Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Syarat Zombie Izin Presiden

Mahkamah Konstitusi memutuskan pemeriksaan anggota DPR yang tersangkut kasus pidana harus mendapat izin tertulis presiden. Bertentangan dengan putusan sebelumnya.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada Selasa pekan lalu kontras dengan putusan tiga tahun sebelumnya. Pada 2012, Mahkamah pernah membatalkan syarat adanya izin presiden untuk pemeriksaan kepala daerah yang tersangkut perkara pidana. Kali ini, ketika memutus uji materi tentang pemeriksaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, majelis hakim konstitusi malah menghidupkan lagi persyaratan yang telah dikubur itu.

Melalui putusan setebal 111 halaman, Mahkamah Konstitusi mengharuskan penyidik meminta izin presiden sebelum memeriksa anggota DPR yang disangka terlibat kasus pidana. "Sebagai bentuk checks and balances eksekutif dengan legislatif," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat ketika dihubungi pada Rabu pekan lalu. Arief tak menjelaskan apa yang ia maksud dengan prinsip "saling mengawasi dan mengontrol" dalam konteks penegakan hukum ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengecewakan pemohon judicial review, yakni sejumlah aktivis yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Pembaruan Peradilan. "Jauh dari harapan kami," kata Supriyadi Widodo Eddyono, salah seorang pemohon uji materi, Rabu pekan lalu.

Supriyadi dan kawan-kawan menggugat Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pasal tersebut intinya mengharuskan penegak hukum meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan bila hendak memeriksa anggota DPR. Menurut Supriyadi dkk, perlakuan khusus bagi anggota Dewan itu diskriminatif dan melanggar asas persamaan di muka hukum. "Eh, Mahkamah Konstitusi malah mengukuhkan bahwa anggota Dewan itu superior," ujar Supriyadi.

* * * *

Syarat izin presiden untuk penyidikan pejabat negara tersebar di dalam sejumlah undang-undang. Setidaknya ada tujuh kanun yang memberikan keistimewaan kepada mereka, termasuk Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang MD3 (lihat "Mereka yang Diistimewakan").

Pada 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung membuat kajian khusus mengenai izin pemeriksaan pejabat ini. Kesimpulan mereka: syarat izin presiden bertentangan dengan sejumlah asas peradilan pidana. Misalnya asas persamaan di depan hukum; asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan; serta asas independensi kekuasaan kehakiman.

Menurut jaksa, prosedur izin presiden sering menghambat penyidikan. Selain memakan waktu, permohonan izin kadang tak dijawab apakah disetujui atau ditolak. Padahal, selama izin belum keluar, pejabat bisa melarikan diri; menghilangkan atau merusak barang bukti; atau mempengaruhi saksi agar menguntungkan mereka.

Kalangan pegiat antikorupsi pun telah lama mempersoalkan aturan yang mengistimewakan para pejabat itu. Pada 2011, sejumlah aktivis mengajukan uji materi Undang-Undang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu antara lain dipicu oleh tersendatnya izin presiden atas pemeriksaan sejumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.

Lewat putusan nomor 73/PUU-IX/ 2011, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para aktivis. Majelis hakim konstitusi, kala itu dipimpin Mahfud Md., berpendapat bahwa kepala daerah seharusnya mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.

Mahkamah Konstitusi waktu itu juga menimbang, syarat izin tertulis presiden untuk pemeriksaan kepala daerah malah menghambat penegakan hukum. Bahkan, menurut Mahkamah, wewenang presiden memberi izin tertulis pun berpotensi mengintervensi proses hukum.

Mempelajari putusan uji materi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Supriyadi dkk awalnya optimistis Mahkamah Konstitusi pun bakal mengabulkan gugatan mereka atas Undang-Undang MD3. Menurut Supriyadi, seperti halnya izin presiden, izin Mahkamah Kehormatan Dewan bisa menghambat proses penegakan hukum. Apalagi, mengingat kedekatan anggota DPR dan anggota Majelis Kehormatan Dewan, terbuka kemungkinan "main mata" di antara mereka. "Menurut kami, pemeriksaan anggota DPR tak perlu izin dari siapa pun," kata Supriyadi. Ternyata majelis hakim konstitusi kali ini punya pertimbangan lain.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan anggota DPR yang terlibat kasus hukum tidak memerlukan izin tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan. Alasannya, dari sisi fungsinya, Mahkamah Kehormatan hanya lembaga etik yang tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana. Dari sisi komposisi keanggotaan Mahkamah Kehormatan—yang juga berisi anggota DPR—pemberian izin oleh lembaga tersebut malah bisa menimbulkan konflik kepentingan.

Masalahnya, Mahkamah Konstitusi kemudian membuat putusan yang melampaui tuntutan Supriyadi dkk. Mahkamah menyatakan pemeriksaan anggota DPR harus melalui persetujuan tertulis presiden. Tak hanya bagi anggota DPR, persetujuan tertulis presiden pun berlaku bagi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Adapun pemeriksaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atau gubernur.

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat bercerita, perkara uji materi ini sebenarnya sudah diputus dalam rapat permusyawaratan hakim pada 20 November 2014. Waktu itu Mahkamah Konstitusi masih dipimpin Hamdan Zoelva. Karena ada pergantian hakim di Mahkamah Konstitusi dan penyusunan draf yang berlarut-larut, putusan baru dibaca setahun kemudian.

Toh, Arief pun sependapat dengan Hamdan dkk. Menurut dia, izin tertulis presiden diperlukan untuk melindungi anggota Dewan agar selama bertugas tidak dikriminalisasi. Dalam menjalankan tugas, kata dia, DPR menghadapi risiko yang lebih besar daripada warga negara biasa."Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional," ujar Arief.

Arief menepis anggapan putusan Mahkamah ini bakal menghambat pengusutan perkara yang melibatkan anggota Dewan. Alasannya, dalam putusan Mahkamah, ada klausul bahwa presiden wajib segera mengeluarkan izin pemeriksaan jika ada aparat penegak hukum yang mengajukan. "Tinggal bagaimana pemerintah menafsirkan kata 'segera' dalam putusan kami," ucap Arief. Ia pun menyarankan pemerintah segera menerbitkan aturan yang lebih teknis tentang mekanisme penerbitan izin presiden tersebut.

Sekretaris KabinetPramono Anung mengatakan Presiden Joko Widodo bisa menerima putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut Pramono, Presiden tak akan mengintervensi ataupun menghambat proses hukum lewat izin pemeriksaan anggota Dewan. "Aturan teknisnya akan dikoordinasikan dengan kementerian terkait," katanya, Rabu pekan lalu.

Syailendra Persada


Mereka yang Diistimewakan

Hukum di Indonesia telah lama mengistimewakan pejabat negara yang terbelit perkara pidana. Jejak perlakuan khusus itu terekam dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kedua konstitusi negara itu mengaturforum previlegiatum alias hak khusus pejabat tinggi untuk diadili pada tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Agung.

Sejak Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945,forum previlegiatumtak berlaku lagi. Tapi pasal perlakuan khusus bagi pejabat masih bertaburan di banyak undang-undang. Kali ini yang istimewa bukan tempat mereka diadili, melainkan persyaratan izin presiden sebelum mereka diperiksa. Berikut ini barisan pejabat yang mendapat perlakuan khusus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus