ATAS perintah Mahkamah Agung, 10 Pebruari, dua hari kemudian
Sjamsudin dilepaskan dari tempat tahanannya di Pulau
Nusakambangan. Ia disekap di pulau terpencil yang beken itu -
dan akhir-akhir ini juga terkenal untuk menahan penyelundup
kelas kakap -- selama 5 bulan. "Padahal, kalau saya dianggap
bersalah, juga hanya terlibat perkara kecil saja", ujar Sjam
kepada TEMPO.
Mula-mula, begitu kisah Sjam, ia hanya berniat melakukan semacam
kontrol sosial terhadap beberapa perbuatan Kepala Desa Bakal di
Banjarnegara (Jawa Tengah), yang dianggapnya telah banyak
merugikan kepentingan warga desanya. "Kontrol sosial telah saya
lakukan secara wajar", katanya. Yaitu, "melalui prosedur hukum
yang berlaku". Bentuknya sebuah surat pengaduan, yang dilengkapi
beberapa bukti, kemudian diajukan ke Kantor Kejaksaan setempat.
Namun, "proses hukum berjalan sedemikian rupa, sehingga bukan
orang yang saya adukan yang diperiksa pengadilan, malah saya
dijebloskan ke bui", keluh Sjam.
Merasa telah diperlakukan tidak adil. Sjam bersama rekannya
Chairul Anam berada di ruang tamu Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta. "Kami mencoba hendak mencari keadilan kemari" kata
mereka. Namun LBH sendiri, yang sudah jauh-jauh didatangi mereka
dari Jawa Tengah, agaknya cuma bisa kasih nasihat saja.
Pengaduan Sjam dan temannya terhadap kepala desanya, memang jauh
dari jangkauan praktek hukum LBH yang berada di Jakarta.
Mulanya soal sengketa tanah biasa saja. Adalan seorang warga
desa Bakal, bernama Anam, mencoba memprotes Lurah Asrori yang
dituduh telah menggarap tanah sawahnya sebagai tanah milik desa
saja. Karena Anam menganggap perbuatan pemimpin desanya itu
sebagai perampasan hak, perkara diteruskan ke kejaksaan. Salah
seorang jaksa, yang menerima pengaduan, cuma geleng kepala.
Perkara perampasan tanah itu, menurut jaksa tadi, tak dapat
dilanjutkan -- karena kurang cukup bukti. "Jaksa menyarankan
agar saya bersama Sjam mengumpulkan bukti lain sehubungan dengan
perbuatan sewenang-wenang Asrori", kata Anam.
Bulan Januari, dua tahun lalu, bukti yang diminta jaksa diajukan
sebagai pengaduan warga desa. Isinya macam-macam. Ada soal pajak
jiwa yang dipungut kepala desa sebanyak Rp 00 perjiwa dari
warganya. Ada juga soal penarikan pajak Ipeda. Katanya: Asrori
telah mengutip Ipeda lebih banyak dari yang ditentukan secara
resmi. "Sampai tiga kali lipat lebih". Bahkan, untuk menutup
kecurangannya itu, surat penagihan Ipeda yang resmi tidak pernah
diberikan kepada warganya. Sebagai gantinya, rakyat hanya
memperoleh secarik kertas (dari kertas sigaret) yang dinyatakan
sebagai tanda pelunasan Ipeda.
Tuduhan berikutnya lebih serius. Sang Lurah, begitu bunyi surat
tuduhan dituduh telah menggelapkan sebagian uang ganti rugi
tanah rakyat yang dikontrakkan kepada PT Dieng Jaya untuk proyek
penanaman jamur. Malah sumbangan PT Dieng Jaya, sebanyak Rp
juta, kepada warga desa untuk pembuatan jalan desa tak pernah
dinikmati oleh rakyat. Jalan yang ada di desa Bakal tetap saja
terbengkalai. Tuduhan lain berupa laporan tentang perbuatan
sewenang-wenang Asrori yang menyankut keselamatan dan jiwa
beberapa orang warganya. Itu berupa penganiayaan berat, yang
menyebabkan beberapa orang meninggal dunia.
Semua laporan, disertai berbagai bukti kertas sigaret sebagai
bukti pembayaran Ipeda, surat pernyataan keluarga korban
penganiayaan, sampai foto-foto keadaan desa Bakal. Semua surat
pernyataan lengkap dengan tandatangan, cap jempol di atas kertas
bermeterai. Begitu pengaduan disampaikan, kelihatannya jaksa
memang bertindak. Asrori ditahan selama 10 hari untuk diperiksa.
Hasilnya berupa sebuah Berita Acara (BA), yang diteken oleh
jaksa Eddy Sidharta, yang menyatakan: Asrori telah mengakui
tuduhan jam dan kawan-kawannya.
Tak Menyerah
Tapi perkara Asrori itu, seperti yang ternyata kemudian hanya
terhenti hingga pemhuatan BA. Tiba-tiba jaksa ganti arah 40 hari
setelah Asrori dilepaskan dari tahanan sementara, giliran Sjam
dan Anam yang dipegang. Walaupun dalam BA, yang ditandatangani
jaksa dan Asrori tanggal 15 April 1975, membenarkan tuduhan, toh
perkara bisa berubah arah. Kini Sjam dan Anam masuk tahanan
dengan tuduhan: memalsukan surat bukti dan membuat pengaduan
palsu terhadap kepala desanya. "Kontrol sosial dari masyarakat
terhadap penguasa di desa sekalipun, ternyata tidak mudah dan
berbahaya", kata Sjamsudin kemudian. "Buktinya, walaupun BA
membenarkan laporan saya tapi kedudukan perkara bisa berbalik
dan menjerumuskan si pelapor".
Sidang perkara 'pemalsuan surat bukti dan pengaduan palsu' Sjam
dan Anam berlangsung. Semuanya lancar seperti yang dituduhkan
jaksa. Asrori, yang berdiri sebagai saksi utama, tak sulit
memojokkan Sjam dan Anam. Misalnya, seperti yang dapat dikutip
dari surat keputusan pengadilan: uang Rp 2 juta, dari PT Dieng
Jaya, sudah diterimakasih kepada Bupati Banjarnegara. Yang
melakukan penganiayaan tentu saja, bukan pak lurah pribadi tapi
ditangani oknum bawahannya. Sedang para saksi lain yang
menandatangani beberapa pernyataan sebagai bukti pengaduan Sjam,
juga tidak membantu meringankan.
Akhirnya pengadilan Banjarnegara memutuskan: hukuman penjara 2
tahun bagi masing-masing tertuduh. Keduanya naik banding seraya
masih mencoba menyatakan: Untuk membuktikan palsu atau benar
tuduhan terhadap Asrori, sebaiknya diperiksa dulu oleh
pengadilan. "Kalau Asrori telah dibebaskan dari tuduhan kami,
barulah kami diajukan ke pengadilan dengan pengaduan palsu atau
fitnan", kata Sjam. Pengadilan Tinggi tidak menanggapi
pernyataan itu. Pengadilan tingkat banding ini hanya mengurangi
hukuman bagi keduanya menjadi 1« tahun penjara.
Kedua pesakitan ini tidak menyerah. Mereka naik kasasi, Mahkamah
Agung belum memutus perkara mereka. Hanya permintaan mereka
untuk menunggu putusan di luar penjara, oleh Mahkamah Agung
dipenuhi dengan sebuah telegram. Cuma bagaimana pengaduan mereka
atas Asrori bisa beku di laci kejaksaan entahlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini