PINTU" hukum untuk pasangan berbeda agama melaksanakan kawin campur, yang selama ini telah tertutup rapat, kini digedor pengadilan tertinggi. Majelis Hakim Agung yang diketuai Ali Said, baru-baru ini, memerintahkan pegawai pencatat pada Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta menikahkan pasangan berbeda agama Andy Vonny Gani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen Protestan). Berdasarkan keputusan tertanggal 20 Januari 1989, Mahkamah Agung menggugurkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak memberikan izin menikah bagi pasangan Vonny dan Adri. Kasasi MA itu tentu disambut lega Adri dan Vonny, walau keduanya sudah mendahului menikah sebelum putusan MA itu keluar. "Saya tidak menyangka persoalannya akan serumit itu," kata Adri, 30 tahun. Rumit? Itulah persoalan pasangan berbeda agama selama tiga tahun terakhir ini. Padahal, baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan pasangan antar-agama itu lancar-lancar saja. Kantor Catatan Sipil merupakan jalan "tengah" yang paling menentukan bila kedua calon pengantin tetap bertahan pada agama masing-masing. Jalan "tengah" itu baru mulai tertutup sejak Majelis Ulama DKI, pada 1984 dan 1986, menulis surat protes ke lembaga di bawah pemerintah daerah itu karena mengawinkan umat Islam dengan umat non Islam. Sebab, undang-undang perkawinan mensyaratkan sahnya pernikahan bila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, sementara Keppres No. 12, 1983, tegas-tegas menyebutkan KCS hanya untuk tempat pernikahan orang non-Islam. Sejak itulah KCS mulai hati-hati menikahkan pasangan Islam dan non-Islam. Perubahan sikap KCS itu baru mencuat ke permukaan setelah ribut-ribut persoalan kawin campur Penyanyi Jamal Mirdad (Islam) dan Aktris Lydia Kandou (Kristen). Kedua aktris terkenal itu ditolak Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menikah di tempat itu. Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah tak pula bisa dilalui mereka dengan lancar. Akibat protes MUI tadi, KCS Jakarta baru bersedia menikahkan pasangan itu setelah ada izin pengadilan. Untunglah, Hakim Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada 30 Juni 1986, Jamal dan Lydia resmi menikah. Ternyata, Jamal dan Lydia masih termasuk "beruntung". Sebab, sejak 12 Agustus 1986, KCS Jakarta mengeluarkan keputusan, yang pada intinya menolak menikahkan pasangan berbeda agama, khususnya lakilaki Islam dan wanita beragama lain. Untuk pasangan laki-laki non-Islam dan wanita Islam KCS masih terbuka pintu, asal saja pasangan itu meminta izin dari pengadilan setempat. Akibat ketentuan itulah banyak pasangan lelaki Islam dan wanita non-Islam gagal menikah di KCS. Bahkan ketentuan itu sejak awal tahun ini diperketat. Karena MUI Jakarta. Kanwil Departemen Agama, serta Direktur Pembinaan Agama Islam Departemen Agama masih keberatan, sejak 1 Januari 1989 pihak KCS DKI Jakarta menutup pintu sama sekali untuk perkawinan beda agama. Dalam rapat kerja KCS se-lndonesia di Malang, 5-10 Desember 1988, disepakati untuk melaksanakan UU No. 1 tahun 1974 secara murni. "KCS hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah menurut agama. Yakni, setelah melangsungkan di gereja, vihara, atau pura," bunyi putusan terbaru itu. Anehnya, pasangan Vonny dan Adri (wanita Islam dan lelaki nonmuslim), yang seharusnya tak terhalang menikah di KCS, entah kenapa, ikut pula menjadi "korban". Padahal, mereka merencanakan pernikahan itu pada Maret 1986, jauh sebelum ribut-ribut kawin campuran dan bahkan sebelum kasus Jamal Mirdad dan Lydia Kandou. Tapi selain permohonan itu ditolak KUA Tanah Abang, KCS Jakarta tak pula bersedia menikahkan mereka. Bahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menolak memberikan izin "Saya memang lagi apes waktu itu," kata Adri. Pasangan Adri dan Vonny sebelum berniat nikah telah pacaran 1 tahun 6 bulan. Pada 5 Maret ]986 mereka sepakat menghadap penghulu. Tapi, itu tadi, KUA Tanah Abang menolak mereka, begitu pula KCS Jakarta. Pasangan itu sempat tarik urat memprotes petugas KCS. Sebab, pada waktu itu, mereka mendengar banyak pasangan seperti mereka, yang dengan gampang dikawinkan KCS. Karena KCS tetap menolak, mereka terpaksa mengalukan permohonan untuk menikah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi sambil menunggu penetapan hakim, recana perkawinan telah mereka siapkan. Baju pengantin sudah jadi, undangan telah dicetak, dan bahkan resepsi pernikahan pun dirancang akan berlangsung pada 3 Mei 1986 di Orchid Hotel. Ternyata, Hakim Imam Soekarno, yang memeriksa permohonan pasangan itu, pada 11 April 1986 menolak mengizinkan mereka menikah. Alasan hakim, undang-undang perkawinan tak mengatur perkawinan berbeda agama. Tentu saja kedua calon pengantin ini panik. Atas saran seorang pegawai pengadilan, Vonny kontan kasasi ke Mahkamah Agung. Selain itu, ia juga menghadap seorang hakim agung. "Saya sampai menangis di depan bapak itu," cerita Vonny, 27 tahun, yang berkulit kuning itu. Hakim agung itu rupanya ikut trenyuh. Tapi tentu saja ia belum bisa memutuskan kasus itu karena permohonan Vonny masih dalam proses ke Mahkamah Agung. Walaupun demikian, hakim tertinggi itu sempat membuat memo yang isinya: "Tolong dinikahkan. sambil menunggu keputusan MA." Berkat memo itulah, petugas KCS Jakarta Pusat bersedia mengawinkan mereka pada saat resepsi pernikahan akan dilangsungkan 3 Mei 1986. Hanya saja surat nikah pasangan itu selama ini ditahan KCS, sambil menunggu putusan Mahkamah Agung. "Wah, benar-benar sport jantung," kata Vonny, yang hingga kini belum dikaruniai anak itu. Usaha mereka rupanya tak sia- sia. Selain telah menikah secara resmi, kini Mahkamah Agung mengeluarkan pula keputusan yang mengizinkan mereka menikah. Menurut majelis hakim agung, pasangan itu dibenarkan menikah karena keduanya telah berusia di atas 21 tahun - sehingga tak perlu lagi izin orangtua. Selain itu, yang penting lagi, dengan mengajukan permohonan ke KCS, menurut hakim agung, harus ditafsirkan bahwa pemohon "berkehendak untuk melangsungkan perkawinannya tidak secara Islam." Dengan demikian, haruslah ditafsirkan pula bahwa pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Jadi, seharusnya KCS berwenang menikahkan, "kedua calon suami-istri tidak beragama Islam." Putusan Mahkamah Agung itu dipuji guru besar hukum antartata hukum FH UI, Prof. S. Gautama. "Putusan yang sangat baik," komentar Gautama, yang membuat disertasinya di FH UI (1955) mengenai kawin campur. Sebenarnya, menurut Gautama, Mahkamah Agung, pada 1955, telah mengeluarkan yurisprudensi yang mengizinkan perkawinan campuran semacam itu dengan pertimbangan demi ketenteraman masyarakat. Tapi keputusan Mahkamah Agung terbaru itu belum tentu akan membuka pintu perkawinan antara orang Islam dan nonIslam selebar-lebarnya. Sebab, seperti disebut di atas, pada waktu yang hampir bersamaan ternyata KCS, yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri, telah menutup pintu rapat-rapat. "Kami belum mendapat petunjuk dari atasan," kata Kepala Seksi Pelayanan WNI Kantor Catatan Sipil Jakarta Pusat, Drs. Dasman Maningkam, menanggapi putusan Mahkamah Agung itu. Sebelum ada petunjuk lebih lanjut tentu saja Dasman akan tetap berpegang kepada ketentuan larangan kawin antara pasangan muslim dan nonmuslim sesuai dengan undang-undang perkawinan. "KCS hanya akan mencatat perkawinan yang sah menurut agama. Jadi, sah dulu menurut agama, barulah dicatat kemudian," kata Dasman lebih lanjut. Para hakim pun belum tentu sepakat dengan keputusan Mahkamah Agung tersebut. Menurut Sekretaris Umum Ikatan Hakim Indonesia Amarullah Salim, hakim Indonesia itu mandiri dalam mengambil putusan dan tak harus mengacu ke yurisprudensi. "Lantaran Indonesia tidak menganut Anglo Saxon System, maka para hakim di sini tidak mutlak harus mengikuti yurisprudensi," kata Amarullah, yang juga kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Agaknya, untuk pasangan Islam dan non-Islam, yang berniat kawin campuran, masih dibutuhkan usaha lebih keras untuk membuka "pintu" tadi ketimbang yang dilakukan Vonny dan Adri.Karni Ilyas, Widi Yarmanto, Agung Firmansyah, Ardian T. Gesuri, dan Sugrahetty Dyan K. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini