Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana Pujiyanto membangun garasi buyar. Padahal ia sudah menunda-nunda renovasi rumahnya di Desa Munggangsari, Purworejo, Jawa Tengah, sejak dua tahun silam. Rencananya, garasi itu akan dibangun di atas sepetak lahan di sebelah rumahnya. Kini lahan itu dibiarkan kosong. Rumah satu lantai itu kini diputuskan diperbaiki tanpa perlu dilengkapi garasi. "Mimpi kami memiliki mobil untuk keperluan desa sudah pupus," katanya Rabu pekan lalu.
Sehari-hari Pujiyanto menjabat Kepala Desa Munggangsari, Kecamatan Grabag. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto memilih desanya sebagai proyek pemberdayaan masyarakat yang disponsori PT Aneka Tambang (Antam). Proyek ini menganggarkan mobil Toyota Hilux untuk urusan operasional desa. Kepada Tempo ia berkisah melihat mobil itu satu kali. Tapi kemudian mobil yang disebut-sebut akan jadi jatahnya itu menghilang. "Setiap ditanya, panitia proyek beralasan mobil itu sedang dipinjam untuk kegiatan lain," ujar pria 45 tahun ini.
Bukan hanya mobil yang menguap. Kejaksaan menengarai keseluruhan proyek pemberdayaan itu juga sekadar akal-akalan, yang dananya kemudian masuk ke kantong sejumlah petinggi Unsoed. Sejak awal tahun lalu Kejaksaan Negeri Purwokerto mengendus kecurigaan atas proyek yang disebut-sebut bernilai Rp 5,8 miliar itu. Hasilnya, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Mereka adalah Rektor Unsoed Edy Yuwono, Kepala Unit Pelaksana Teknis Penerbitan dan Percetakan Winarto Hadi, dan Asisten Senior Manajer CSR PT Antam Suatmadji. "Negara diperkirakan rugi Rp 2 miliar," kata ketua tim penyidikan, Sunarwan.
Perkara ini bermula dari kerja sama antara Antam dan Unsoed pada 2010 untuk membuat proyek bernama Lahan Demplot Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Terpadu. Misinya menyulap lahan 5,5 hektare bekas penambangan pasir besi yang sebelumnya selama puluhan tahun dikelola Antam menjadi lahan pertanian, peternakan, dan perikanan. Ada 117 item program di proyek ini. Kawasan proyek yang biasa disebut Pantai Ketawang itu berada sekitar 120 kilometer dari Purwokerto. Persisnya di pesisir selatan Purwokerto.
Tahap pertama, Unsoed menerima Rp 600 juta dari Antam. Hasil dari uang itu masih bisa dilihat wujudnya pada pembangunan kandang ternak, kolam ikan, dan sarana proyek lain. Setahun kemudian, nilai dana yang ditransfer berlipat menjadi Rp 1,5 miliar. Setelah itu, Unsoed mengajukan proposal baru. Duet BUMN dan kampus universitas negeri ini makin hot. Total Antam menggelontorkan bantuan Rp 5,8 miliar. "Pada periode kedua dan selanjutnya praktek korupsi sangat kentara," kata sumber Tempo di Kejaksaan Negeri Purwokerto.
Bermacam modus korupsi digunakan tersangka dalam proyek tersebut. Sembilan orang yang bertanggung jawab di kepanitiaan proyek hampir semuanya berasal dari Unsoed. Mereka, ujar sumber Tempo, dijuluki "walisongo" oleh sejumlah anggota staf dan dosen universitas itu. Selain Edy dan Winarto, masih ada Budi Rustomo, Pembantu Rektor IV Unsoed. Lalu Saparso, kepala proyek; Darsono, Kepala UPT Pemberdayaan Fasilitas Unsoed; Purnama Sukardi, anggota tim teknis; Mohammad Bata; Junaidi; serta Imam Widhiono. Semuanya dosen di perguruan tinggi yang berdiri sejak 1963 tersebut.
Sebagian kecil uang memang digunakan untuk menjalankan proyek, tapi sisanya diduga digangsir secara berjemaah oleh "walisongo". Uang bantuan itu masuk ke rekening pribadi. Edy, misalnya. Kejaksaan menemukan rekening pribadinya di Bank BNI menerima transfer Rp 175 juta pada 16 September 2011. Dari Winartolah diduga uang itu dikirim. Dalam proyek ini Winarto bertugas sebagai bendahara panitia. Selain ke rekening para dosen itu, uang proyek diduga mengalir ke rekening keluarga mereka. Sejumlah anggota keluarga dosen yang rekeningnya diduga menjadi tempat penampungan uang juga sudah diperiksa kejaksaan.
Penyidik, misalnya, menemukan data yang menunjukkan Sukardi diduga menerima Rp 50 juta dan Mohammad Bata Rp 150 juta. Saat pemeriksaan, Bata mengembalikan uang tersebut ke kejaksaan. Ada lagi bukti transfer Winarto ke PT Armada International Motor Purwokerto Rp 370 juta untuk membeli tiga mobil Daihatsu Terios. Ini hal yang ganjil karena pembelian mobil tak tercantum dalam proposal.
Adapun honor panitia, yang besarnya menurut proposal proyek Rp 24-30 juta, dibengkakkan menjadi Rp 150 juta. Oleh Winarto, Saparso, dan Bata, uang itu digunakan untuk membeli mobil. Hal yang sama dilakukan Edy Yuwono, yang membeli Toyota Innova dari dana proyek Antam tersebut. "Keempat mobil itu sudah disita," ujar Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Purwokerto Hasan Nurudin Achmad.
Khusus Suatmadji, ia menjadi tersangka karena menerima uang jasa 10 persen dari total keseluruhan nilai proyek atau Rp 580 juta. "Suatmadji sudah mengaku menerima uang itu," kata Hasan.
Menurut proposal, seharusnya uang proyek ini digunakan untuk membeli 65 ekor sapi dan 122 ekor kambing. Kandang ternak sudah disiapkan di lokasi proyek. Belasan penduduk desa akan direkrut dan diupah untuk menggemukkan ternak. Keuntungan penjualan ternak akan dikembalikan dan dikelola masyarakat. Faktanya, hingga saat ini hanya terlihat belasan sapi. Yang membuat Pujiyanto heran, panitia justru merekrut orang luar—bukan warga desanya—untuk mengelola peternakan itu. "Uang penjualan sapi juga tak jelas ke mana," ujar Pujiyanto.
Proyek ini melingkupi empat desa: Munggangsari, Ketawangrejo, Patutrejo, dan Harjobinangung. Hanya kemudian mentok di Munggangsari. Padahal penduduk desa sudah bersukacita mendengar proyek tersebut. Giran Gani, anggota Gabungan Kelompok Tani Maju Makmur Desa Munggangsari, misalnya, mengatakan masih ingat janji Edy ketika berpidato pada Desember 2010 di desanya saat panen perdana proyek itu. "Para petani nanti akan menghasilkan Rp 60 juta sebulan," katanya menirukan pidato Edy.
Menurut Budi Harsoyo, salah satu pengurus kelompok tani desa itu, program pemberdayaan petani Desa Munggangsari sama sekali tak terbukti hasilnya. Teori pertanian yang digunakan Unsoed kalah oleh pengalaman petani lokal. Ia dan petani lain sudah terbiasa bertani di lahan pasir sejak 1990. Hasil dari cara menanam mereka memuaskan. Itu seperti yang terlihat dari hasil pertanian di wilayah pesisir selatan Kebumen hingga Yogyakarta, yang tanahnya lebih subur. Kerja keras penduduk, ujar dia, malah dimanfaatkan panitia proyek. "Kami yang berhasil menanam cabai, panitia yang mengklaim itu kerja mereka," katanya.
Penduduk desa memperkirakan total nilai pembangunan sarana proyek itu sebenarnya hanya Rp 800 juta. Kepala Kejaksaan Negeri Purwokerto A. Dita Prawitaningsih mengatakan pihaknya akan secepatnya terjun ke lokasi proyek. Secara fisik, ujar dia, proyek itu memang ada. Namun standar proyek tersebut diragukan secara kuantitas dan kualitas. Penyidik hingga kini terus memeriksa saksi dari pihak kampus dan anggota "walisongo" lain. "Masih ada calon tersangka lain," katanya.
Kejaksaan belum menahan Edy, Winarto, dan Suatmadji. Seluruh kekayaan mereka juga masih ditelusuri. Dua pekan lalu, setelah menjalani pemeriksaan, Edy dan Winarto tak bersedia menjawab pertanyaan wartawan sepatah kata pun. Nur Cahyo, pengacara yang ditunjuk Unsoed, menegaskan bahwa proyek pemberdayaan masyarakat ini sudah berjalan sesuai dengan aturan. "Tidak ada korupsi dalam kasus ini," ucapnya.
Pembantu Rektor II Unsoed Eko Haryanto justru khawatir munculnya perkara itu akan membuat Antam menghentikan dana proyek kerja sama mereka ini. "Selama ini Antam menganggap hanya proyek Unsoed yang paling bagus dibanding kampus lain," kata Eko. Eko sepertinya lupa, proyek bagus dan korupsi adalah dua hal yang berbeda.
Mustafa Silalahi (Jakarta), Aris Andrianto (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo