SURAT dari Balikpapan itu membuat banyak pihak terbelalak. Si pengirim, yang mengaku bernama Titin, melaporkan kepada asisten operasi Polda Jawa Timur, Kolonel Anton Tifaona, tentang banyaknya TKW (tenaga kerja wanita) yang di jerumuskan para calo untuk menjadi pelacur. "Kami dijanjikan akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau buruh di pabrik kayu. Tapi, sesampainya di Kal-Tim, ternyata kami dipaksa melayani pria hidung belang di rumah-rumah bordil," begitu antara lain bunyi surat Titin yang diterima Anton, Desember lalu. Siapa Titin, sampai kini belum diketahui. Hanya, surat yang ditulisnya membuat polisi di Jawa Timur dan Samarinda serta Balikpapan bergerak. Razia besar-besaran diadakan di lokasi pelacuran di kedua kota di Kalimantan Timur itu. Puluhan pelacur yang diduga menjadi korban calo dan mucikari ditangkap dan diperiksa. Sayang, dari sekitar 60 pelacur yang diperiksa, tak satu pun yang mengaku "dijerumuskan". "Mereka tampaknya pelacur profesional," ujar kapolres Samarinda, Letkol Dulmanan Prihatin Putra, kepada TEMPO pekan lalu. Namun, ia tak menutup kemungkinan bahwa para pelacur yang diperiksa polisi tidak berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Sangat mungkin mereka terpaksa berbohong karena takut ancaman orangorang tertentu, yang selama ini menampung dan memberi mereka "pekerjaan". Kemungkinan semacam itu diyakini kebenarannya oleh Abu Kasim, kepala Kandep Sosial di Samarinda. Menurut Kasim, kasus penjualan wanita asal Jawa Timur ke daerahnya bukan barang baru. "Indikasinya banyak. Tapi untuk membuktikannya sulit sekali. Apalagi, korban, yang umumnya tidak berpendidikan, merasa sangat takut kepada para germo. Mereka hanya bisa pasrah kepada nasib," kata Kasim. Ia memperkirakan, di Samarinda saat ini paling tidak terdapat seribu pelacur, yang tersebar di beberapa tempat pelacuran dan hotel-hotel. Adapun yang tercatat menempati lokalisasi pelacuran resmi di kompleks WTS Banyubiru hanya 185 orang. Menurut yang didengar Kasim, sebagian besar wanita panggilan itu memang berasal dari Jawa Timur. Dan setiba di Samarinda, ada yang kemudian ditempatkan di Balikpapan, Bontang, Tarakan, dan bahkan dikirim ke Malaysia. Begitu mereka berada dalam genggaman calo dan germo, sulit sekali bisa melepaskan diri. Semenjak dari kampung halaman, mereka sudah terikat utang yang diberikan calo. Besarnya, seperti dituturkan beberapa wanita muda yang terpaksa menjadi wanita panggilan, Rp 100-Rp 200 ribu, untuk ongkos dan "uang sedih" orangtua yang ditinggalkan. Begitu mereka sampai di Samarinda calo akan menagih, dan sudah tentu membuat wanita yang dibawanya kelabakan. Mau tak mau, mereka terpaksa menyabet kesempatan yang disodorkan: melayani pria hidung belang. Mulanya banyak yang menolak. Namun, lama kelamaan, pekerjaan terkutuk itu pun diterima juga. "Kami mau lari ke mana? Balik ke Jawa Timur tidak punya ongkos, dan jalannya juga tidak tahu," kata seorang wanita muda yang kini hinggap dari hotel ke hotel. Celakanya lagi, uang yang dipinjamkan itu ternyata harus dikembalikan berikut bunga yang mencekik leher. "Padahal, waktu kami diserahkan ke rumah bordil, calo-calo itu paling tidak sudah mendapat uang jasa Rp 100-Rp 250 ribu untuk setiap orang yang dibawanya," kata wanita itu lagi. Beberapa waktu lalu, petugas di pelabuhan Samarinda memang pernah menangkap seorang ibu, Sukarnah, 36, yang membawa lima gadis dari Jawa Timur. Ketika diinterogasi, ia mengaku akan membawa wanita muda yang di bawanya ke kompleks WTS di Bontang. Sudah tentu para wanita yang di bawanya terkejut dan menangis, karena di kampung dulu kepada mereka di janjikan akan dipekerjakan di perusahaan kayu, sebagai pembantu. Sukarnah akhirnya diadili dan divonis tiga bulan penjara, sedangkan kelima wanita asal Malang yang dibawanya dikembalikan ke tanah asal oleh Kantor Sosial setempat. Meski kasus penipuan TKW memang ada Polda Jawa Timur akhirnya menjadi ragu terhadap kebenaran surat yang dikirim Titin. Sebab, sewaktu diadakan pengecekan ke Desa Sutojayan, Blitar, polisi tak menemukan bukti adanya sindikat percaloan TKW. Kebetulan, saat ini ada seorang wanita asal desa tersebut, Nanik, yang baru kembali dari KalTim. Ia mengatakan tak ada kawannya di sana yang dipaksa menjadi WTS. "Semua atas kemauan sendiri - seperti saya ini," katanya. "Kami jadi bingung," komentar sebuah sumber di Polres Blitar. Memang tak mudah mencari bukti kasus seperti yang dialami Titin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini