Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA tahun tak jelas juntrungannya, kasus penggelapan dana investasi oleh PT Optima Kharya Capital Management belum benar-benar terkubur. Kamis pekan lalu, Feri Pongrekun, salah satu nasabah perusahaan tersebut, mengungkit peristiwa itu kembali. Dia melapor ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Tiba di kantor polisi sekitar pukul 10.00, warga Duren Sawit, Jakarta Timur, itu baru meninggalkan tempat tersebut lima jam kemudian. "Yang lama nunggu penyidiknya," kata Feri. Dia datang ke kepolisian meminta polisi optimal mengusut kasus penipuan yang dialaminya.
Selama menunggu di kantor polisi, Feri mengingat lagi hari-hari ketika dia didekati agen investasi Optima pada awal 2008. Waktu itu ia langsung tergiur begitu si agen menawarkan keuntungan 12,5 persen per tahun. Uang Rp 500 juta pun dia investasikan dalam dua tahap.
Saban bulan, selama hampir setahun, Feri sempat menuai buah investasi yang dijanjikan. Tapi masalah muncul pada tahun kedua. Pengembalian keuntungan mulai tersendat. Saat investasi jatuh tempo, akhir 2009, dia bahkan tak bisa menarik dana pokoknya. "Mereka berdalih karena ada krisis global," ujar Feri pekan lalu kepada Tempo.
Berkali-kali gagal menagih, ia melayangkan somasi. Tapi itu pun tak mempan. Sebelum melapor ke polisi, Feri hanya menggerundel bersama 30-an nasabah Optima yang belakangan ia kenali. Uang mereka yang raib gara-gara tertipu investasi bodong itu tak kurang dari Rp 16 miliar.
Feri dan kawan-kawan hanya segelintir orang yang uangnya habis disedot Optima. Di luar mereka, banyak perusahaan besar yang teperdaya iming-iming investasi dengan keuntungan berlipat. Salah satu perusahaan yang juga dananya ditilap hingga ratusan miliar rupiah oleh Optima adalah PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera.
Akhir Januari lalu, Bumiputera mengadu ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka meminta DPR mengawasi pengusutan kasus yang telah mereka laporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Menurut kuasa hukum Bumiputera, Etza Imelda F. Mumu, Bumiputera pertama kali meneken kontrak pengelolaan dana dengan Optima pada 14 Februari 2007. Sampai Februari 2008, ada tujuh kontrak yang diteken. Total uang pemegang polis asuransi yang dititipkan Bumiputera ke Optima sekitar Rp 299 miliar dan US$ 3 juta. Seperti halnya Feri dan kawan-kawan, direksi Bumiputera tertarik pada keuntungan 14 persen per tahun yang dijanjikan Optima. Keuntungan itu dua kali lipat dari rata-rata bunga deposito yang ditawarkan bank.
Petinggi Bumiputera juga kesengsem oleh profil Optima. Soalnya, pada 2007, perusahaan milik Harjono Kesuma itu tercatat sebagai perusahaan manajemen investasi papan atas, dengan aset sekitar Rp 2 triliun. "Waktu itu performa Optima disebut-sebut sangat baik," kata Etza.
Sewaktu menggaet calon investor kakap, Harjono Kesuma pun royal menghibur mereka dengan aneka kesenangan. Seorang mantan petinggi Bumiputera Sekuritas—anak perusahaan PT AJB Bumiputera—punya cerita perihal itu. Dalam sebuah pertemuan, ada direksi Bumiputera yang keceplosan bicara. "Entertain-nya mana? Optima saja mau ngajak kami ke Cina," ucap si sumber menirukan direktur tersebut. Alhasil, direksi Bumiputera tak menunjuk anak perusahaannya sendiri untuk mengelola dana ratusan miliar itu.
Direksi Bumiputera baru sadar kebobolan pada awal 2009. Waktu itu mereka memerlukan dana segar untuk membayarkan polis nasabah yang jatuh tempo. Kebetulan kontrak dengan Optima pun jatuh tempo. Namun Optima tak bisa mengembalikan dana itu.
Bumiputera tetap menuntut pengembalian seluruh dana plus keuntungan yang dijanjikan—total Rp 400 miliar. Dalam proses mediasi, Harjono dan kawan-kawan pun menyusun siasat. Mereka meyakinkan direksi Bumiputera untuk mengubah kontrak pengelolaan dana menjadi perjanjian utang-piutang. Ujungnya, pada 30 Juli 2009, Bumiputera dan Optima meneken kontrak baru. Pihak Optima berjanji mencicil utangnya dalam waktu tiga tahun.
Optima memang sempat membayar cicilan pertama sebesar Rp 10 miliar. Menurut sumber Tempo, itu sebenarnya hanya jurus mereka untuk keluar dari lubang jarum. Dengan membayar satu kali cicilan saja, dalam hukum perdata Optima dianggap punya iktikad baik. Faktanya, mereka bisa disebut mustahil melunasi janjinya kepada Bumiputera.
Patgulipat Optima sebenarnya sudah tercium otoritas pengawas pasar modal pada 2008. Di lantai bursa, misalnya, Optima Securities dicurigai gemar "menggoreng" saham berisiko tinggi, sampai harganya melonjak di atas 100 persen.
Pada 2009, Badan Pengawas Pasar Modal memperkirakan kerugian 400-an nasabah grup Optima mencapai Rp 700 miliar. Sekitar Rp 400 miliar merupakan kerugian nasabah Optima Management. Sisanya kerugian nasabah Optima Securities. Dengan kerugian sebesar itu, kasus Optima pun menjadi skandal terbesar kedua setelah megaÂskandal Century-Antaboga, yang merugikan nasabahnya sekitar Rp 1,4 triliun.
Khawatir kepercayaan atas bisnis reksa dana rontok seketika, waktu itu Bapepam memilih operasi diam-diam. Mereka mendesak Optima segera menyelesaikan kewajiban kepada 400-an nasabah dan tidak mengulangi kesalahannya. Rupanya usaha itu tak membawa hasil. Pada 23 Oktober 2009, Bapepam pun menghentikan tranÂsaksi Optima di lantai bursa.
Pada 8 Desember 2009, direksi baru Bumiputera melaporkan Optima ke Markas Besar Polri. Tapi laporan itu mandek di Badan Reserse Kriminal Polri. "Kasus itu hampir dihentikan," ujar Brigadir Jenderal Arief Sulistyo, yang menjabat Direktur II Bidang Ekonomi Khusus Bareskrim pada Juli 2010, kepada Tempo pekan lalu.
Arief lantas membentuk tim baru untuk menyidik kembali kasus ini dari awal. Dua pemilik sekaligus direktur di grup Optima, Harjono Kesuma dan Antonius T.P. Siahaan, menjadi tersangka. Financial controller kelompok Optima, Kaswan Suranto, pun turut menjadi tersangka. Mereka dijerat pasal pidana penggelapan dan pencucian uang, yang ancaman hukumannya sampai 20 tahun penjara.
Sejak awal, ujar Arief, ada yang tak beres dalam pengelolaan dana nasabah oleh Optima. Misalnya, dari total dana investasi Bumiputera, hanya Rp 132 miliar yang masuk ke rekening bank kustodian (bank penampung dana investasi).
Padahal, dalam aturan main pasar modal, dana investor tak boleh dicampur dengan dana perusahaan manajemen investasi. Dana investor harus ditampung dalam rekening bank kustodian. Sebelum menjalankan transaksi yang diminta perusahaan pemutar uang, bank kustodian harus memberi tahu investor. Kenyataannya, uang US$ 3 juta milik Bumiputera tak pernah masuk ke rekening kustodian, tapi langsung masuk ke rekening Optima di Bank International Indonesia dan Bank NISP.
Uang Bumiputera yang masuk ke rekening bank kustodian pun nasibnya tak lebih baik. Soalnya, uang cuma bertahan 1-2 hari di bank kustodian. Selanjutnya uang mengalir ke 15 rekening di bank lain—sebagian besar atas nama Harjono.
Selanjutnya, oleh Harjono, uang itu dipakai untuk "berbelanja" berbagai hal di luar kesepakatan investasi. Misalnya dia membeli satu tower apartemen di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia juga mentransfer uang ke luar negeri dan membiayai kepentingan pribadinya. "Ini saja sudah jelas menyimpang," kata Komisaris Besar Syahardiantono, Kepala Subdirektorat Pajak dan Asuransi Bareskrim.
Pada Maret 2012, tim Bareskrim Polri menangkap Harjono Kesuma. Harjono, yang disebut-sebut sebagai buruan Interpol, ditangkap ketika mengurus surat-surat kendaraannya di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tapi penangkapan pria itu bukan babak akhir kasus Optima.
Sedikit maju di polisi, di Kejaksaan kasus ini tersendat. Sejak April 2012, jaksa sudah enam kali mengembalikan berkas perkara ini ke Direktorat II Bareskrim. Akibatnya, masa penahanan Harjono keburu berÂakhir sebelum kasusnya masuk penuntutÂan. Tujuh hari sebelum masa penahanannya habis, dia sudah menghirup udara bebas. "Harjono kami lepaskan," ujar Arief.
Menurut seorang polisi, permintaan jaksa kepada Polri terkesan mengada-ada. Misalnya menyebut berkas perkara tidak lengkap karena penyidik tak melampirkan fotokopi kartu tanda penduduk para tersangka. Padahal, menurut penyidik ini, semua kelengkapan administrasi itu sudah komplet sejak awal. Lain waktu jaksa meminta polisi memeriksa ulang 50 saksi. "Kami akhirnya periksa ulang semuanya," kata penyidik lain.
Terakhir, pada 1 Februari lalu, jaksa mengembalikan berkas perkara itu lagi. Dalam surat pengantar yang diteken Direktur Tindak Pidana terhadap Orang dan Harta Benda Resi Anna Napitupulu, Kejaksaan menyatakan masih menunggu gugatan perdata kasus ini berkekuatan hukum tetap.
Di samping jalur pidana, Bumiputera memang menggugat Optima secara perdata. Pada 30 Juli 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Bumiputera. Hakim menyatakan Optima wanprestasi. Hakim pun membatalkan perjanjian Optima dan Bumiputera yang mengubah kontrak pengelolaan dana menjadi perjanjian utang-piutang.
Nah, karena Optima mengajukan permohonan banding, menurut jaksa, perkara pidananya belum bisa maju ke tahap penuntutan. Sebaliknya, polisi berkukuh perkara pidana dan perdata kasus ini harus berjalan terpisah. Apalagi unsur pidananya ini sangat terang-benderang. "Tindak pidana sudah terjadi sebelum mereka membuat perjanjian utang-piutang," ucap Arief.
Di tengah tarik-menarik polisi dan jaksa, pihak Optima memilih diam. Kuasa hukum Optima, Yana Mulyana, hanya memastikan kliennya, Harjono, tak akan kabur ke luar negeri. "Alhamdulillah, masih di sini," kata Yana kepada Tempo. Selebihnya, dia menolak berkomentar. "Saya tak diizinkan bicara kasus ini dulu," ujarnya.
Jajang Jamaludin, Febriyan
Sikat Sana-sini
Dua anak perusahaan PT Optima Kharya Mulia, PT Optima Kharya Capital Management dan PT Optima Kharya Capital Securities, diduga menggelapkan ratusan miliar rupiah dana nasabahnya. Korban investasi bodong mereka bukan hanya orang awam. Sejumlah perusahaan besar—milik negara dan swasta—pun bisa mereka tipu mentah-mentah. Salah satunya PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera.
Korban
Sekitar 400 nasabah, individu dan perusahaan. Antara lain:
Grup Optima Kharya
Induk perusahaan:
PT Optima Kharya Mulia
Saham:
Harjono Kesuma (75 persen) dan Antonius T.P. Siahaan (25 persen)
Anak perusahaan:
Prestasi:
Pada 2007, PT Optima Kharya Capital Securities mendapat gelar sekuritas terbaik dengan kategori aset di atas Rp 500 miliar-Rp 1 triliun. Aset mereka saat itu mencapai Rp 2 triliun.
Kegagalan:
Oktober 2009, Bapepam menghentikan (suspens) semua transaksi Optima Kharya di bursa saham.
Modus Optima
Menjerat Calon Korban
Menilap Dana Korban
Menghindari Jerat Hukum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo