Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pupus sudah harapan Muhamad Isnur menyandang predikat advokat. Bulan bulan ini mestinya sarjana hukum lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dilantik sebagai pengacara. Syarat untuk itu sudah ia kantongi. Ia, misalnya, sudah lulus kursus pengacara yang diadakan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Semua ini lantaran munculnya surat edaran yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Pada awal Mei lalu Harifin A. Tumpa, Ketua Mahkamah Agung, mengirim surat ke semua ketua pengadilan tinggi. Isinya, MA melarang para ketua pengadilan tinggi mengambil sumpah advokat baru dari organisasi mana pun. Muhamad Isnur mengetahui surat itu dari rekannya, seorang advokat. ”Bahaya ini, karier saya bisa terhambat gara gara ini,” katanya dengan nada masygul.
Menurut Harifin, surat itu diterbitkan karena sejumlah pengadilan meminta petunjuk Mahkamah Agung dalam menyikapi perbedaan di antara organisasi advokat. ”Masalahnya, advokat dari organisasi mana yang harus disumpah,” ujarnya. Padahal, menurut Harifin, Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mensyaratkan hanya ada satu organisasi advokat di negeri ini.
Madya Suhardja, hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan, mengakui pihaknya memang meminta petunjuk MA atas munculnya lebih dari satu organisasi advokat. Padahal, sebagai lembaga yang diberi wewenang undang undang untuk mengambil sumpah advokat, pengadilan tinggi tidak boleh memihak. ”Kalau yang satu disumpah yang lain tidak, kan kacau,” katanya. Sementara di sisi lain, ujarnya, mengambil sumpah untuk lebih dari satu organisasi berarti melanggar undang undang. ”Kami minta petunjuk MA supaya ada keseragaman,” ujarnya.
PERPECAHAN di antara advokat terjadi ketika Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Mei 2008 lalu, memecat pengacara Todung Mulya Lubis. Pemecatan pengacara senior ini merupakan buntut dari pengaduan Hotman Paris Hutapea, yang menuduh Todung melanggar kode etik dan Undang Undang Advokat karena memiliki konflik kepentingan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengacara.
Konflik kepentingan yang dimaksud Hotman adalah posisi Todung yang menjadi kuasa hukum Grup Salim melawan Grup Makindo dalam kasus pembelian aset Sugar Group milik Salim di Lampung. Di sini Hotman menjadi kuasa hukum Makindo. Menurut Hotman, sebagai mantan kuasa hukum Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengaudit aset kelompok bisnis Salim, posisi Todung sebagai pembela Salim dalam kasus Sugar Group mengandung benturan kepentingan.
Todung sendiri saat itu menegaskan, dalam kasus ini tidak ada benturan kepentingan apa pun. Ia menyatakan memiliki perjanjian dengan BPPN yang menyatakan dirinya tidak akan melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan kepentingan sepanjang dua tahun setelah mengaudit aset obligor. Todung menjadi pengacara Salim pada 2006, tepat dua tahun setelah audit terhadap aset Salim selesai. Tapi alasan Todung tak diterima majelis kehormatan.
Pemecatan terhadap Todung itu mengundang perlawanan dari dalam tubuh Peradi sendiri. Wakil Ketua Umum Peradi saat itu, Indra Sahnun Lubis, meminta Todung tak mempedulikan hukuman itu. Alasan Indra, sebagai pengurus pusat ia tidak pernah diajak membentuk majelis kehormatan. Sehingga, menurut Indra, kualitas dan kompeten majelis itu tidak jelas. Bersama pengacara senior Adnan Buyung Nasution, Indra lantas memotori berdirinya Kongres Advokat Indonesia (KAI), yang kemudian dideklarasikan pada 30 Mei 2008.
Menurut Ketua Peradi, Denny Kailimang, perpecahan di antara advokat disebabkan ego masing masing. Padahal, menurut Denny, mereka yang tidak puas dengan Peradi bisa ”bertempur” dalam Musyawarah Nasional Peradi, yang akan digelar pada Agustus 2010. ”Jadi, bukan dengan mendirikan organisasi lagi,” ujarnya.
Kedudukan Peradi dengan anggota sekitar 21 ribu advokat, kata Denny, juga telah dikuatkan Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya pada 30 November 2006. Lewat putusannya itu, Mahkamah Konstitusi, ujar Denny, mengakui Peradi sebagai satu satunya wadah profesi advokat. ”Tapi boleh saja jika ada yang mau mendirikan organisasi baru, namun sifatnya hanya paguyuban.”
Ini yang dibantah Presiden Kongres Advokat Indonesia, Indra Sahnun Lubis. Menurut Indra, Undang Undang Advokat mensyaratkan pendirian organisasi advokat harus melalui kongres atau musyawarah nasional. ”Kami yang melakukan kongres itu,” kata Indra. Adapun Peradi, ujar bekas Wakil Ketua Umum Peradi ini, muncul hanya berdasarkan kesepakatan delapan organisasi. ”Kalau tidak sepakat lagi, ya bubar.”
Munculnya surat edaran Harifin Tumpa ditanggapi para petinggi organisasi pengacara dengan beragam pendapat. Denny, misalnya, menunjuk pelarangan itu menandakan Mahkamah Agung telah mendengarkan suara suara di luar Peradi sebagai organisasi advokat yang sah. Padahal, ujarnya, sebelumnya MA telah membuat Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2007 tentang petunjuk pengambilan sumpah atas permintaan Peradi. ”Kami berpegang pada surat edaran itu,” katanya.
Dengan dasar surat itulah, tutur Denny, pihaknya menganggap tidak ada dampak pelarangan pengambilan sumpah itu bagi Peradi. ”Surat itu ditujukan kepada organisasi advokat selain Peradi,” kata Denny. Selama ini, menurut Denny, pengadilan tinggi juga tidak pernah menolak permintaan Peradi untuk mengambil sumpah anggotanya.
Pengambilan sumpah terakhir terhadap anggota Peradi dilakukan pada akhir tahun lalu. Saat itu ada sekitar 1.300 advokat baru yang disumpah. Kini ada sekitar 2.700 advokat baru Peradi yang menunggu giliran. Menurut Denny, jika pengadilan tinggi menolak mengambil sumpah advokat Peradi, itu berarti Mahkamah Agung telah mengadu domba advokat. ”Ini urusan internal advokat, seharusnya MA tidak usah ikut campur,” kata Denny.
Sementara calon advokat Peradi ada yang sudah diambil sumpah oleh pengadilan tinggi, lain lagi nasib pada advokat alumni KAI. Menurut Indra, pihaknya sudah berkali kali meminta pengadilan tinggi di berbagai daerah mengambil sumpah para advokat dari organisasinya. ”Tapi mereka tidak melaksanakan dengan alasan menunggu petunjuk Mahkamah Agung,” ujar Indra.
Adapun KAI, ujar Indra, kini bersiap mengajukan uji materi terhadap Undang Undang Advokat, khususnya pada pasal yang mengatur pengambilan sumpah itu. Tentang posisi Peradi dalam Surat Edaran Mahkamah Nomor 1 Tahun 2007, Indra menegaskan ketentuan itu sudah hangus. ”Karena waktu itu, ya, hanya ada Peradi,” katanya.
Hingga April lalu, tercatat 10 ribu advokat KAI yang sudah dilantik. KAI mengambil caranya sendiri melantik anggotanya: mereka disumpah di hadapan rohaniwan. Indra menegaskan, pihaknya tidak terpengaruh oleh surat Ketua Mahkamah Agung. ”KAI tetap akan melantik anggotanya,” ujarnya. Menurut dia, para advokat anggota KAI tetap dapat beracara di persidangan. Ini, ujarnya, karena Ketua Mahkamah Agung pernah memerintahkan agar pengadilan tidak melarang advokat beracara. ”Yang penting ia bisa menunjukkan identitas advokatnya.”
Harifin A. Tumpa menolak berkomentar tentang sah tidaknya advokat yang diambil sumpah oleh rohaniwan seperti dilakukan KAI. ”Baca saja undang undangnya,” katanya. Ia juga menolak menyebut sanksi yang dijatuh kan jika ada pengadilan tinggi yang mengambil sumpah advokat. ”Nanti kita lihat dulu. Sekarang belum ada yang melanggar.”
KINI yang ”memanen” konflik dua organisasi ini memang calon advokat seperti Muhamad Isnur itu. Ini pula yang mendorong pria 25 tahun itu, bersama sekitar 200 an temannya yang bernasib sama, menggagas sebuah gerakan untuk menyelesaikan kemelut ini. ”Ada rencana, misalnya mendatangi para pimpinan organisasi advokat,” ujarnya.
Sehari hari Isnur adalah pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Untuk menjalankan tugasnya, hingga sekarang ia hanya mengantongi kartu izin sementara praktek advokat. Jika beracara di pengadilan, misalnya, ia harus didampingi advokat senior.
Isnur sudah mengeluarkan Rp 5 juta untuk mengikuti pendidikan advokat selama dua bulan. Selain sudah dua tahun magang di kantor bantuan hukum, ia juga sudah ”menyelesaikan tugas” sebagai calon advokat: mengurus tiga perkara pidana dan enam perkara perdata. ”Tapi tetap saja ternyata tidak bisa dilantik,” ujarnya.
Seperti Isnur, demikian pula nasib yang kini dialami Andi Muttaqien. Lulusan Universitas Nasional Jakarta itu juga urung menyandang ”gelar” pengacara lantaran munculnya surat Ketua Mahkamah Agung. ”Surat itu benar benar merugikan calon advokat,” ujar calon pengacara yang sudah mengeluarkan duit Rp 3,5 juta untuk mengikuti kursus pengacara itu.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo