Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga hakim duduk memelototi berkas persidangan yang terserak di depan mereka. Senin pekan lalu, seusai sidang, mereka, Albertina Ho, Tahsin, dan Syaifoni, berdiskusi perihal vonis yang segera mereka jatuhkan untuk Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Pembicaraan itu berlangsung di meja kerja Albertina di lantai dua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Albertina Ho, sang ketua majelis, menyimak dengan saksama pendapat dua koleganya. Sesekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, Albertina menyorongkan sebuah usul vonis untuk Gayus. Tahsin dan Syaifoni mengangguk menyetujui. ”Angka itu kami anggap pas untuk Gayus,” kata Albertina kepada Tempo.
Rabu pekan lalu, putusan itu dibacakan majelis di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sejumlah praktisi hukum, termasuk bekas hakim agung Benjamin Mangkoedilaga, ikut berdesak-desakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melihat langsung pembacaan vonis itu. Tampil dengan kumis dan jenggot yang dibiarkan panjang, Gayus tampak tenang menyimak pembacaan putusan.
Kendati semua dakwaan jaksa dinilai terbukti oleh hakim, majelis hakim mengganjar Gayus hanya tujuh tahun penjara plus denda Rp 300 juta. Vonis ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang menuntut Gayus 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Aksi Gayus keluar dari tahanan pelesir ke Bali juga dimasukkan menjadi salah satu pertimbangan tuntutan.
Hakim menyatakan, dari fakta persidangan, Gayus terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus. Dalam pidana korupsi, ia bersama atasannya mengakali keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal, perusahaan perikanan di Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat ulahnya, perusahaan yang seharusnya membayar pajak itu justru mendapat pengembalian pajak. Akibatnya, negara rugi Rp 571 juta. Dalam pidana suap, Gayus, lewat pengacaranya, Haposan Hutagalung, terbukti menyuap penyidik Markas Besar Kepolisian RI yang menangani perkaranya, Komisaris Arafat Enanie dan Ajun Komisaris Besar Sri Sumartini. Untuk Arafat, Gayus memberi US$ 110 ribu, sedangkan Sri US$ 7 juta.
Selain agar tak ditahan, suap itu untuk mencegah agar aparat tak menyita rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan memblokir duitnya Rp 500 juta di Bank Mandiri. Arafat dan Sri, dalam kasus ini, sudah divonis pengadilan. Arafat lima tahun penjara dan Sri dua tahun. Di luar itu, Gayus juga terbukti menyuap Ketua Pengadilan Negeri Tangerang Muhtadi Asnun dan memberi keterangan palsu perihal asal-usul duit Rp 28 miliar di rekeningnya.
Rabu pekan lalu itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menjatuhkan vonis hukuman penjara tujuh tahun untuk Haposan. Vonis itu diketuk beberapa saat setelah sidang Gayus selesai. Majelis hakim yang menangani perkara Haposan sama dengan majelis yang memegang kasus Gayus. Bedanya, untuk sidang Haposan ini, ketua majelisnya Tahsin. Hakim menyatakan Haposan terbukti menyuap Arafat dan merekayasa perjanjian fiktif antara Andi Kosasih dan Gayus. Terhadap putusan ini, Haposan langsung menyatakan banding.
Kendati seluruh dakwaan terbukti, hakim tak sepakat jika Gayus dihukum 20 tahun penjara. Hakim menunjuk sejumlah hal yang meringankan Gayus: belum pernah dihukum, anak-anaknya masih kecil, dan usia Gayus masih muda. Perbuatan yang dilakukan Gayus, ujar Albertina, juga tidak dilakukannya sendiri, tapi bersama orang lain. ”Tidak pas kalau semua dibebankan ke Gayus,” ujar Albertina. Untuk dugaan pidana lain yang terungkap di persidangan–seperti dugaan masalah pajak tiga perusahaan Grup Bakrie: PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin Indonesia–Albertina menyerahkannya kepada penyidik. ”Tugas mereka mendalaminya.”
Tim jaksa Gayus langsung menyatakan banding atas vonis tujuh tahun itu. ”Putusan itu tidak mencerminkan dakwaan yang terbukti di persidangan,” ujar Uung Abdul Syukur, ketua tim jaksa Gayus. Gayus sendiri belum menyatakan menerima atau banding atas putusan itu. Seusai sidang, di depan puluhan wartawan cetak dan televisi yang menyiarkan langsung sidangnya itu, Gayus justru menyerang jaksa dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Tingginya tuntutan jaksa itu dinilainya sebagai sekadar balas dendam jaksa karena ia telah menyeret sejumlah jaksa dalam kasusnya.
Adapun terhadap Satgas, dengan tajam ia menuding telah membesar-besarkan kasusnya dan sengaja mengaitkannya dengan Aburizal Bakrie. Gayus juga menyebut munculnya tiga perusahaan Bakrie itu dari Satgas. Sore itu juga Satgas menggelar konferensi pers dan membantah pernyataan Gayus. ”Semua yang dikatakan Gayus itu tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta,” kata anggota Satgas, Mas Achmad Santosa.
Vonis tujuh tahun terhadap Gayus mengundang pro-kontra. Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis, misalnya, menyebut vonis Gayus itu mencederai rasa keadilan. Adapun Bambang Soesatyo, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, menyebutnya sebagai ”bentuk keistimewaan”. Albertina sendiri mengaku mafhum jika ada yang kecewa atas vonis yang ia jatuhkan. ”Ini risiko jadi hakim,” katanya.
Kendati kecewa, Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak sepenuhnya menuding bahwa kesalahan ada pada hakim. Menurut Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, vonis itu muncul karena dari awal penyidik dan jaksa tidak tuntas mengusut kasus Gayus. Jaksa dan polisi, misalnya, tidak memeriksa perusahaan yang disebut Gayus telah dibantu urusan pajaknya itu. Padahal inilah yang membuat dia mendapat puluhan miliar rupiah. Hal senada disampaikan Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto. Menurut dia, sejak di penyidik, tuduhan terhadap Gayus memang lemah. Padahal celah hukum untuk menjerat Gayus sangat banyak dan, anehnya, tidak dipakai jaksa. ”Vonis hakim itu sendiri sudah tepat,” kata Hasril.
Doktor pertama pidana pencucian uang Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengaku heran dengan tidak dipakainya pasal pencucian uang dalam kasus Gayus. Sejak perkaranya bergulir, kata Yenti, Gayus bisa dijerat dengan pasal money laundering. Yenti mencontohkan upaya Gayus membeli rumah di Kelapa Gading sebagai tindakan yang bisa dijerat dengan pasal pencucian uang. ”Jadi ini tergantung kemauan aparat,” katanya.
Yang menjadi persoalan, kata Yenti, perkara Gayus yang dicicil ini akan berdampak pada pelaksanaan putusannya. Itu, menurut dia, karena hukum pidana Indonesia memakai sistem absorpsi. Artinya, dari semua vonis Gayus, hanya akan diambil hukuman terberat plus sepertiga hukuman itu. Jadi jika, misalnya, dalam lima perkara lainnya masing-masing Gayus divonis tujuh tahun, ia hanya menjalani tujuh tahun ditambah sepertiga dari tujuh tahun tersebut.
Kepolisian punya alasan kenapa perkara Gayus ini dicicil. Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi, ini dilakukan agar penanganan kasusnya lebih fokus. Ito tidak khawatir perkara yang dipecah-pecah bisa menimbulkan masalah dalam pelaksanaan putusannya nanti. ”Karena kasusnya beda-beda, tidak satu rangkaian,” kata Ito kepada Erwin Dariyanto dari Tempo.
Ada sejumlah perkara lain yang kini memang mengancam Gayus, yakni kasus pelesirannya ke Bali, dan terakhir, kasus vakansinya ke Makau, Singapura, dan Kuala Lumpur, berikut dugaan ia memakai paspor palsu atas nama Sony Laksono. Tapi, untuk kasus-kasus ini–melihat jenis kejahatannya–Gayus tak mungkin dituntut hukuman berat, semisal 20 tahun penjara. ”Yang paling tepat untuk membongkar kasus Gayus ini memang menjerat dia dengan tuduhan melakukan pencucian uang,” kata Yenti.
Anton Aprianto, Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo