PERHATIAN dan kegusaran masyarakat terhadap kasus mantan presiden Soeharto nyatanya tak kunjung surut. Senin pekan ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyidangkan permohonan praperadilan dari Forum Pengacara, Pembela Hukum, Keadilan, dan Demokrasi (FPKD). Sebanyak 23 pengacara FPKD menuntut agar pengadilan membatalkan keputusan Jaksa Agung (pejabat sementara) Ismudjoko yang menghentikan penyidikan kasus Soeharto pada 11 Oktober 1999.
Tuntutan serupa diajukan pula oleh 61 pengacara yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pengacara 61 (FKP 61) Medan. Seperti FPKD, FKP 61, yang mendaftarkan gugatan praperadilannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, juga menuntut agar penyidikan kasus Soeharto dibuka kembali oleh Kejaksaan Agung.
Menurut Trimedya Panjaitan—salah seorang dari 23 pengacara FPKD—praperadilan itu diajukan lantaran proses kasus Soeharto, yang dibatasi hanya pada kasus penyalahgunaan dana tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto, benar-benar penuh kejanggalan. Tilik saja, tahap penyelidikan kasus itu memakan waktu lama, hampir 10 bulan, sejak instruksi presiden B.J. Habibie pada 3 Desember 1998 sampai 25 September 1999. Setelah itu, prosesnya ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, penyidikannya hanya berlangsung dua minggu, lantas dihentikan tiga hari menjelang pidato pertanggungjawaban Habibie di depan MPR.
Selama proses itu, status Soeharto tak jelas: saksi ataukah tersangka. Itu berarti, baru kali ini terjadi penyidikan perkara tanpa tersangka. Anehnya pula, Soeharto belum pernah diperiksa secara hukum (istilahnya projustitia) di tingkat penyidikan. Ia hanya pernah menjalani "klarifikasi" sewaktu penyelidikan di Kejaksaan Tinggi Jakarta pada 9 Desember 1998. Selanjutnya, keluar keputusan penghentian penyidikan, meskipun alat bukti berupa dokumen dan saksi sudah lebih dari cukup.
Berdasarkan itu, Trimedya berkesimpulan, tidak ada kesungguhan di pihak Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus Soeharto. "Yang dilakukan Kejaksaan Agung tak lebih dari komoditas politik pemerintahan Habibie untuk memberikan perlindungan istimewa kepada Soeharto, kendati telah membohongi masyarakat," kata Trimedya.
Namun, sebelum pengadilan menguji tuntutan utama FPKD, kualitasnya sebagai penggugat praperadilan mungkin bakal dipersoalkan. Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya jaksa penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan yang boleh mempraperadilankan penghentian penyidikan. Perlu diingat, dalam kasus korupsi, jaksa berperan sebagai penyidik sekaligus penuntut umum. Dengan begitu, tak mungkin ia menjadi penggugat praperadilan terhadap dirinya sendiri.
Karena itu, peluang mempraperadilankan penghentian penyidikan kasus korupsi hanya tinggal ada pada pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini, Trimedya berdalil bahwa FPKD termasuk pihak ketiga yang berkepentingan. Maksudnya, mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang menjadi korban kasus korupsi yang disangkakan kepada Soeharto. Sebagai korban, FPKD mengaku merasa dirugikan oleh penghentian penyidikan itu. Sebab, "Penghentian penyidikan itu telah mengebiri rasa keadilan masyarakat, termasuk kami," ujar Trimedya.
Penafsiran bahwa "FPKD termasuk korban" langsung dinilai terlampau luas oleh juru bicara Kejaksaan Agung, R.J. Soehandoyo, dan salah seorang pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon. "Di beberapa pengadilan, gugatan praperadilan yang menggunakan penafsiran seperti itu ditolak," ujar Soehandoyo. Juan menimpali, yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan adalah korban tindak pidana ataupun saksi yang terkait langsung dengan perkara tersebut.
Dengan kata lain, FPKD tak termasuk korban yang bisa mempraperadilankan penghentian penyidikan. Juan juga tak lupa mempersoalkan ditariknya Soeharto sebagai tergugat II pada praperadilan FPKD. Seharusnya, menurut Juan, hanya Jaksa Agung sebagai pejabat yang berwenang memutuskan penghentian penyidikan yang digugat. Jadi, "Pencantuman nama Soeharto itu keliru dan berlebihan," tambahnya.
Sementara itu, menurut pengamat hukum pidana M. Yahya Harahap, KUHAP memang tak mengatur lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan. Lubang itu lantas ditambal dengan hukum yang ditetapkan para hakim (yurisprudensi), yang memasukkan korban atau saksi pelapor sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, sesuai dengan penafsiran yang diperluas. Bahkan, untuk kasus korupsi, "Pengertian itu boleh diperluas untuk masyarakat," kata Yahya Harahap. Dengan demikian, masyarakat bisa melakukan pengawasan publik terhadap penghentian penyidikan kasus korupsi, melalui praperadilan.
Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini