggap permintaan hakim itu bersifat memaksanya untuk melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri. Sekali lagi mahkamah agung di sana menolak banding tersebut. Sebab itu, Kartika diharuskan membuka asal-usul deposito itu dalam waktu 60 hari. Ternyata, pada Februari 1989, Kartika bukan hanya menyebutkan beberapa perusahaan Jerman, kontraktor Pertamina, yang memberi komisi kepada almarhum. Ia juga menuturkan bahwa komisi tersebut besarnya 10% sampai 11%. Begitupun, tampaknya pihak Indonesia selalu di atas angin. Sampai akhirnya terbit berita AWSJ itu. Dua orang anggota tim pengusut kasus itu, Dicky Turner (dari Pertamina) dan pengacara Albert Hasibuan, yang didampingi Direktur Keuangan Pertamina Soegianto, Sabtu pekan lalu membantah berita tersebut. Yang sebenarnya terjadi, menurut mereka, pihak Kartika meminta bukti-bukti (sampai 808 dokumen/bukti) dari Pertamina (Indonesia). Padahal, kata Albert Hasibuan, dokumen yang relevan hanya 257 buah. Yang tak relevan, contohnya, akta pendirian Bank Pacific milik Ibnu Sutowo, dan berbagai surat perjalanan dinas almarhum Thahir ke luar negeri. Begitupun, pihak Indonesia, pada persidangan 5 Juli 1991, memohon ke pengadilan agar menangguhkan persidangan seminggu kemudian. Ternyata, pada 12 Juli itu, panitera langsung menyatakan Pertamina kalah. Alasannya, Pertamina tetap harus menyediakan dokumen sebagaimana permintaan Kartika. Tentu saja, pada keesokan harinya, pihak Indonesia menyatakan naik banding -- rencananya banding ini diputus pada Rabu pekan ini. "Mana bisa gugatan dibatalkan hanya berdasarkan pertimbangan dokumen yang tidak relevan?" kata Albert. Selain itu, katanya, yang berwenang memutuskan sebuah perkara bukanlah assistant registrar (panitera), tapi hakim. Lebih dari itu, ujar Albert lagi, pokok perkara kasus itu juga sudah dijadwalkan mulai diperiksa pada 5 Agustus mendatang. Tapi untuk sementara Kartika menang. Happy S. dan Iwan Q. Himawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus