Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Setelah lurah asrori mengaku

Kepala desa bakal, jateng, asrori, diadukan warganya syamsudin & chairul anam, ke kejaksaan. perkara terhenti sampai pembuatan berita acara. kemudian mereka ditahan, dituduh membuat pengaduan palsu.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATAS perintah Mahkamah Agung, 10 Pebruari, dua hari kemudian Sjamsudin dilepaskan dari tempat tahanannya di Pulau Nusakambangan. Ia disekap di pulau terpencil yang beken itu - dan akhir-akhir ini juga terkenal untuk menahan penyelundup kelas kakap -- selama 5 bulan. "Padahal, kalau saya dianggap bersalah, juga hanya terlibat perkara kecil saja", ujar Sjam kepada TEMPO. Mula-mula, begitu kisah Sjam, ia hanya berniat melakukan semacam kontrol sosial terhadap beberapa perbuatan Kepala Desa Bakal di Banjarnegara (Jawa Tengah), yang dianggapnya telah banyak merugikan kepentingan warga desanya. "Kontrol sosial telah saya lakukan secara wajar", katanya. Yaitu, "melalui prosedur hukum yang berlaku". Bentuknya sebuah surat pengaduan, yang dilengkapi beberapa bukti, kemudian diajukan ke Kantor Kejaksaan setempat. Namun, "proses hukum berjalan sedemikian rupa, sehingga bukan orang yang saya adukan yang diperiksa pengadilan, malah saya dijebloskan ke bui", keluh Sjam. Merasa telah diperlakukan tidak adil. Sjam bersama rekannya Chairul Anam berada di ruang tamu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. "Kami mencoba hendak mencari keadilan kemari" kata mereka. Namun LBH sendiri, yang sudah jauh-jauh didatangi mereka dari Jawa Tengah, agaknya cuma bisa kasih nasihat saja. Pengaduan Sjam dan temannya terhadap kepala desanya, memang jauh dari jangkauan praktek hukum LBH yang berada di Jakarta. Mulanya soal sengketa tanah biasa saja. Adalan seorang warga desa Bakal, bernama Anam, mencoba memprotes Lurah Asrori yang dituduh telah menggarap tanah sawahnya sebagai tanah milik desa saja. Karena Anam menganggap perbuatan pemimpin desanya itu sebagai perampasan hak, perkara diteruskan ke kejaksaan. Salah seorang jaksa, yang menerima pengaduan, cuma geleng kepala. Perkara perampasan tanah itu, menurut jaksa tadi, tak dapat dilanjutkan -- karena kurang cukup bukti. "Jaksa menyarankan agar saya bersama Sjam mengumpulkan bukti lain sehubungan dengan perbuatan sewenang-wenang Asrori", kata Anam. Bulan Januari, dua tahun lalu, bukti yang diminta jaksa diajukan sebagai pengaduan warga desa. Isinya macam-macam. Ada soal pajak jiwa yang dipungut kepala desa sebanyak Rp 00 perjiwa dari warganya. Ada juga soal penarikan pajak Ipeda. Katanya: Asrori telah mengutip Ipeda lebih banyak dari yang ditentukan secara resmi. "Sampai tiga kali lipat lebih". Bahkan, untuk menutup kecurangannya itu, surat penagihan Ipeda yang resmi tidak pernah diberikan kepada warganya. Sebagai gantinya, rakyat hanya memperoleh secarik kertas (dari kertas sigaret) yang dinyatakan sebagai tanda pelunasan Ipeda. Tuduhan berikutnya lebih serius. Sang Lurah, begitu bunyi surat tuduhan dituduh telah menggelapkan sebagian uang ganti rugi tanah rakyat yang dikontrakkan kepada PT Dieng Jaya untuk proyek penanaman jamur. Malah sumbangan PT Dieng Jaya, sebanyak Rp juta, kepada warga desa untuk pembuatan jalan desa tak pernah dinikmati oleh rakyat. Jalan yang ada di desa Bakal tetap saja terbengkalai. Tuduhan lain berupa laporan tentang perbuatan sewenang-wenang Asrori yang menyankut keselamatan dan jiwa beberapa orang warganya. Itu berupa penganiayaan berat, yang menyebabkan beberapa orang meninggal dunia. Semua laporan, disertai berbagai bukti kertas sigaret sebagai bukti pembayaran Ipeda, surat pernyataan keluarga korban penganiayaan, sampai foto-foto keadaan desa Bakal. Semua surat pernyataan lengkap dengan tandatangan, cap jempol di atas kertas bermeterai. Begitu pengaduan disampaikan, kelihatannya jaksa memang bertindak. Asrori ditahan selama 10 hari untuk diperiksa. Hasilnya berupa sebuah Berita Acara (BA), yang diteken oleh jaksa Eddy Sidharta, yang menyatakan: Asrori telah mengakui tuduhan jam dan kawan-kawannya. Tak Menyerah Tapi perkara Asrori itu, seperti yang ternyata kemudian hanya terhenti hingga pemhuatan BA. Tiba-tiba jaksa ganti arah 40 hari setelah Asrori dilepaskan dari tahanan sementara, giliran Sjam dan Anam yang dipegang. Walaupun dalam BA, yang ditandatangani jaksa dan Asrori tanggal 15 April 1975, membenarkan tuduhan, toh perkara bisa berubah arah. Kini Sjam dan Anam masuk tahanan dengan tuduhan: memalsukan surat bukti dan membuat pengaduan palsu terhadap kepala desanya. "Kontrol sosial dari masyarakat terhadap penguasa di desa sekalipun, ternyata tidak mudah dan berbahaya", kata Sjamsudin kemudian. "Buktinya, walaupun BA membenarkan laporan saya tapi kedudukan perkara bisa berbalik dan menjerumuskan si pelapor". Sidang perkara 'pemalsuan surat bukti dan pengaduan palsu' Sjam dan Anam berlangsung. Semuanya lancar seperti yang dituduhkan jaksa. Asrori, yang berdiri sebagai saksi utama, tak sulit memojokkan Sjam dan Anam. Misalnya, seperti yang dapat dikutip dari surat keputusan pengadilan: uang Rp 2 juta, dari PT Dieng Jaya, sudah diterimakasih kepada Bupati Banjarnegara. Yang melakukan penganiayaan tentu saja, bukan pak lurah pribadi tapi ditangani oknum bawahannya. Sedang para saksi lain yang menandatangani beberapa pernyataan sebagai bukti pengaduan Sjam, juga tidak membantu meringankan. Akhirnya pengadilan Banjarnegara memutuskan: hukuman penjara 2 tahun bagi masing-masing tertuduh. Keduanya naik banding seraya masih mencoba menyatakan: Untuk membuktikan palsu atau benar tuduhan terhadap Asrori, sebaiknya diperiksa dulu oleh pengadilan. "Kalau Asrori telah dibebaskan dari tuduhan kami, barulah kami diajukan ke pengadilan dengan pengaduan palsu atau fitnan", kata Sjam. Pengadilan Tinggi tidak menanggapi pernyataan itu. Pengadilan tingkat banding ini hanya mengurangi hukuman bagi keduanya menjadi 1« tahun penjara. Kedua pesakitan ini tidak menyerah. Mereka naik kasasi, Mahkamah Agung belum memutus perkara mereka. Hanya permintaan mereka untuk menunggu putusan di luar penjara, oleh Mahkamah Agung dipenuhi dengan sebuah telegram. Cuma bagaimana pengaduan mereka atas Asrori bisa beku di laci kejaksaan entahlah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus