Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga lelaki bergegas menaiki tangga lobi gedung Direktorat Reserse Markas Besar Kepolisian RI, di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu pagi pekan lalu. Menenteng tas, ketiganya menuju ruang jaga. Sejenak mengisi buku tamu dan meninggalkan kartu identitas, ketiganya menghilang di balik ruang lobi. Kehadiran mereka luput dari para wartawan yang biasa meliput di sana.
Mereka adalah pegawai Direktorat Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pekan lalu mereka datang untuk menjalani pemeriksaan berkaitan dengan lolosnya Gayus ke luar negeri. Memang tak hanya mereka yang diperiksa. Menurut sumber Tempo, 16 pegawai Imigrasi yang dinonaktifkan lantaran diduga terlibat perkara paspor dan lolosnya Gayus bakal diperiksa di Badan Reserse Kriminal. Mereka pegawai di Pos Bandar Udara Soekarno-Hatta dan kantor Imigrasi Jakarta Timur. ”Kalau datang giliran, tidak memakai seragam Imigrasi,” ujar seorang petugas jaga Bareskrim.
Selain melakukan pemeriksaan di Mabes Polri, tim gabungan mengadakan penyelidikan di kantor Imigrasi Jakarta Timur dan Bandara Soekarno-Hatta. Di Imigrasi Jakarta Timur, tim ”mendudukkan” seorang ahli informasi untuk memelototi pusat data dan mengutak-atik komputer di sana. Beberapa hari bertugas di sana, menurut sumber Tempo itu, pakar tersebut menemukan sejumlah celah bagaimana sebuah paspor aspal bisa dilahirkan. ”Dia mengaku, dengan memanfaatkan bolong-bolong yang ada, dia bisa membuat paspor palsu yang hampir seratus persen mirip yang asli,” kata sang sumber.
Tak hanya paspor atas nama Sony Laksono yang diusut. Tim penyidik juga mengusut adanya dokumen paspor negara Guyana atas nama Yosep Morris dan Ann Morris dengan foto Gayus dan Milana Anggraeni, istrinya. Softcopy paspor Gayus ini ditemukan polisi secara tak sengaja saat penyidik membongkar surat elektronik Arie Nur Irawan, salah satu tersangka pemalsuan paspor Gayus atas nama Sony tersebut.
Dari e-mail terungkap hubungan Arie dengan John Jerome Grice, pria warga negara Amerika. John, yang masuk Indonesia pada 2007, diduga otak sindikat pemalsuan paspor Gayus. Menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar, Gayus terhubung dengan John melalui teman SMA-nya, Agung. Agung lantas mengontak Arie yang dikenalnya bisa membantu membuatkan paspor. Melalui seseorang bernama Joko, Arie lalu berhubungan dengan John, yang menyanggupi membuat paspor dengan jalan pintas.
Dari semua nama yang diduga kuat berperan menelurkan paspor atas nama Sony Laksono, hanya John yang sampai kini masih buron. Adapun yang lain sudah diperiksa. Menurut Boy, dari ketiganya, hanya Arie yang kemudian ditetapkan jadi tersangka. ”Agung dan Joko cuma perantara,” ujar Boy. Sumber di lingkungan polisi menegaskan sangat mustahil jaringan ini bekerja dari luar tanpa melibatkan oknum Imigrasi. Itu karena, selain ternyata memiliki blangko asli, mereka mengetahui kode pengaman paspor asal Imigrasi Jakarta Timur. ”Dari sisi keakuratan, paspor palsu Gayus itu hanya sedikit kesalahannya,” ujar sumber itu.
Untuk paspor atas nama Sony Laksono, Arie berperan memotret Gayus, yang sebelumnya sudah didandani dengan wig dan berkacamata. Foto itulah yang tertempel di blangko paspor asal Imigrasi Jakarta Timur itu. Paspor ini diserahkan ke Gayus di sebuah hotel di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari transaksi itu, John menerima pembayaran US$ 100 ribu. ”Sekitar US$ 2.500 dibagikan ke Arie,” ujar Boy.
Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi, Maroloan J. Barimbing, John tercatat keluar-masuk Indonesia tiga kali. Tiga kali masuk Indonesia, tiga kali pula ia memakai paspor berbeda. ”Identitas dan asal negaranya sama, hanya nomor paspornya berbeda-beda,” kata Maroloan. John diketahui meninggalkan Indonesia, Juli 2010.
Polisi kini terus memburu John, yang diduga sudah hengkang ke luar negeri. Menurut Sekretaris National Central Bureaus-Interpol Indonesia Halba Rubis Nugroho, pihaknya telah meminta bantuan Interpol menerbitkan red notice. ”Dalam hitungan jam, red notice itu sudah disebarkan ke 188 negara anggota Interpol.”
Aksi John dalam jaringan pemalsu paspor, diakui Boy, baru terkuak dari hubungan surat-menyurat antara Arie dan John. Arie sendiri menyebut otak di belakang semua ini John. ”Jadi harus kami tangkap dulu John untuk tahu detail jaringannya,” ujar Boy.
Arie diduga sudah lama bersurat-suratan elektronik dengan John. ”Di-print out ada segepok,” kata Boy. Surat-menyurat itu tak hanya dalam urusan Gayus, juga perkara lain. Polisi, kata Boy, tak hanya menemukan paspor Gayus dan anaknya, tapi juga dokumen akta kelahiran keluarga Gayus ”versi” Republik Guyana, negeri kecil di Amerika Selatan.
Seorang penyidik menyebutkan, dengan paspor itu, Gayus dan keluarganya bisa dibilang telah ”pindah” menjadi warga negara Guyana. Jika kasus kepergian Gayus ke Makau dan Singapura tak diungkap Devina di Kompas, bisa jadi Gayus sudah melesat ke luar negeri. Ini, ujar penyidik itu, terjadi karena saat surat Devina muncul pada 2 Januari lalu, paspor Gayus tersebut baru saja selesai dibuat. ”Jadi, sekali lagi dia diberi kesempatan ke luar tahanan, dia akan menghilang bersama keluarganya,” ujar penyidik itu. Untuk memastikan keaslian paspor Guyana ini, Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Ito Sumardi telah mengirimkan tim ke Guyana untuk melakukan pengecekan.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto menyebutkan pilihan Gayus lari ke Guyana, jika itu benar, adalah cerdas. Negara itu, kata dia, strategis jika untuk mencuci uang. ”Negara ini juga tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia,” katanya.
Namun Hasril menduga Guyana hanya dipakai Gayus sebagai ”negara loncatan” menuju Eropa. Hasril menduga ide pelarian ke Guyana ini hasil bisikan para konsultan pajak yang memberi Gayus uang. ”Karena pengetahuan ini biasanya hanya dimiliki kalangan tertentu.”
Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial Budaya Kedutaan Besar RI Suriname merangkap Guyana, Margono Martowiyono, tak menyangkal pendapat Hasril. Menurut Margono, memang ditemukan sejumlah kasus warga Asia menjadikan Guyana pintu masuk menuju Kanada atau Belanda.
Pihak pemerintah Guyana sendiri, kata Margono, melalui kedutaan besarnya di Paramaribo, Suriname, Rabu pekan lalu telah meminta kopi paspor atas nama Yosep Morris dan Ann Morris yang heboh di Indonesia itu. ”Karena kami tak tahu soal ini, permintaan tersebut kami teruskan ke Departemen Luar Negeri di Jakarta,” ujar Margono.
Gayus sendiri berkeras tak memiliki paspor Guyana tersebut. Hotma Sitompul menegaskan kliennya tak pernah mengurus atau meminta dibuatkan paspor negeri yang berbatasan dengan Suriname itu. ”Yang disebut-sebut paspor itu juga bukan paspor, itu ada di dunia maya. Saya juga bisa bikin sepuluh yang kayak gitu,” kata Hotma.
Ramidi, Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo