DAERAH Istimewa Aceh sudah sangat lama dinodai dengan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bahkan, sejak sepuluh tahun silam, warga Serambi Mekah itu telah menggugat kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Puncaknya, setelah status daerah operasi militer (DOM) dicabut dan kasus-kasus tersebut tidak juga dituntaskan di pengadilan, para mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan ulama kian gencar menuntut referendum. Tujuannya untuk memastikan apakah Aceh tetap bersatu atau lepas dari Republik Indonesia.
Di tengah gebrakan menuntut referendum, terjadi satu peristiwa unik. Yan Alfian, yang berada di luar gerakan referendum, malah terkena imbasnya. Sehari-hari berkiprah sebagai pedagang kain keliling di Aceh Selatan, Yan rupanya masih sempat mencermati pasang-surut perlawanan rakyat. Lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 34 tahun lalu, itu tergugah tatkala menerima selebaran referendum, sekitar Februari lalu. Ia yakin, penentuan pilihan—bersatu atau lepas dari Republik Indonesia—bisa memberikan jalan terbaik untuk menghentikan rentetan kekerasan yang menimpa warga Aceh.
Kebetulan, Desember sebelumnya, Yan telah tuntas membaca buku Aceh Bersimbah Darah, yang ditulis oleh Al-Chaidar, Yarmen Dinamika, dan Sayed Mudhahar Ahmad. "Manakala membaca buku itu, hati saya hancur membayangkan harkat dan martabat rakyat Aceh yang tercabik-cabik," tutur ayah dua anak itu.
Sesuai dengan anjuran agar selebaran referendum diperbanyak, Yan segera memfotokopinya. Tiap kali berjualan pada hari pekan di Aceh Selatan, Yan mempromosikan dagangannya dengan membagi-bagikan selebaran referendum. "Refendum bukan perang. Dengan referendum, rakyat bisa menyalurkan pendapatnya secara demokratis," begitu pidato Yan kepada calon pembeli.
Bagaikan orator ulung, dengan bahasa Aceh, melalui pengeras suara Yan berteriak dari atas kendaraan niaganya—sebuah mobil Kijang pick-up warna merah. Menurut pengakuan Yan, kiat ini sukses. Dagangannya laku. Dan orang-orang kian antusias untuk berbincang lebih lanjut dengan Yan. Mereka umumnya ingin tahu lebih banyak tentang referendum.
Untuk mereka yang masih penasaran, Yan meminta agar datang ke penginapannya di Losmen Hatta di Kota Fajar, Kluet Utara. Idin, 45 tahun, seorang tokoh masyarakat di Desa Sapik, Kluet Utara, sampai mengundang Yan untuk berceramah di kediamannya. Yan memenuhi permintaan itu. Ia berbicara panjang lebar tentang referendum dan isi buku Aceh Bersimbah Darah di hadapan sekitar 40 orang yang berkumpul di rumah Idin.
Yan mengingatkan agar warga selalu membaca surat Yasin setelah salat magrib. Hal itu penting untuk mencegah agar mereka tak terkena hasutan provokator. Menurut Yan, para provokator semakin banyak dan membakar dua bangunan sekolah di pantai selatan Aceh. Hari-hari berikutnya, Yan tetap melakoni usaha dagangnya sembari membagikan selebaran referendum dan berpidato.
Sampai pada Kamis dini hari, 17 Juni 1999, Yan bersama tiga temannya ditangkap polisi di Losmen Hatta. Mereka digelandang ke Kepolisian Resor Aceh Selatan. Meski berkali-kali disiksa, Yan tetap menyangkal tuduhan bahwa dirinya adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka. "Saya hanya jualan kain sambil menarik minat pembeli dengan membicarakan masalah referendum," ujarnya.
Benar-tidaknya keterangan Yan tak jelas, tapi sebuah sumber di Kodim Tapaktuan mensinyalir bahwa Yan adalah bekas anggota Kopassus. Isu itu dibantah keras oleh salah seorang pengacara Yan, Abdul Rahman Yacob. "Tak mungkin itu. Fisik dan penampilan Yan sama sekali tak mendukung isu itu," ucap Abdul Rahman.
Yang jelas, Yan beserta tiga kawannya, juga Idin, kemudian diadili di Pengadilan Negeri Tapaktuan, Aceh Selatan. Yan dibidik pasal karet haartzaai artikelen (delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah). Menurut Abdul Rahman, peradilan Yan terlalu dipaksakan demi mengkriminalisasi kebebasan berpendapat. Lagi pula, masalah referendum ataupun isi buku Aceh Bersimbah Darah sudah menjadi konsumsi publik.
Kini peradilan Yan terkatung-katung. Sebulan terakhir ini, tujuh hakim di Pengadilan Negeri Tapaktuan mengungsi ke luar Aceh. Kabarnya, mereka takut karena diteror lewat telepon dan diperintahkan untuk menghentikan semua persidangan. Jaksa Djumiran, yang mendakwa Yan, juga tak jelas rimbanya.
Ada berita, Ketua Pengadilan Negeri Tapaktuan, Surianto D., sekarang berada di Pematangsiantar, Sumatra Utara. Tapi, "Saya tidak tahu nomor teleponnya, sehingga sulit menghubunginya," kata Ketua Pengadilan Tinggi Aceh, Eddy Soeradji. Kalau terus begitu, Eddy mengusulkan kepada Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung agar semua persidangan dipindahkan saja ke Sumatra Utara.
Happy S., Koresponden Aceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini