Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN rumah toko membentang di sepanjang Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta Pusat. Dari arah Gunung Sahari, letaknya memanjang mulai depan Golden Boutique Hotel sampai Jalan Kran Raya, persis di sebelah kanan kantor pusat PT Pelayaran Nasional Indonesia. Dibelah rel kereta api, deretan ruko itu banyak dimanfaatkan sebagai lokasi perkantoran. Hanya satu-dua ruko yang tampak tak berpenghuni.
Tak banyak yang tahu, ruko-ruko itu—sebagian besar berlantai dua—berdiri di atas tanah yang menjadi obyek sengketa. Mengantongi surat hak milik warisan orang tuanya yang terbit pada 23 Maret 1964, Hasan Ismail, warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengklaim sebagai pemilik sah tanah seluas 3,6 hektare itu. Padahal sudah belasan, bahkan puluhan, tahun tanah itu dikuasai pihak lain, yang juga memegang sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional Kota Madya Jakarta Pusat.
Menurut data BPN, tanah itu telah dipecah ke dalam 32 sertifikat, atas nama 19 pemegang hak. Sebagian besar berupa sertifikat hak guna bangunan. Pada Mei 2008, Hasan menggugat BPN Jakarta Pusat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta. Ia meminta pengadilan memerintahkan BPN menganulir 32 sertifikat itu.
Kepada Tempo, belasan pemegang sertifikat hak guna bangunan tanah itu mempertanyakan kenapa Hasan baru mempersoalkan kepemilikan lahan tersebut pada Mei 2008. "Jika ada masalah sejak awal, tak mungkin ruko kami bertahan sampai 20 tahun," kata David Iskandar, salah seorang pemegang hak yang sudah dua kali memperpanjang sertifikat tanahnya, pekan lalu. Menurut mereka, kalau memang Hasan mengantongi sertifikat tahun 1964, seharusnya ia sudah mempersoalkan pembangunan ruko di atas tanah itu, yang dimulai pada 1989.
Nah, yang membuat para pemegang hak itu semakin geleng-geleng kepala adalah putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Hasan, akhir Januari 2009. Putusan itu bahkan dikuatkan di tingkat kasasi sampai peninjauan kembali. Rabu dua pekan lalu, salinan putusan peninjauan kembali sudah dikirim kepada para pihak yang bersengketa. "Kami harap putusan itu segera dieksekusi," kata pengacara Hasan, Sumantri.
Syahdan, menurut pengakuan Hasan kepada majelis hakim, ia baru mengetahui adanya pihak lain yang juga memiliki sertifikat tanah itu dari saksi Joe Denny Wiyono, Maret 2008. Ketika bersaksi di pengadilan, Joe, yang berprofesi sebagai broker properti, mengaku awalnya ia tengah menjajaki pembelian beberapa ruko di kawasan itu. Setelah bertemu dengan pemilik ruko, kepadanya diperlihatkan dua sertifikat hak guna bangunan ruko yang akan dijual. Sertifikat itu atas nama PT Inti Era Cipta.
Setelah dicek di Kelurahan Kemayoran, menurut Joe, tanah itu ternyata atas nama Hasan Ismail. Terdorong rasa penasaran, Joe mendatangi kediaman Hasan untuk menanyakan apakah ia sudah melepas tanah itu kepada pihak lain. Karena Hasan mengaku tak pernah melepas tanah kepada siapa pun, Joe akhirnya batal membeli beberapa unit ruko di kawasan yang nilai obyek pajaknya kini bisa mencapai Rp 7 juta per meter persegi itu.
Informasi Joe itulah yang dipakai Hasan sebagai bahan awal menggugat BPN Jakarta Pusat ke PTUN. Ketika pemeriksaan persiapan di pengadilan, Hasan baru mengetahui BPN Jakarta Pusat telah memecah tanah itu ke dalam 32 sertifikat. Karena pemegang 32 sertifikat itu juga berkepentingan terhadap gugatan Hasan, mereka mengajukan diri sebagai pemohon intervensi atau pihak ketiga.
Modal utama Hasan mengajukan gugatan adalah Sertifikat Hak Milik Nomor 116/Pasar Baru, yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Tanah dan Pengawasan Pendaftaran Tanah Djakarta pada 23 Maret 1964. Surat itu diteken Kepala Balai Pendaftaran Tanah Chiseki Jimu Kijoku. Sertifikat hak milik itu merupakan konversi dari 20483 atas nama Geo Carool Lijnis Huffenreuter.
Setelah menikah dengan Hadidjah, pria Belanda itu mengubah namanya menjadi Hak Ismail. Dari perkawinannya dengan Hadidjah, ia punya empat anak. Anak ketiganya tak lain adalah Hasan Ismail. Setelah ayahnya meninggal, Hasan mendapatkan hak waris atas tanah seluas 3,6 hektare itu. Penyerahan hak waris dibuat di hadapan notaris Darmani Bakaroedin dan Mohamad Said Tadjoedin.
Dalam persidangan, para pemegang 32 sertifikat tanah juga menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah. Dalam permohonan intervensinya, mereka menilai gugatan Hasan Ismail kedaluwarsa. Dalil Hasan yang mengaku baru mengetahui 32 sertifikat bangunan pada awal Mei 2008 dianggap mengada-ada. Sebab, faktanya, menurut mereka, pembangunan di atas tanah itu dimulai pada 1989.
Di persidangan, BPN Jakarta Pusat menyangkal telah melakukan kesalahan prosedur menerbitkan 32 sertifikat itu. Dari riwayat tanahnya, BPN menjelaskan bahwa 32 sertifikat itu merupakan hasil pemecahan Sertifikat Hak Milik Nomor 116/Pasar Baru, yang luas awalnya 3,6 hektare. Karena ada proses jual-beli oleh ayah Hasan Ismail, eigendom awal dipecah menjadi tiga, sehingga luasnya menyusut menjadi 2,37 hektare. Eigendom 2,37 hektare ini yang dikonversi menjadi Sertifikat Nomor 116/Pasar Baru.
Dari beberapa kali pemecahan Sertifikat Nomor 116/Pasar Baru, akhirnya berujung pada 32 sertifikat itu. Di pengadilan, BPN mengakui Sertifikat Nomor 116/Pasar Baru yang seharusnya diklaim Hasan bukan seluas 3,6 hektare, melainkan sisa hasil pemecahan seluas 1,02 hektare. Namun di catatan buku halaman tanah BPN sendiri luas sisanya dicatat 2,5 hektare.
Majelis hakim PTUN, yang diketuai Mula Haposan Sirait, menilai ada tindakan kurang teliti dan tidak cermat alias teledor yang dilakukan BPN. Seharusnya dengan adanya proses jual-beli kepada pihak ketiga, menurut majelis, konversi eigendom awal itu tidak menggunakan surat ukur asal dengan luas tanah 3,6 hektare, tapi surat ukur berdasarkan eigendom dengan luas sisa. Kekeliruan ini diakui BPN. "Sehingga ada tumpang-tindih sertifikat tanah itu," kata hakim.
Majelis juga menilai BPN Jakarta Pusat tidak melakukan penyelidikan riwayat tanah ketika menerbitkan 32 sertifikat itu. Padahal Hasan Ismail, menurut majelis, masih mempunyai tanah 1,02 hektare di kawasan itu. Saat majelis hakim mengecek ke lapangan, tidak ada lagi lahan kosong. Kondisi ini, menurut hakim, menyebabkan tanah 1,02 hektare milik Hasan di kawasan itu tidak jelas posisinya. "Karena tak ada lahan kosong di sana, hanya ada ruko," kata hakim.
Walhasil, karena ketidakcermatan BPN, hakim menilai 32 sertifikat itu cacat hukum karena di atas tanah yang sama ada dua sertifikat. Karena pertimbangan ini, gugatan Hasan dikabulkan, kendati kepemilikannya bukan 3,6 hektare, melainkan hanya 1,02 hektare. Majelis juga meminta BPN menentukan posisi tanah Hasan. Putusan di pengadilan pertama ini diiyakan majelis kasasi dan peninjauan kembali, yang diketuai hakim agung Paulus Effendi Lotulung.
Para pemegang 32 sertifikat tanah yang dibatalkan itu mengaku akan terus melawan. Mereka menilai putusan yang memenangkan Hasan hanya putusan administrasi. Untuk menentukan siapa yang sah memiliki lahan itu, mereka tengah menyiapkan gugatan perdata. "Masih kami siapkan gugatan itu," kata Alfie Dasaad, mewakili pemegang sertifikat atas nama PT Cipta Marga Nusaphala Persada.
Hasan belum bisa dimintai tanggapan soal langkah apa yang akan ia lakukan setelah MA memenangkan gugatannya. Kamis pekan lalu, ketika Tempo mendatangi rumahnya di Jalan Adam, Kebon Jeruk, pria yang sehari-hari bekerja serabutan ini tengah pergi ke Kebumen, Jawa Tengah. Tapi menurut pengacaranya, Sumantri, kliennya saat ini masih menanti eksekusi putusan itu. "Setelah itu, baru menentukan upaya hukum selanjutnya," kata Sumantri.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo