Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIDANG kasus pembakaran lahan di Pengadilan Negeri Palembang, Selasa pekan lalu, berlangsung di tengah kepungan asap. Meski di ruang sidang tak ada yang mengenakan masker, di luar gedung pengadilan orang berlalu-lalang dengan kain penutup hidung dan mulut. "Jarak pandang mata kurang dari 200 meter," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan Hadi Jatmiko, yang menghadiri sidang itu.
Siang itu, ketika asap kebakaran lahan menyerbu sebagian besar wilayah Sumatera, Pengadilan Negeri Palembang kembali menggelar sidang gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melawan PT Bumi Mekar Hijau. Agenda sidang hari itu adalah pemeriksaan saksi yang diajukan PT Bumi Mekar.
Kementerian Lingkungan menuntut PT Bumi Mekar membayar ganti rugi sebesar Rp 7,9 triliun atas pembakaran lahan seluas 20 ribu hektare di area hutan tanaman industri perusahaan tersebut. Ini merupakan gugatan terbesar yang diajukan pemerintah kepada satu perusahaan dalam kasus pembakaran lahan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melayangkan gugatan pada Februari lalu. Kementerian mempersoalkan pembakaran lahan di sekitar Desa Riding, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. "Bila gugatan kami dikabulkan, uangnya akan dimasukkan ke kas negara," ucap Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Jasmin Ragil Utomo.
Menurut Ragil, Kementerian menghitung kerugian dari berbagai aspek. Antara lain, kerugian akibat kerusakan struktur lahan gambut, hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber daya genetika, serta terlepasnya karbon ke udara yang menambah emisi gas rumah kaca.
Kementerian juga memperhitungkan kerugian ekonomis akibat hilangnya umur pakai lahan. Menurut Ragil, umur pakai lahan berkurang sekitar 15 tahun dibandingkan dengan pembukaan lahan tanpa pembakaran. Berdasarkan penghitungan Kementerian, total kerugian ekologis dan ekonomis itu mencapai Rp 2,6 triliun.
Tuntutan ganti rugi membengkak lantaran Kementerian juga memperhitungkan biaya pemulihan tanah gambut seluas 20 ribu hektare yang rusak terbakar. Biayanya diperkirakan mencapai Rp 5,29 triliun, antara lain untuk pembelian kompos, biaya angkut, biaya penyebaran kompos, dan biaya pemulihan lahan. "Lahan gambut harus dipulihkan meski mustahil kembali ke kondisi semula," ujar Ragil.
Gugatan perdata Kementerian ini berjalan paralel dengan pengusutan di ranah pidana. Di Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, PT Bumi Mekar Hijau pun menjadi tersangka korporasi.
Kuasa hukum Bumi Mekar Hijau, Maurice J.R. Silalahi, menyatakan berkeberatan atas gugatan Kementerian. Menurut dia, kliennya pun dirugikan oleh kebakaran lahan tersebut. "Kami juga korban. Istilahnya setelah jatuh tertimpa tangga," kata Maurice.
HAMPIR tak ada lagi pohon hidup di lahan milik Bumi Mekar Hijau ketika Bambang Hero Saharjo mengunjungi lokasi di Ogan Komering Ilir itu pada Februari 2015. Bangkai pohon akasia berserakan di mana-mana. "Menyeramkan. Semua pohon rebah karena akarnya mati terbakar," ujar ahli kebakaran hutan dan lahan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu.
Bukan sekali itu saja Bambang mengunjungi lahan Bumi Mekar yang terbakar. Pada Oktober dan Desember 2014, dia menyambangi lahan itu bersama tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kepolisian. Waktu itu Bambang dan rekan-rekan hendak memverifikasi data hasil pencitraan satelit Terra-Aqua Modis yang dikeluarkan badan antariksa Amerika Serikat, NASA, selama Februari-September 2014.
Sepanjang periode tersebut, satelit NASA menangkap sebaran titik api (hotspot) yang semakin luas di area PT Bumi Mekar. Pada Februari dan Maret 2014, terpantau masing-masing hanya ada 3 titik api di lahan tersebut. Lalu, pada Agustus 2014, titik api bertambah menjadi 14 titik. Puncaknya, pada September 2014, jumlah titik api melonjak menjadi 1.260 titik.
Menurut Ragil, tim verifikasi bergerak setelah mendapat rekomendasi dari Badan Pengelola REDD+ dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Berdasarkan hasil verifikasi, petak tanaman akasia yang terbakar berada di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Beyuku I. Pohon akasia yang dilalap api itu ditanam pada kurun berbeda, mulai musim tanam 2010 hingga 2013.
Tim verifikasi, menurut Bambang, menemukan indikasi telah terjadi pembakaran secara sistematis dan terencana serta pembiaran atas lahan yang terbakar. "Laju api tak tertahankan karena adanya pembiaran," ucap Bambang.
Indikasi pembiaran kebakaran, menurut Bambang, terlihat dari minimnya sarana dan prasarana pengendalian kebakaran. Di kedua distrik yang terbakar tak ditemukan menara pengawas api. Papan peringatan pun sangat terbatas. Di sana memang ada delapan unit alat pompa pemadaman. "Namun dengan slang yang terbatas dan sudah tua," katanya.
Di Distrik Simpang Tiga, tim verifikasi hanya menemukan satu regu pemadam kebakaran beranggotakan 6 orang, plus 53 karyawan. "Jumlah itu jauh dari memadai," ujar Ragil.
PT Bumi Mekar Hijau mendapat izin hutan tanaman industri sejak 2004. Kala itu, perusahaan memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman seluas 127.870 hektare dari Menteri Kehutanan. Pada tahun yang sama, PT Bumi Mekar mendapat izin tambahan seluas 135.070 hektare.
Di lahan konsesinya, PT Bumi Mekar menanam akasia untuk memasok bahan baku pabrik kertas milik PT Sinar Mas Group. Meski begitu, Sinar Mas menyangkal jika PT Bumi Mekar disebut sebagai anak usahanya. "Tak ada hubungannya. Kami hanya mitra. Mereka memasok sejak beberapa tahun," tutur Gandhi Sulistyo, Managing Director Sinar Mas Group.
Dalam berkas gugatannya, tim hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan pergerakan hotspot yang menimbulkan hotspot baru menandakan PT Bumi Mekar tidak berupaya mengendalikan kebakaran. "Kalaupun dilakukan, itu diduga ketika api hampir akan menghanguskan isi petak," demikian bunyi berkas gugatan.
Selama persidangan, PT Bumi Mekar telah mengajukan beberapa saksi ahli yang meringankan mereka. Selasa pekan lalu, giliran ahli fisika tanah dari IPB, Budi Indra Setiawan, yang memberi kesaksian.
Indra mengatakan pernah meninjau lahan PT Bumi Mekar yang terbakar pada 23 April 2015, beberapa pekan setelah pemerintah mendaftarkan gugatan. Saksi ahli ini juga mengaku melihat langsung bahwa lokasi bekas terbakar sudah hijau kembali. "Itu menandakan tanah tidak rusak," ujarnya.
Indra juga mengaku pernah meneliti struktur tanah dan pergerakan air sebelum dan setelah kebakaran. Kesimpulan dia, kultur tanah dan pergerakan air di sana tak menunjukkan perubahan karena pengaruh kebakaran.
Merujuk pada kesaksian ahli mereka, kuasa hukum PT Bumi Mekar, Maurice J.R. Silalahi, menyatakan optimistis bakal mementahkan setiap gugatan pemerintah. "Gugatan itu cenderung mengada-ada tanpa dasar dan bukti yang meyakinkan," katanya.
Sebaliknya, Kepala Subdirektorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Umar Suyudi juga mengatakan optimistis bisa membuktikan gugatan di persidangan. "Kami sudah menyiapkan saksi fakta dan saksi ahli," ucap Umar setelah mengadiri sidang di Pengadilan Negeri Palembang.
Keyakinan Umar bukan tanpa dasar. Dengan konstruksi hukum yang hampir sama, pada Januari tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup memenangi gugatan perdata melawan PT Kallista Alam. Pada Agustus lalu, Mahkamah Agung mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, dalam kasus pembakaran lahan di Rawa Tripa itu. Hakim kasasi pun mewajibkan PT Kallista Alam membayar ganti rugi Rp 366 miliar.
Kini, di Pengadilan Negeri Palembang, ketajaman argumen dan bukti yang diajukan pemerintah kembali diuji.
Yuliawati, Parliza Hendrawan (Palembang), Friski Riana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo