DIAM-DIAM, 2 Nopember 1975 yang lalu datang sepucuk surat
pengaduan yang dialamatkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh
di Banda Aceh. Yang mengirim itu surat namanya T. Rusli. Pemuda
lajang yang berusia 34 itu adalah pengurus pengangkutan bus ALS
(Antar Lintas Sumatera) cabang Banda Aceh. Tembusan sulat Rusli
juga dialamatkan kepada Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Bidang
Pengawasan Daerah, di Jakarta. Dalam suratnya itu T. Rusli
menuturkan bahwa dia telah ditakut-takuti dan akhirnya diperas
oleh oknum kejaksaan Tinggi bernamu Yusuf Ali dan Ramli
Sarong -- ia juga anggota DPRD Kotamadya Banda Aceh.
Pemerasan itu terjadi di suatu subuh, September 1975, ketika
Yusuf Ali cs mengatakan pada Rusli (di Stasiun Bus ALS di Jalan
Muhammad Jam Banda Aceh): dia menerima informasi adanya
penyelundupan 30 kodi kain palekat asal Sabang. Jaksa ini juga
tak lupa memperlihatkan secarik surat perintah menyita barang
tersebut yang katanya dari Jaksa Tinggi Soebarna S.H. Tapi surat
itu, menurut T. Rusli, ditandatangani sendiri oleh jaksa
tersebut. Penggeledahan dilakukan dan Yusuf Ali menemukan kain
itu. Rusli mengatakan: barang-barang itu bukanlah berasal dari
selundupan tapi titipan dari inang-inang, mereka beli dari
beberapa toko kain di Banda Aceh untuk dibawa ke Medan. Berulang
kali ia jelaskan. Tapi jaksa itu tidak mempercayainya.
Karena benda itu mau diangkat, karuan saja T. Rusli yang
bertanggungjawab soal barang-barang milik penunpang jadi kalang
kabut. Melihat gelagat ini, menurut Rusli, Yusuf kemudian
menawarkan semacam "jasa baik". Ada kelonggaran untuk berdamai.
"Baiklah. Barang ini tidak kami bawa ke kantor asal saudara
menyanggupi membayar perdamaian sebesar satu juta rupiah", kata
Rusli, menuturkan sikap Jaksa Yusuf Ali. Tentu saja Rusli tak
sanggup membayar sebegitu. Tawar menawar pun terjadilah. Yusuf
Ali katanya bersedia menerima uang "tebusan" sejumlah Rp 300
ribu. Menurut jaksa itu katanya uang tersebut akan dibagi-hagi
kepada teman-temanny, karena mereka sudah mengetahui ada
perdamaian mereka berjumlah 20 orang, termasuk akan diberikan
juga kepada Jaksa Tinggi. Begitu cerita Rusli.
Tapi untuk mendapatkan uang Rp 300 ribu itu ternyata tidak mudah
bagi Rusli. Dalam kesempatan itu ia belum punya uang kontan.
Kemudian Yusuf menyita motor Honda 90 Z, BL 15097. warna biru,
milik Rusli. sebagai jaminan bahwa dia harus menyerahkan segera
uang itu sebelum jam 12.00 siang. Jaksa ini kemudian membuat
kwitansi jual beli untuk Honda tersebut. Sebelum jam yang
ditentukan Rusli berhasil memperoleh uang kontan sebanyak itu.
Lalu ia cepat-cepat menemui Yusuf Ali di rumahnya di Kebun Mulia
Banda Aceh. Jaksa tersebut sudah menunggu di sana. Dan uang
itupun diserahkan bulat-bulat oleh Rusli kepadanya. Tapi Rusli
juga licik. Kwitansi jual beli tadi dimintanya kembali dan
diserahkan pula oleh Yusuf Ali. Juga surat-surat kendaraan turut
diserahkan setelah subuh tadi"disita" sang jaksa.
Menurut pengakuan Rusli, bahwa dia mau mengurus soal penangkapan
tersebut karena mau "memberi senic kepada langganan". Tapi
yang menjadi soal sampai sekarang, apakah kain-kain palekat yang
dibeli di Banda Aceh itu masih merupakan barang larangan dan
haram dibawa ke Medan? "Kain-kain itu beredar bebas dan kalau
terlarang entu semua stok para pedagang di Pasar Aceh sudah
disita sejak dahulu", kata sebuah sumber. Sementara itu dari
Kejaksaan Tinggi Aceh diperoleh keterangan, bahwa Jaksa Tinggi
Soebarna S.H. pernah memperingatkan anak buahnya, dalam suatu
pengarahan di kantornya. Ia mengatakan, "kain palekat di Pasar
Aceh supaya angan ditangkap". Dan sampai sekarang kain-kain itu
diperjual belikan secara bebas untuk umum. Jadi benarkah Yusuf
Ali dan kawan-kawannya berani bertindak di luar yang telah
digariskan atasannya? Dan kalau barang tersebut dikatakan
berasal dari selundupan, apakah cukup bukti? Nampaknya Rusli mau
membayar sampai Rp 300.000, justru untuk "menjebak" Yusuf Ali.
"Apakah cara dia memeras rakyat kecil dan sering membawa-bawa
nama Jaksa Tinggi memang tindakannya itu direstui oleh fihak
kejaksaan?" tanya Rusli dalam suratnya itu.
Ia meminta supaya Yusuf Ali dan beberapa teman-temannya
dipeliksa. "Kami sering ditakut-takuti", katanya. Akibat
suratnya itu T. Rusli pada 9 Desember yang lalu telah dipanggil
menghadap Asisten Pengawasan Daerah Kejati Aceh. Ia ditanyai
oleh jaksa Jannes Pakpahan SH. "Tapi saya tidak diproses", kata
Rusli. Malah sampai sekrang ia tidak pernah diperiksa lagi.
Rusli tetap menunggu. Kalau suratnya dianggap sebagai pengaduan
omong kosong, kenapa dia trdak ditangkap atau diperiksa --
sebagai pelapor palsu. misalnya? Rusli menantang: kalau dia
salah, 'saya bersedia dipenjarakan". Tapi, "kalau Yusuf Ali
tidak diperiksa karena telah memeras saya, saya akan mengadukan
soal ini kepada Jaksa Agung Ali Said di Jakarta", katanya pada
pembantu TEMPO di Banda Aceh minggu lalu. Rusli juga mengungkit
lagi, bahwa Jaksa Agung pernah mengatakan: kalau ada oknum
kejaksaan yang nyeleweng dengan tugasnya akan ditindak. Tapi
kalau tidak ditindak? "Saya akan main hakim sendiri. Saya tahu
itu salah. Tapi karena tahu saya benar, saya juga tidak takut
masuk penjara", katanya. sedikit emosi, tentu. Sedangkan Yusuf
Ali kelihatannya masih tenang-tenang saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini