Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggoro Widjojo memiliki surat pencabutan cekal yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK dan Direktorat Jenderal Imigrasi yakin surat itu palsu.
RUMAH bercat abu-abu berlantai dua itu terlihat paling mewah di kawasan perumahan Simprug Golf Tiga, Kecamatan Grogol, Jakarta Selatan. Berdiri di atas tanah seluas 500 meter persegi, itulah rumah yang dicatat Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai kediaman Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom yang kini buron. ”Dia penghuni lama, sudah pergi tujuh tahun lalu,” kata Andi, salah satu satpam rumah tersebut, kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Penghuni rumah saat ini adalah Edy Boediono, pengusaha yang bergerak di bidang kosmetik. Menurut Andi, kerap ada dokumen dan barang untuk Anggoro yang dikirim ke alamat itu. Tak jarang pula orang mendatangi rumah itu mencari Anggoro. Ketua RT setempat, Supardi Widi, membenarkan bahwa Anggoro pernah tinggal di situ. Namun, kata Widi, Anggoro tidak pernah melapor dan membuat kartu penduduk di alamat tersebut. ”Dia sudah lama pergi,” ujar Widi.
Jelas itu bukan lagi alamat rumah Anggoro. Lalu di mana rumah buron KPK dalam kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu yang merugikan negara Rp 13 miliar itu? Tidak ada yang tahu. KPK sendiri hanya ”mengantongi” Simprug Golf Tiga Kavling 110 itulah alamat Anggoro. Pria kelahiran 4 Oktober 1958 itu sudah pergi dari Indonesia sejak 26 Juli 2008. Pada 22 Agustus 2008 KPK mengeluarkan surat pencekalan terhadap Anggoro. Selain mencekal Anggoro, KPK juga mencekal tiga pimpinan Masaro lainnya, yaitu Presiden Direktur Putranefo Prayugo, Presiden Komisaris Anggono Widjojo, dan Direktur Keuangan David Angka Wijaya. Berbeda dengan Anggoro yang sudah tersangka, ketiganya masih berstatus saksi.
Soal pemalsuan tak hanya dilakukan Anggoro dalam urusan alamat rumah. Anggoro juga mengantongi surat pencabutan larangan bepergian ke luar negeri atau pencabutan cekal (cegah tangkal) yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Surat per tanggal 5 Juni 2009 itu juga berlaku untuk tiga pimpinan Masaro lainnya. Kini salinan surat itu ada di tangan polisi. Kamis pekan lalu, pimpinan KPK membantah pernah mengeluarkan surat pencabutan cekal itu. ”Surat itu palsu,” kata Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin.
Menurut Jasin, KPK tidak pernah mengeluarkan surat pencabutan cekal Anggoro yang akan berakhir pada 22 Agustus 2009 itu. Surat itu, kata dia, merupakan hasil laporan Ketua KPK yang kini non-aktif, Antasari Azhar, kepada kepolisian. Selain surat itu, Antasari juga memberikan rekaman percakapannya dengan Anggoro, yang menyebut-nyebut adanya suap untuk beberapa pimpinan KPK, supaya kasus yang melibatkan Masaro dihentikan. Surat pencabutan cekal diduga sebagai bukti untuk menguatkan tudingan suap tersebut.
Sumber Tempo mengungkapkan keterangan lain tentang asal-muasal surat pencabutan cekal itu. Menurut sumber ini, surat itu diterima penyidik Badan Reserse dan Kriminal Polri ketika melakukan pemeriksaan Anggoro di Singapura pada Juli lalu. Surat ini akan dijadikan ”amunisi” pihak kepolisian untuk ”menggempur” KPK. Tapi soal ini dibantah Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ia mengaku tak pernah memberangkatkan anak buahnya ke Singapura. ”Tidak benar soal itu. Apa segampang itu, Anggoro kan buron?” kata Susno.
Kabar adanya surat pencabutan cekal itu jauh hari juga sudah didengar sejumlah anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi Hukum Dewi Asmara, misalnya, mengaku sudah mendengar perihal surat tersebut. Dewi juga pernah menanyakan soal surat itu ke penyidik di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Menurut Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu, pihak Polda mengaku memang memiliki surat tersebut. Dewi sendiri meminta polisi membuktikan surat itu asli atau palsu. ”Surat siluman itu perlu dibuktikan kebenarannya,” kata dia.
Pimpinan KPK menyerahkan sepenuhnya kepada polisi untuk menemukan orang yang membuat surat palsu tersebut. Menurut Jasin, tujuan keluarnya surat itu sudah bisa ditebak. Surat itu muncul untuk memperkuat adanya tudingan suap kepada sejumlah pimpinan KPK, seperti yang diutarakan Anggoro kepada Antasari. Markas Besar Kepolisian yang menangani hal ini mengaku siap menindaklanjuti soal surat yang disebut-sebut palsu itu. ”Laporkan saja, nanti kami selidiki,” kata juru bicara Polri, Nanan Soekarna, kepada Cornila Desyana dari Tempo.
DIBANDINGKAN dengan tiga pimpinan KPK lainnya, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra Hamzah adalah orang yang paling tersudutkan dengan adanya surat pencabutan cekal Anggoro itu. Sebab, surat itu seolah-olah dikeluarkan oleh dirinya. Di bawah surat itu memang tertera tanda tangan dirinya. ”Ada sejumlah keanehan yang menunjukkan surat itu palsu,” katanya.
Chandra menunjuk kop surat berlogo burung garuda dan tulisan ”Komisi Pemberantasan Korupsi” yang terletak di kiri bagian paling atas surat Anggoro. Menurut dia, dalam aturan internal KPK, kop surat selalu terletak di tengah bagian atas surat. Selain itu, tulisan ”Pemberantasan” dalam kop surat tidak berwarna merah. ”Aturan internalnya tidak seperti itu, hitam saja,” kata dia.
Nomor surat itu, kata Chandra, juga palsu karena tidak sesuai dengan ketentuan dokumentasi KPK. Keganjilan lain terdapat pada rujukan atau dasar hukum keluarnya surat pencabutan cekal itu. Di surat Anggoro itu, rujukan tidak diatur secara detail untuk menunjuk dasar hukum terbitnya perintah pembebasan cekal. Padahal, semua surat seperti ini, yang dikeluarkan KPK, selalu mencantumkan dasar hukumnya. Tanda tangan dirinya pun, kata Chandra, berbeda. Juga di dekat tanda tangan itu tidak ada stempel resmi KPK. ”Sangat nyata bedanya,” kata Chandra.
Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, lembaga yang berwenang dalam urusan cekal-mencekal, menyatakan belum pernah menerima surat permohonan pencabutan cekal Anggoro dari KPK. Direktur Penyidikan dan Penindakan Dirjen Imigrasi, Muchdor, menegaskan bahwa surat pencabutan cekal yang ada itu jelas bukan dibuat resmi oleh KPK. ”Status Anggoro dalam data kami masih dicekal,” kata Muchdor.
Menurut Muchdor, jelas terlihat perbedaan antara surat pencabutan cekal untuk Anggoro dan surat resmi KPK untuk tujuan yang sama. Chandra Hamzah, ujarnya, selalu menandatangani surat cekal itu dengan tinta hijau. Sedangkan dalam surat ”palsu” yang dilihatnya di layar televisi, tanda tangan Chandra dibuat dengan tinta hitam.
Dalam prosedur pencekalan, kata Muchdor, penyidiklah yang berwenang memutuskan, seseorang perlu dicekal atau dicabut cekalnya. Dalam kasus Anggoro, KPK-lah pihak yang memiliki wewenang memperpanjang atau mencabut cekal Anggoro. Pihaknya, kata Muchdor, hanya menindaklanjuti perintah itu. Imigrasi akan memberikan informasi ke titik pemberangkatan ke luar negeri, baik bandara maupun pelabuhan, mengenai status cekal itu. ”Segera setelah surat itu kami terima, cekal atau pencabutan cekal dilakukan.”
Untuk kasus Anggoro ini, pihak Imigrasi, baik pusat maupun daerah, ujar Muchdor, belum pernah menerima pembaruan data status cekal Anggoro. Termasuk juga untuk tiga pimpinan Masaro lainnya. Kepada Tempo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata juga mengaku belum pernah menerima laporan tentang pencabutan cekal Anggoro. Biasanya, kata Andi, dia selalu mendapat laporan terbaru tentang orang-orang yang dikategorikan cekal. ”Kami belum pernah menerima permohonan itu,” kata Andi.
Menurut Muchdor, bagi Anggoro surat itu sebenarnya tak begitu penting karena dia toh sudah meninggalkan Indonesia sejak Juni tahun lalu. Di luar Indonesia, Anggoro tetap bebas pergi ke mana-mana. Surat cekal itu, kata dia, hanya membatasi Anggoro saat berada di Indonesia.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo