SUPRIHONO anak pendiam dari Sleman. Ia menghunjamkan pisau dapur ke leher ibunya yang sedang tidur. Di Klaten, Darukan menggebuk ayah kandungnya dengan sebongkol kayu. Jasad ayahnya dilindaskan di rel kereta api. Sementara itu, di Klungkung, Bali, gara-gara pohon mangga, I Nyoman Kerinting bercucuran darah. Ia meninggal disabet arit anaknya. Pisau dapur itu menghunjam tepat di leher, darah mengucur. Sekali lagi, Suprihono, 20, menancapkan pisau ke leher ibu kandungnya. Setelah melihat Nyonya Martopawiro, 60, tak bergeming lagi, tubuh itu ditutupnya dengan kain. Suprihono alias Natin pergi ke sungai. Ia mencuci tangan dan pakaiannya yang berlumur darah. Kembali ke rumah. Natin salat isya. Setelah itu rumah dikuncinya. Ia melenggang ke acara kenduri di tempat Mbok Karyosetomo. Tapi pembunuhan janda tua yang dikenal suka menolong itu terkuak beberapa jam kemudian. Pelakunya, anak bungsu Mbok Marto itu, segera ditangkap. Peristiwa 17 Juli tahun lalu memang mengguncangkan Desa Pojok, Kelurahan Sumberadi, Sleman Yogyakarta. Supri mengaku sakit hati pada ibunya. "Punya harta, tapi tak mikir anak. Kalau panen, padinya dipinjamkan ke tetangganya," kata buruh bangunan ini. Malah, kata Supri, tabungannya Rp 250.000 disimpan ibunya dengan ketat. "Padahal, sering saya minta," katanya. Supri sedang diadili di Pengadilan Negeri Sleman. Ia diancam 12 tahun penjara. Bujangan yang tak sekolah ini malah mengaku membunuh ibunya karena bingung. "Saya merasa getun kalau teringat Ibu," ujar Supri. Pembelanya, Salman Luthan, dari LBH Yogya, bersikukuh. Supri, katanya, mengidap kelainan jiwa yang sewaktu-waktu dapat timbul: bingung, asal ngomong, merasa ada yang akan membunuhnya. Tetapi kapan pemeriksaan kejiwaan terhadap tersangka yang getun ini? Sambil menunggu vonis terhadap Supri, ada pula Darukan. Lelaki 21 tahun dari Desa Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ini mulai 26 Januari lalu jadi terdakwa di Pengadilan Negeri Klaten. Ia dituduh menghabisi nyawa ayah kandungnya sendiri, di suatu sore akhir November lalu. Tatkala Mudjidihardjo, 65, sedang memberi makan ayam-ayamnya, tiba-tiba Darukan memukulkan sepotong kayu ke bagian belakang kepala ayahnya itu. Begitu keras, hingga Mudjidihardjo tewas saat itu juga. Darukan menyimpan mayat ayahnya di dalam kamar terkunci. Setelah suasana desa sepi, malam itu, Darukan yang bertubuh sedang dan berkulit hitam itu mengayuh sepedanya. Dan mayat ayahnya dipangkunya. Tiba di jajaran rel kereta api, begitu menurut Jaksa Subiyanto, tubuh itu diletakkan di atas rel. Lalu, lelaki yang sudah tiga tahun menikah tetapi belum punya anak itu membual: ayahnya mati digilas kereta api. Hingga pemeriksaan sidang keempat pekan lalu, anak bungsu dua bersaudara itu tetap bungkam. Tetapi sebuah sumber di Polres Klaten menyatakan, Darukan mengakui perbuatan durhakanya itu. Tambahan lagi, sumber lainnya mengatakan, Darukan yang bekerja serabutan itu membunuh ayahnya lantaran minta uang tetapi tidak diberi. Bahkan biaya hidup lelaki pendiam yang tidak pernah memukul istrinya itu masih ditanggung orangtuanya. Pikiran gelap dapat bikin lupa diri. Itu pula yang terjadi di Banjar Tengah, Desa Akah, Klungkung, Bali. Pada 28 Januari lalu, I Nyoman Kerinting, 65, menebang pohon mangga di pekarangan rumahnya. I Nengah Wiria, tetangganya, khawatir pohon setinggi tujuh meter itu tumbang dan menimpa rumahnya. Sebab, hujan yang dibarengi angin terkadang turun sepanjang hari. Perbuatan Kerinting tidak dapat diterima anaknya, I Wayan Dastra, 30, yang merasa dialah yang menanam dan berhak atas pohon tersebut. Besoknya, pertengkaran antara Dastra beserta istri dan ayahnya tak terelakkan. Dastra malah memukul pinggang ibunya dengan sebila kayu. Istrinya turut mengejar mertuanya dan menonjok matanya. "Ibu ini bandel sekali," ujar Dastri, si menantu. Kerinting naik pitam. Dengan menggenggam arit, anak dan menantunya itu diancam. Baku hantam tak terelakkan. Ayah dan anak itu luka parah. Dastra dibawa ke RSU Klungkung. Kuping ayahnya hampir putus dan bahunya robek disabet arit, mengembuskan napas terakhir ketika diangkut ke RSU Denpasar. Dastra, yang mengaku tidak pernah berani dengan ayahnya, sejak 3 Februari lalu masuk sel di Polres Klungkung. "Saya menyesal telah gelap pikiran," tutur ayah dua anak yang hanya duduk di kelas V SD itu. Happy Sulistyadi, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini