Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setoran Misterius di Kantong Jaksa

Ada setoran uang dalam kasus tersangka Djoko Ramiadji. Itukah sebabnya perkara ini bolak-balik dibuka?

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana rapat Komisi III di gedung DPR Senayan senyap sesaat. Itu terjadi ketika Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan membuka kembali sejumlah kasus yang mendapat surat penghentian penyidikan perkara (SP3) di masa lalu.

Kata Arman—panggilan bagi Abdul Rahman—dalam program 100 hari Kejaksaan, mereka akan mengkaji ulang (review) lima kasus korupsi besar. Kelak, 17 kasus SP3 juga akan di-review. "Kami akan membuka seluruh file untuk melihat kemungkinan adanya data baru," ujarnya akhir November lalu. Lazimnya, menurut aturan, SP3 bisa dibuka bila sebuah kasus dinyatakan cukup bukti. Atau, bila ada bukti baru (novum) yang menunjukkan pelanggaran pidana.

Salah satu yang bakal dikaji ulang adalah kasus proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) Pondok Pinang-Kampung Rambutan (Jagorawi). Dalam kasus ini, tersangka Djoko Ramiadji, Direktur Utama PT Marga Nurindo Bhakti (MNB), mendapat surat penghentian penyidikan. Tersangka lain, yakni Tjokorda Raka Sukawati (mantan Direktur Utama PT Hutama Karya) dan Thamrin Tanjung (mantan Direktur MNB), sudah divonis majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat, Juni 1999. Sukawati dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun, sementara Thamrin dibui dua ta-hun.

Kasus Djoko bermula ketika PT Jasa Marga—selaku BUMN yang berhak mengelola, memelihara, dan mengadakan jalan tol di Indonesia—menggandeng pihak swasta, yakni PT MNB, sebagai investor dalam proyek ruas tol sesi selatan Pondok Pinang-Jagorawi. Di pihak lain, Hutama Karya, BUMN milik Departemen Pekerjaan Umum, terpilih sebagai kontraktor.

Nah, untuk menutupi kekurangan dana pembangunan jalan tol yang membutuhkan biaya Rp 321 miliar itu, MNB diharuskan menyetor modal. Dalam kaitan inilah Thamrin Tanjung, salah satu petinggi MNB, meminta Direktur Utama Hutama Karya, Tjokorda Raka Sukawati, menerbitkan commercial paper (CP) dan medium term notes (MTN).

Penerbitan CP dan MTN ini ternyata bermasalah pidana. Pasalnya, CP itu terbit tanpa sepengetahuan direksi dan komisaris Hutama Karya. Hasil penjualannya pun dipelintir. Dana penjualan CP dan MTN yang sekitar Rp 1,048 triliun plus US$ 471 juta itu bukannya dipakai mengongkosi proyek tol, melainkan malah dibagi-bagikan. Sebagian mengucur ke Thamrin dan Tjokorda. Sisanya, menurut pengakuan Thamrin di pengadilan, diserahkan sebagai "bancakan" kepada PT MNB, Djoko Ramiadji (Dirut MNB), dan Keluarga Cendana. Masalah pun meledak ketika CP dan MTN itu jatuh tempo. Hutama Karya menolak membayar karena merasa tak pernah menerbitkannya.

Perkara Djoko terhitung paling sering dibuka-tutup oleh para jaksa. Jika kasus ini dibuka kembali, sudah empat kali berkas Djoko dibongkar. Kasus ini pertama kali dihentikan pada 1999 semasa Jaksa Agung dijabat Ismudjoko. Pada tahun 2001, kasus ini kembali dibuka atas perintah Jaksa Agung Marzuki Darusman dengan dalih ditemukan novum. Dan pada 2003, semasa Jaksa Agung M.A. Rachman, kasus ini juga dibuka, namun akhirnya ditutup kembali. Hingga kini, tak ditemukan fakta dan bukti keterlibatan Djoko dalam penerbitan CP yang membuatnya bisa dipidana.

Kisah di balik seringnya kasus ini dibuka-tutup kini sedikit terkuak dengan dokumen setoran duit Mooryati Soedibyo—ibu kandung Djoko—ke Kejaksaan.

Cerita dimulai ketika sebuah surat bertajuk surat penyerahan, tertanggal 3 Agustus 1998, dikirim Mooryati Soedibyo, 75 tahun, ke Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Ramelan. Isinya, Mooryati, dengan itikad baik guna kepentingan negara, menitipkan uang kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) cq Direktur Tindak Pidana Korupsi uang Rp 37 miliar. Dana ini, menurut Mooryati, diserahkan sebagai pembayaran kerugian keuangan negara bilamana Djoko terbukti bersalah. Berita acara serah-terima surat ini ditandatangani Mooryati dan Jaksa Ramelan, lengkap dengan tanda tangan dan stempel Kejaksaan Agung.

Dalam salinan dokumen yang diperoleh Tempo, setoran itu berupa dua bilyet giro dari Bank Ratu—bank milik pengusaha jamu dan kosmetik ternama itu. Jaksa Ramelan kemudian menyimpan uang di BNI cabang Kebayoran Baru dalam bentuk deposito atas namanya sendiri dan Jaksa Bismar Mannu. Bunganya ditampung dalam rekening tabungan khusus. Jaksa kemudian menerbitkan surat penyitaan sebulan kemudian, persisnya 10 September 1998.

Setahun berjalan, kasus Djoko lalu diberi SP3 oleh Jampidsus, 13 September 1999. Saat itu Jampidsus adalah Ramelan sendiri. Bersamaan dengan itu, dibuatkan surat pengembalian barang sitaan. Dan duit wanita kelahiran Solo tersebut dikembalikan melalui transfer sehari kemudian.

Keanehan terlihat karena Mooryati meminta duit "sitaan" itu sebelum SP3 keluar, persisnya tanggal 10 September 1999. Dalam surat dengan perihal pengembalian dana titipan, ia beralasan, karena perkara Djoko Ramiadji sudah berlangsung cukup lama (tanpa menyebut adanya SP3), ia memohon pengembalian uang titipan plus bunganya (tanpa menyebut jumlah bunga) untuk melanjutkan kegiatan usahanya. Mooryati—kini salah satu Ketua MPR dari unsur Dewan Perwakilan Daerah—meminta uang itu ditransfer ke rekeningnya di BNI Melawai.

Duit titipan itu akhirnya dikembalikan jaksa, plus bunga, sehingga total menjadi Rp 51,46 miliar. Pengembalian baru tuntas hampir sebulan setelah dicicil sebelas kali. Pada cicilan pertama, dikembalikan Rp 17 miliar. Lantas disetor sejumlah dana dari ratusan juta sampai Rp 4 miliar. Lalu, 7 Oktober, dikirim setoran terakhir Rp 20 miliar.

Ramelan, yang kini menjabat staf ahli Jaksa Agung, mengakui menerima setoran dana yang diserahkan Mooryati ke Kejaksaan. Ia beralasan apa yang ia lakukan semata mengamankan uang negara. "Daripada uang negara tak kembali, kita amankan dulu," katanya kepada Tempo. Ia menegaskan tak sesen pun mengambil uang itu. "Meskipun rekening itu ada nama saya, tapi hakikatnya itu rekening dinas," katanya. Rekening dinas, artinya itu rekening Jampidsus yang hanya bisa diambil dengan tanda tangan dua orang, yaitu Jampidsus dan direktur korupsi.

Ramelan juga memastikan bahwa ihwal penerimaan uang Mooryati, atasannya saat itu, yakni Jaksa Antonius Sujata, tahu. Bahkan, kata dia, Sujata dan dirinya yang meneken sertifikat deposito uang tersebut. Adapun ihwal status barang sitaan, menurut dia, karena secara hukum acara pidana, uang dari Mooryati bisa disita.

Tapi Antonius Sujata, kini Ketua Ombudsman, membantah. "Saya tidak pernah diberi tahu soal uang itu," katanya. Setahu dia, tak ada uang titipan dalam kasus Djoko dan ia tak pernah meneken apa pun.

Sedangkan Tri Budianto Sukarno, Sekretaris Perusahaan Drassindo Persada Utama—perusahaan milik Djoko—membantah bahwa uang yang diserahkan itu adalah uang sitaan. Ia menegaskan, duit itu adalah uang pribadi Mooryati untuk jaminan anaknya. "Bu Mooryati takut Kejaksaan menetapkan anaknya sebagai buron karena, saat kasus ini disidik, Djoko sedang berada di Singapura untuk berobat," kata juru bicara Mooryati untuk kasus ini.

Menurut Budianto, jaksa awalnya tidak percaya Djoko akan pulang ke Indonesia. "Akhirnya Bu Mooryati menitipkan uang sebagai jaminan bahwa anaknya pasti kembali," katanya. Jaksa sendiri, seingat Budianto, sempat bingung menetapkan status uang dari Mooryati apakah bisa dikenai penyitaan atau tidak.

Ketidakjelasan itu terjadi karena memang tidak ada aturan mengenai uang titipan. Menurut Ramelan, ia berpedoman pada Pasal 39 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang benda yang bisa dikenai penyitaan. Pasal ini menyebut yang bisa disita adalah benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian terkait langsung dengan tindak pidana. "Ini dasar hukum tindakan saya," katanya yakin. Tapi, sebetulnya, dalam pasal-pasal itu tidak diatur bahwa uang jaminan dari pihak ketiga bisa dikenai penyitaan. Tentang ini, Ramelan menyebut, "Praktek semacam itu sudah banyak dilakukan jaksa."

Memang muncul pertanyaan, mengapa Mooryati bisa meminta uang itu—dan dikabulkan—padahal SP3 Djoko belum keluar. Ramelan sendiri mengakui, akibat SP3 Djoko, ia dituduh menerima suap. Namun, ia yakin tak ada yang salah dengan langkahnya. "Perkara itu dihentikan karena tidak cukup bukti," kata Ramelan. Bukti itu adalah kesaksian Tony Basuki dan Ratnawati Pola—keduanya direksi Bank Umum Sejahtera, penerbit CP—yang kini buron. "Saya bisa mempertanggungjawabkan keputusan itu, sampai kapan pun," ujarnya tegas.

Kejaksaan Agung pun tak mempersoalkan ihwal penyitaan uang Mooryati itu. "Itu antisipasi untuk menghindari kerugian negara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum, Suhandoyo. "Nyatanya, setelah tidak terbukti, uang itu bisa dikembalikan," ujarnya.

Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus