PT Barito Pacific Lumber didenda karena menebang di areal HPH lain dan hutan negara. RALAT rupanya tak hanya dilakukan oleh media cetak. Keputusan pemerintah dalam penegakan hukum pun ternyata juga bisa dikoreksi. Itu yang terjadi dalam kasus Barito Pacific pekan lalu. Babak I: Dirjen Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan, Djamaloedin Soerjohadikoesoemo, Senin pekan lalu, dalam pertemuan antara direksi Barito Pacific dan Dayak Besar, mem- bacakan denda yang harus ditanggung perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) Barito Pacifc Lumber. Perusahaan milik konglomerat Prajogo Pangestu itu didenda Rp 11,2 milyar karena menebang kayu di hutan milik PT Dayak Besar Vincent, dan hutan negara. Babak II: tiga hari kemudian, tiba-tiba Djamaloedin mengatakan bahwa denda itu belum final. "Tak dapat disangkal, Barito memang bersalah. Namun, besarnya denda tergantung bukti pelanggaran. Kalau dilakukan tahun 1985-1987, terkena sanksi berdasar SK Menhut Tahun 1986. Tapi sesudah tahun 1989, dikenai sanksi berdasar SK Menhut Tahun 1989," Djamaloedin menjelas- kan. Peraturan lama menyebutkan, besar sanksi adalah jumlah kayu yang ditebang dikalikan dua iuran hasil hutan (IHH). Sedang berdasar SK baru, besarnya 15 atau 20 kali IHH. Jangka waktu penyerobotan hutan oleh Barito terhadap Dayak Besar sebenarnya jelas, yaitu mulai 1985 sampai 1988. Karena itu pulalah Kanwil Kehutanan Kalimantan Timur bisa menghitung besarnya denda Barito, yakni Rp 8,9 milyar. Hasil penelitian lapangan Kanwil membuktikan: Barito sudah menebang kayu di luar konsesinya yang 60.000 ha. Barito terbukti menebang 72.000 m3 kayu gelondongan dari wilayah seluas 1.300 ha milik Dayak Bes- ar, dan 19.000 m3 kayu dari 350 ha hutan negara. Denda itulah yang kemudian dijatuhkan pada Barito. Keputusan itu, menurut pelaksana tugas Kanwil Kehutanan Kal-Tim Toni Sumardjo, sudah memenuhi prosedur yang berlaku. "Semua sudah dilaporkan ke Departemen, terserah bagaimana keputusan pimpinan," ujarnya pada Badrul Munir dari TEMPO pekan lalu. Tampaknya, Dirjen Pengusahaan Hutan memang memakai angka itu dalam pertemuan dengan direksi kedua perusahaan. Ditambah denda untuk penyerobotan hutan negara (Rp 2,3 milyar), denda yang harus dibayar Barito berjumlah Rp 11,2 milyar. Namun, pihak Barito yang memiliki HPH seluas lima juta hek- tare, keberatan membayar denda tersebut. Bahkan, menurut sebuah sumber, mereka hanya menyanggupi membayar 10 persen dari denda itu. Lalu, entah apa yang terjadi, kemudian muncullah ralat itu. Dalam jumpa pers yang khusus diadakan Senin pekan ini, Dirjen Djamaloedin membantah berita pers yang menyebutkan ia marah karena Barito menolak membayar denda. Ia juga membantah bahwa Barito kena denda Rp 11,2 milyar. "Kita memang berpatokan pada keputusan Kanwil mengenai soal luas hutan yang diserobot, tapi perhitungan volume kayu dan jenis tarif yang digunakan belum pasti," ujarnya. Hasil temuan tim Inventarisasi Tata Guna Hutan mengenai penetapan tapal batas, kata Djamaloedin, menunjukkan bahwa Dayak Besar juga bersalah karena melalui daerah Barito. Wilayah HPH kedua perusahaan ini memang berdampingan dan dipisahkan oleh hutan negara yang sama-sama diterabas kedua pihak. Presiden Direktur Barito Group, Prajogo Pangestu, tampaknya tenang menghadapi tudingan yang kemudian dikoreksi ini. "Penyelesaiannya saya serahkan pada Pemerintah," ujarnya. Konglomerat kelahiran Singkawang itu memang raja hutan. Ia kini berkongsi dengan Siti Hardiyanti Indra Rukmana, membangun hutan tanaman industri di Prabumulih, dengan investasi sampai Rp 5 trilyun. Diah Purnomowati, Moebanoe Moera, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini