Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mimpi Kim di Teluk Bintuni

Mahkamah Agung memerintahkan Kementerian Kehutanan mengembalikan hak pengusahaan hutan dua perusahaan yang sahamnya diambil alih pengusaha Kim Johanes. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan tak akan mengembalikannya.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOLEKSI foto alat-alat berat dan truk pengangkut kayu itu bolak-balik dipandangi Kim Johanes Mulia. Foto-foto tersebut diambil anak buah Kim ketika alat berat dan truk yang didatangkan dari Cina itu baru tiba di Pelabuhan Biak, Papua, awal 2007. Dua ratusan moda usaha tersebut sedianya akan dipakai memanen kayu di area hutan Papua yang hak pengusahaannya baru saja beralih ke perusahaan Kim, PT Garbapati Prakarsa. Luas konsesi hutan yang diklaim pengusaha ini di kawasan Teluk Bintuni itu mencapai 830 ribu hektare.

Beberapa bulan berselang, sebelum moda itu sempat dioperasikan, Departemen Kehutanan mencabut hak pengusahaan hutan (HPH) PT Prabu Alaska dan PT Rimbakayu Arthamas, dua perusahaan yang baru saja diakuisisi perusahaan Kim. Kini alat-alat berat itu mangkrak di Pelabuh­an Biak. "Ini akibat pencabutan izin secara sepihak," kata Kim kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Kim mengatakan ia juga sudah mengeluarkan investasi pembangunan jalan dan perkantoran di area HPH itu. Dia menyatakan kerugian materiil yang ditimbulkan akibat pencabutan HPH itu mencapai Rp 3,84 triliun. Inilah yang membuat pemilik maskapai penerbangan Kartika Airlines itu membawa pencabutan tersebut ke meja hijau.

Pertengahan 2007, Kim mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Empat bulan bersidang, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Kim, menyatakan pencabutan HPH itu tidak sah. Departemen Kehutanan mengajukan permohonan banding, tapi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tetap menguatkan kemenangan Kim. Departemen Kehutanan lalu mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Tapi, di tengah proses upaya hukum ini, Departemen Kehutanan justru melakukan tindakan yang membuat Kim berang: memberikan HPH tersebut kepada dua perusahaan lain. Hak pengusahaan di kawasan hutan yang kaya akan kayu merbau—kayu kelas satu yang di pasar dunia harganya termasuk paling mahal—ini diberikan kepada PT Papua Satya Kencana dan PT Inocin Abadi. Menurut Kim, PT Papua Satya adalah perusahaan milik Budi Santoso, menantu pengusaha Tomy Winata. Perusahaan itu berkantor di Gedung Artha Graha, Sudirman, Jakarta. Nama Budi sempat mencuat dalam kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom.

Uniknya, saat hendak mendapat HPH itu, dua perusahaan ini membuat surat pernyataan. Isinya: mereka tidak akan melakukan tuntutan kepada Departemen Kehutanan jika nanti terjadi akibat hukum dari proses gugatan Kim. Menurut pengacara Kim, Tommy Sihotang, surat pernyataan ini janggal karena dua perusahaan itu bersedia tidak menggugat Departemen Kehutanan jika sewaktu-waktu HPH-nya dicabut sebagai akibat MA memenangkan gugatan Kim.

Belakangan putusan MA justru memenangkan Departemen Kehutanan sekaligus membatalkan putusan banding yang memenangkan Kim. Kemenangan Departemen Kehutanan ini dikuatkan sampai peninjauan kembali. Dalam pertimbangan putusannya, Kim sebagai pemilik perusahaan yang mengakuisisi dua perusahaan pemilik HPH itu dianggap tidak mempunyai hak mengajukan gugatan. Majelis menilai pihak yang memiliki legal standing adalah petinggi dua perusahaan sebelum sahamnya dibeli Kim.

Namun kekalahan itu tak membuat Kim mundur. Pada Maret 2011, dia mengajukan gugatan uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007. Peraturan ini yang menjadi payung hukum Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, yang kala itu mencabut HPH dua perusahaan yang dibeli Kim.

Upaya Kim tak sia-sia. Majelis hakim Mahkamah Agung yang dipimpin Paulus Effendi Lotulung mengabulkan gugatan uji materi itu. Majelis hakim memerintahkan Kementerian Kehutanan memulihkan HPH dua perusahaan yang telah dicabut dan mengembalikannya ke PT Garbapati. Putusan itu dipertegas surat MA pada 7 Agustus 2012, yang meminta Kementerian Kehutanan membuat surat keputusan baru yang meralat keputusan yang mencabut HPH itu.

"Amunisi" ini yang dipakai pihak Kim mendesak Kementerian Kehutanan agar pencabutan HPH dua perusahaan yang telah dibelinya dibatalkan. Kim mengaku sudah menyurati dan mendatangi petinggi Kementerian Kehutanan untuk merespons putusan itu. Namun, sampai pekan lalu, Kementerian Kehutanan tidak kunjung mengeksekusi putusan itu. Menurut Tommy Sihotang, pihaknya kini tengah menyiapkan gugatan pencabutan HPH itu ke PTUN. "Putusan uji materi itu menjadi alasan baru kami menggugat izin itu ke PTUN," ucap Tommy.

Tapi putusan Mahkamah itu tampaknya tak akan menggoyahkan sikap Kementerian Kehutanan. Kepada Tempo, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengaku sudah menerima dan mempelajari putusan uji materi itu. Dia mengatakan tak akan mengembalikan HPH dua perusahaan tersebut. "Putusan uji materi itu tak berlaku surut," ujar Zulkifli. Menurut dia, jika berlaku surut, kementeriannya juga harus mengubah ratusan HPH yang dulu dicabut Menteri Kehutanan sebelumnya.

1 1 1

KASUS ini bermula dari pemberian hak pengusahaan hutan di kawasan Bintuni kepada PT Prabu Alaska dan PT Rimbakayu Arthamas. Menteri Kehutanan ketika itu, Hasjrul Harahap, memberikan HPH kepada Prabu pada 2 April 1999. Luas konsesinya 454.700 hektare. Setahun kemudian, Hasjrul memberikan HPH kepada Rimbakayu dengan luas konsesi 373 ribu hektare. HPH untuk dua perusahaan itu diberikan sampai jangka waktu 20 tahun. Sejak 2005, istilah HPH berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).

Pada akhir 2006, karena persoalan keuangan, pemegang saham Prabu Alaska dan Rimbakayu mengalihkan saham perusahaan ke perusahaan Kim, Garbapati. Pertengahan Januari 2007, kedua perusahaan melayangkan surat ke Menteri Kehutanan, memberitahukan rencana pengalihan saham itu. Pemberitahuan ini mengacu pada keputusan Menteri Kehutanan tentang pemberian HPH dua perusahaan itu, yang menyebut HPH tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain tanpa persetujuan Menteri Kehutanan.

Karena tak segera direspons, pada 26 Januari 2007, dua perusahaan itu mengalihkan mayoritas sahamnya ke Kim Johanes. Pengalihan itu juga mencakup HPH di Bintuni. Belakangan pihak Kim mengaku baru tahu kalau terbit Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007. Isinya menohok Kim. Pasal 20 aturan itu mensyaratkan perusahaan yang memindahtangankan HPH atau IUPHHK harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Kehutanan. Inilah dalil Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban mencabut HPH dua perusahaan itu. Untuk Prabu, keputusan pencabutan terbit pada 13 April 2007, sedangkan Rimbakayu pada 23 Oktober 2007.

Dalam keputusan Menteri Kehutanan soal pencabutan HPH dua perusahaan itu, disebutkan kedua perusahaan telah memindahtangankan HPH tanpa persetujuan Menteri Kehutanan. Tindakan ini dianggap Departemen Kehutanan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan dapat dikenai sanksi pencabutan HPH. Belakangan, pada 15 Oktober 2009, Departemen Kehutanan memberikan area HPH Rimbakayu ke Papua Satya. Sedangkan area Prabu Alaska diberikan ke Inocin Abadi pada 21 Oktober 2011.

Pencabutan HPH ini yang membuat Kim meradang. Menurut Tommy Sihotang, dasar hukum yang dipakai Departemen Kehutanan mencabut HPH itu prematur. Dia mengatakan aturan itu dipaksakan karena peraturan Menteri Kehutanan yang menjadi petunjuk pelaksanaan peraturan pemerintah itu baru terbit pada 24 Juni 2008, setelah izin HPH Prabu dan Rimbakayu dicabut.

Pihak Kim menuduh ada pejabat tinggi Departemen Kehutanan ketika itu yang bermain mata dalam kasus pencabutan HPH Prabu Alaska dan Rimbakayu. Menurut Tommy, Kaban semestinya, pada 15 Oktober 2009 itu, tidak boleh membuat putus­an yang memberi izin HPH ke Papua Satya. Alasannya, masa jabatan Kaban berakhir pada 20 Oktober 2009. Tommy mengutip Surat Edaran Sekretaris Negara ketika itu yang menyebut pejabat negara dilarang mengambil keputusan strategis selama 20 hari sebelum masa jabatannya berakhir.

Dihubungi Tempo pada Kamis pekan lalu, bekas Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban membantah jika disebut memaksakan pencabutan izin HPH Prabu Alaska dan Rimbakayu. Menurut dia, sebelumnya pihaknya telah memberikan peringatan tiga kali kepada dua perusahaan itu. Kekalahan Kim Johanes di PTUN, kata Kaban, menunjukkan bahwa putusan pencabutan itu sudah benar. Soal area tersebut diberikan ke perusahaan lain, ujar Kaban, itu hak negara.

Kaban balik menuduh pihak Kim yang curang. Dia mengatakan pengalihan saham di bawah tangan itu jelas pelanggaran. Apalagi, ucap dia, saham tersebut dialihkan ke Kim Johanes, yang pernah ditetapkan sebagai tersangka Kejaksaan Agung dalam kasus ekspor fiktif pada 2006. "Semua tahu rekam jejak Kim Johanes ketika zaman Orde Baru," kata Kaban.

Anton Aprianto, Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus