Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan terakhir adalah hari-hari melelahkan bagi Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, Boediman Raharjo. Bukan lantaran sedang memeriksa kasus korupsi besar di wilayahnya, melainkan karena ia kini harus membuka kembali berkas-berkas pemeriksaan Sudjiono Timan. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memang meminta Boediman memaparkan kasus mantan Direktur PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu, yang Rabu dua pekan lalu divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung dan kini menjadi buron.
Jumat dua pekan lalu, misalnya, Boediman menerangkan panjang-lebar kasus korupsi di tubuh Bahana, perusahaan sekuritas nasional yang didirikan untuk membantu pengusaha kecil dan menengah, di depan Jaksa Agung. Selain Boediman, Jaksa Agung juga memanggil Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, Ferry Wibisono, yang dulu juga menyidik Sudjiono. Ferry belum bisa memenuhi panggilan itu karena sedang bertugas ke Bangkok. "Pulang dari Bangkok, saya akan langsung ke Kejaksaan Agung. Sejak dulu kami yakin dia korupsi," kata Ferry kepada Tempo melalui telepon internasional, Jumat lalu.
Sudjiono sendiri kini raib entah ke mana. Rabu dua pekan lalu, lima hari setelah MA menolak kasasinya, aparat kejaksaan tak menemukan Sudjiono. Dia tak ada di dua rumahnya, di Jalan Prapanca dan Diponegoro. Sejak itulah Yujin-demikian koleganya memanggil pengusaha ini-buron. "Keluarganya meminta saya mengurus kasusnya. Tapi saya tidak bisa mengurus kasus hukum orang yang tidak jelas keberadaannya," kata pengacara Sudjiono Timan, Amir Syamsuddin.
Putusan MA itu memang patut membuat Sudjiono terhenyak. Sebab, dua tahun silam Sudjiono lolos dari jerat hukum. Kala itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Sudjiono bebas dari tuduhan korupsi yang didakwakan jaksa. Kejaksaan, ketika itu, memang mendakwa Sudjiono sebagai Direktur Bahana, bersama direksi lainnya, Haria Suprobo, Hadi Rusli, dan Witjaksono Abadiman-kini masih tersangka-menyelewengkan duit Bahana dengan cara mengucurkannya ke sejumlah perusahaan yang tak jelas kinerjanya.
Menurut Ferry, semua uang yang dikucurkan itu tidak memiliki perjanjian dan jaminan yang jelas. Gelontoran duit Bahana yang dipermasalahkan tersebut, antara lain, masuk ke Kredit Asia Finance Ltd., perusahaan milik pengusaha Agus Anwar yang juga menjadi tersangka. "Walau disebut berbasis di Hong Kong, perusahaan itu dijalankan di Jakarta," kata Ferry. Total kerugian negara akibat ulah Sudjiono mencapai Rp 2,2 triliun.
Kejaksaan lalu menyeret Sudjiono ke meja hijau. Sudjiono dituntut delapan tahun penjara dan diminta mengembalikan uang negara Rp 1 triliun. Tapi, harapan jaksa mengirim Sudjiono ke penjara kandas. Majelis hakim yang diketuai I.D.G Putra Jadnya membebaskan Sudjiono. Menurut hakim, kasus ini murni perkara perdata, bukan pidana. Kejaksaan langsung mengajukan kasasi. Tapi, ya, itu tadi. Kendati MA memutuskan Sudjiono dihukum 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti Rp 369 miliar, kejaksaan hanya bisa menggigit jari. Sudjiono telanjur lenyap.
Raibnya Sudjiono ini diduga berkat bantuan sejumlah polisi dan petugas kantor Imigrasi. Sejak pekan lalu, Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri memang memeriksa tiga perwira yang belakangan diketahui membantu membuatkan Sudjiono paspor. Dalam paspor itu Sudjiono sudah mengantongi visa ke Amerika, Inggris, dan Eropa.
Menurut Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, Imigrasi mengeluarkan paspor karena ada surat berkop kepolisian. Tapi, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar tak mau disalahkan. "Meskipun ada rekomendasi, termasuk dari polisi, yang menentukan pejabat imigrasi bersangkutan," kata Da'i. Hamid sendiri tak bisa menjamin Sudjiono tak memiliki paspor lagi, kendati instansinya telah menarik paspornya. "Bisa saja ia menggunakan paspor dengan nama lain," kata Hamid.
Kaburnya Sudjiono ini tak pelak menambah daftar pengusaha yang kini jadi buron atau kabur ke luar negeri. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, R.H. Soehandoyono, ada beberapa celah yang membuat para koruptor gampang kabur begitu tahu dirinya divonis bersalah. "Misalnya, leletnya turunnya putusan MA ke kejaksaan, sehingga sebelum kejaksaan mengeksekusi dia sudah kabur," kata Soehandoyono.
Menurut Soehandoyono, hakim seharusnya mengeluarkan perintah penahanan terhadap terdakwa jika kejaksaan mengajukan kasasi atas putusan hakim yang membebaskan seorang tersangka koruptor. Tapi, Amir Syamsuddin tak setuju pendapat ini. Menurut Amir, jika hakim memutus seorang terdakwa bebas, tak ada alasan menahannya lagi, sekalipun jaksa mengajukan kasasi. "Karena itu, jaksa harus benar-benar punya bukti kuat, jangan main tangkap hanya karena opini atau desakan publik," kata Amir.
L.R. Baskoro, Joniansyah, dan Siswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo