Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDRA Sugiarno terdiam ketika penyidik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menyodorkan catatan keuangan Rumah Sakit Harapan Bunda pada Kamis dua pekan lalu. Sebelumnya, dokter spesialis anak di rumah sakit yang terletak di Ciracas, Jakarta Timur, ini terus membantah terlibat peredaran vaksin palsu.
Kali ini Indra tak bisa mengelak lagi. ”Ada bukti bahwa dia mendapat keuntungan dengan menjual vaksin palsu,” kata seorang penyidik Bareskrim ketika menceritakan lagi pemeriksaan itu, Rabu pekan lalu. ”Keuntungannya juga lumayan besar.”
Setelah pemeriksaan kedua kalinya, Jumat dua pekan lalu, polisi menetapkan Indra sebagai tersangka. Hari itu juga polisi menahan Indra. Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Agung Setya, Indra membeli vaksin dari distributor tidak resmi, yaitu CV Azka Medical.
Pada hari yang sama, polisi juga menetapkan Irnawati, perawat Rumah Sakit Harapan Bunda, sebagai tersangka. Perawat yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja sama dengan Indra itu diduga ikut menawarkan vaksin palsu kepada pasien. Irnawati menolak berkomentar tentang kasus yang menjeratnya. ”Tolong jangan beritakan yang enggak-enggak, kasihan keluarga saya,” ucapnya di gedung Bareskrim, Kamis siang pekan lalu. Seperti halnya Indra, Irnawati kini menghuni ruang tahanan Bareskrim.
Peredaran vaksin abal-abal jadi buah bibir setelah polisi membongkar empat sindikat pemalsu serum imunisasi itu pada awal Juni lalu. Keempat jaringan itu dikendalikan Nuraini, Syafrizal-Iin Suliastri, Hidayat-Rita Agustina, dan Agus Priyanto-Juanda (Direktur CV Azka Medical). Keempat komplotan ini, menurut Agung, bermain di tengah kelangkaan vaksin untuk mendulang untung.
Sejauh ini polisi telah menetapkan 25 orang sebagai tersangka. Yang diciduk, selain dokter dan perawat, ada bidan, pengedar, pembuat, pengepul botol bekas, dan pencetak label palsu. Jumat pekan lalu, polisi melimpahkan sebagian berkas para tersangka ke Kejaksaan Agung.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek pada Kamis dua pekan lalu mengumumkan 14 rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. ”Mereka memperoleh dari distributor ilegal,” ujar Nila dalam rapat kerja dengan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat. Tiga belas rumah sakit di Bekasi memperoleh vaksin dari Azka Medical. Satu lagi rumah sakit di Jakarta mendapat serum abal-abal dari jaringan Nuraini.
Polisi masih mengumpulkan data untuk mengusut keterlibatan manajemen ke-13 rumah sakit. ”Kami melihat ada prosedur yang dilanggar rumah sakit,” kata seorang penyidik. ”Tinggal dicari apakah sengaja atau lalai.” Agung, ketika dimintai konfirmasi, berjanji membongkar tuntas jaringan peredaran vaksin palsu.
l l l
DUA lembar surat berkop CV Azka Medical pertama kali mendarat di meja manajemen Rumah Sakit Elisabeth, Bekasi, pada 25 Juni 2015. Halaman pertama—ditandatangani oleh Juanda—berisi penawaran produk sekaligus profil singkat Azka Medical. Lembar kedua memuat daftar harga 14 jenis vaksin.
Direktur Rumah Sakit Elisabeth, Antonius Yudianto, mengatakan surat tersebut datang ketika stok vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) mulai kosong. ”Kami biasanya menggunakan produk GlaxoSmithKline Indonesia,” kata Antonius, Rabu pekan lalu. Namun, pada 26 Mei 2015, perusahaan farmasi asal London, Inggris, itu menyatakan stok vaksin jenis tersebut kosong.
Rumah Sakit Elisabeth pertama kali membeli vaksin DPT merek Pediacel dari Azka Medical pada 2 November 2015. Harganya Rp 345 ribu per botol. ”Hubungan baik” kedua pihak berlanjut. Rumah Sakit Elisabeth tercatat 24 kali memesan vaksin dengan total 234 buah botol. Terakhir mereka membeli vaksin dari Azka pada 2 Juni 2016. Sejauh ini, menurut manajemen, Rumah Sakit Elisabeth telah mengimunisasi 125 anak dengan vaksin yang belakangan diketahui palsu.
Antonius mengaku tak tahu bahwa Azka Medical abal-abal. Sebab, vaksin yang mereka jual terlihat asli. Namun Antonius mengakui kurang teliti dalam bertransaksi. ”Kami tidak pernah bertemu, pesan lewat telepon. Barang diantar kurir.”
Seorang penyidik lainnya mengatakan Azka Medical memiliki jaringan ”informan” di banyak rumah sakit. ”Makanya mereka tahu kapan vaksin di sebuah rumah sakit kosong,” ujarnya. Pengacara Rumah Sakit Elisabeth, Azas Tigor Nainggolan, menyangkal tudingan adanya informan di dalam rumah sakit. Ia justru curiga pembocor tersebut berasal dari luar rumah sakit yang sedang dibelanya.
Polisi mencokok Juanda, Direktur Azka Medical, pada pertengahan Juni lalu di rumahnya di kompleks Taman Alamanda, Tambun Utara, Bekasi. Tim Bareskrim juga menyita ratusan botol vaksin palsu pelbagai jenis dari kantor Azka Medical. Kantor itu berupa rumah kontrakan seluas 27 meter persegi di perumahan Bumi Sani Permai Nomor 10, Tambun, Bekasi.
Di Tambun, Azka Medical juga menjual vaksin palsu kepada Rumah Sakit Karya Medika II. Direktur rumah sakit ini, Dominggus M. Efruan, mengakui memakai ”jasa” Azka Medical sejak 2011, ketika stok vaksin menyusut. Ia juga beralasan tak tahu bahwa vaksin yang dijual Juanda dkk itu tiruan.
Di samping memiliki kontak orang dalam, menurut polisi, Azka Medical mudah masuk ke rumah sakit karena terkesan berbadan hukum. Bila rumah sakit meminta, jaringan Azka Medical menunjukkan berkas perizinan sebagai distributor vaksin, yang juga palsu.
Kebiasaan sejumlah apotek membeli obat dari subdistributor, menurut sumber dari kalangan medis, membuat Juanda dkk leluasa bermain. ”Banyak juga rumah sakit yang kerap membeli dari subdistributor,” katanya. Antonius membenarkan adanya subdistributor dalam jaringan vaksin. ”Kami juga biasanya beli dari subdistributor. Aman saja, kok,” ujarnya.
Berbeda dengan jaringan Azka Medical yang bekerja dengan bendera perusahaan, ketiga sindikat lain menawarkan vaksin secara perorangan. Jaringan Nuraini, misalnya, menggaet Dokter Indra dari Rumah Sakit Harapan Bunda melalui seorang tenaga penjual bernama Syahrul.
Fahmi Rajab, pengacara Indra, mengatakan kliennya membeli vaksin merek Pediacel dari Syahrul sejak Maret 2016. Seperti di rumah sakit lain, kala itu di Harapan Bunda juga terjadi kekosongan vaksin. Kepada Fahmi, Indra mengaku hanya sekali membeli vaksin Pediacel dari Syahrul sebanyak 60 botol.
Menurut Fahmi, Dokter Indra merupakan korban dari jaringan vaksin palsu. ”Dia tak pernah tahu itu isi serum yang digunakan palsu.” Buktinya, kata Fahmi, Indra juga memberikan vaksin serupa kepada anak dan cucunya. ”Ia tidak bersalah.”
Seorang anggota Satuan Tugas Vaksin Palsu menceritakan hal berbeda. Menurut dia, hubungan antara Indra dan Syahrul terjalin sejak awal tahun ini. Indra pun mengambil untung lumayan besar. Sebab, Syahrul menjual Rp 500 ribu per vaksin Pediacel. Kemudian Indra menarik biaya imunisasi sebesar Rp 800 ribu. ”Dalam percakapan WhatsApp, Indra aktif memesan,” ucap anggota satgas gabungan Kementerian Kesehatan, Bareskrim, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan ini.
Menurut anggota satgas ini, pembelian vaksin bukan atas nama rumah sakit, melainkan atas nama Indra sendiri. Karena itu, transaksinya tak masuk pembukuan rumah sakit. ”Kalau dicek di pembukuan, kolom imunisasi pasti nol rupiah,” ujarnya. Sumber ini juga menuturkan, polisi sedang menelisik keterlibatan dokter lain dan manajemen rumah sakit. ”Sebab, Indra juga menawarkan ke rekannya,” katanya.
Main mata Dokter Indra membuat marah puluhan orang tua anak yang pernah diimunisasi di Harapan Bunda. Jumat pekan lalu, mereka menggeruduk rumah sakit itu. Beberapa di antaranya menunjukkan kuitansi atas nama Indra.
Meski kuitansi pemesanan dan pengobatan hanya atas nama Indra, menurut Fahmi, pembelian vaksin itu diketahui rumah sakit. ”Banyak dokter dan suster yang juga beli di sales yang sama,” ujarnya. Fahmi pun menilai manajemen rumah sakit lalai mengawasi pengadaan vaksin. Manajemen tak pernah melarang dokter atau suster menggunakan vaksin dari distributor tak resmi. ”Larangan baru keluar pada 24 Juni 2016, setelah kasus vaksin palsu mencuat,” ujarnya.
Direktur Rumah Sakit Harapan Bunda, Liza, menolak berkomentar panjang tentang perkara yang menjerat Indra. Namun ia mengakui ada vaksin palsu merek Pediacel yang digunakan di rumah sakit tersebut.
Dokter lain yang termakan bujukan jaringan pemalsu adalah Ade Ramayadi. Ia berpraktek di Klinik Pratama Adipraja Medika, Kemanggisan, Jakarta Barat. Dokter ini membeli vaksin dari jaringan Syafrizal-Iin Suliastri. Ade, bekas Direktur Rumah Sakit Sayang Bunda, Bekasi, juga memperoleh vaksin palsu dari kelompok Agus Priyatno. Polisi menahan Ade sejak akhir Juni.
Cerita serupa datang dari Toniman Koeswadjaja, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Ibu Anak Mutiara Bunda, Ciledug, Tangerang. ”Saya enggak tahu kalau itu palsu soalnya kemasannya seperti asli,” kata Toniman, beberapa waktu lalu. Nama Mutiara Bunda juga muncul dalam rapat Kementerian Kesehatan dengan DPR. Dalam paparannya, Menteri Nila menyebutkan rumah sakit ini termasuk yang ketahuan menggunakan vaksin palsu.
Toniman mengaku membeli vaksin dari tenaga penjual bernama Marto sejak awal tahun ini. Dari faktur pembelian yang salinannya dimiliki Tempo, Toniman, misalnya, membeli 130 vial (botol) vaksin jenis Tripacel pada 23 Juni 2016. Dia membeli vaksin dipteri, pertusi, dan tetanus itu Rp 200 ribu per botol. Toniman membenarkan isi faktur tersebut.
Toniman ”menjual” vaksin dengan selisih lebih dari 50 persen. Beberapa orang tua anak yang mengadu ke Rumah Sakit Mutiara Bunda mengatakan, sekali imunisasi dengan Dokter Toniman, mereka ditarik bayaran Rp 350-400 ribu. Sampai pekan lalu, polisi belum memeriksa Toniman.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan akan mengevaluasi proses pengadaan vaksin. ”Khususnya bagi rumah sakit swasta yang melakukan pengadaan sendiri,” katanya Kamis pekan lalu. Menurut Linda, rumah sakit seharusnya tahu mana saja distributor resmi untuk vaksin. ”Tak ada alasan untuk tidak tahu karena distributor hanya itu-itu saja,” ujarnya.
SYAILENDRA PERSADA, MITRA TARIGAN, REZKI ALVIONITASARI (JAKARTA), AYU CIPTA, MUHAMMAD KURNIANTO, (TANGERANG), ADI WARSONO (BEKASI)
Kandungan Vaksin: Asli Vs Palsu
1. Vaksin Tripacel (produksi Sanofi Pasteur)
a. Kandungan seharusnya:
- Toksoid difteri
- Toksoid tetanus
- Vaksin acellular pertussis
b. Kandungan palsu:
- Ades Aqua
- Garam
- Vaksin hepatitis B*
2. Vaksin Pediacel (produksi Sanofi Pasteur)
a. Kandungan seharusnya:
- Toksoid difteri
- Toksoid tetanus
- Vaksin acellular pertussis
- Vaksin polio
- Vaksin haemophilus influenzae
b. Kandungan palsu:
- Ades Aqua
- Garam
- Vaksin tetanus*
3. Engerix-B (produksi GlaxoSmithKline)
a. Kandungan seharusnya:
- Vaksin hepatitis B
b. Kandungan palsu:
- Vaksin hepatitis B kualitas rendah
- Garam
- Ades Aqua
4. Antitetanus (produksi Bio Farma)
a. Kandungan seharusnya:
- Serum antitetanus
b. Kandungan palsu:
- Ades Aqua
- Garam
Setelah Vaksin Menyebar
1. Satuan Tugas akan memverifikasi sebaran vaksin palsu.
Konsekuensi:
- Pencabutan izin rumah sakit, pencabutan izin praktek bagi dokter atau bidan, dan sanksi pidana
2. Vaksin ulang bagi bayi yang terkena imunisasi abal-abal tersebut.
Ketentuan vaksin ulang:
- Usia 0-11 bulan: BCG, polio, DPT, hepatitis B, hepatitis influenza B, dan campak
- Usia 1-3 tahun: polio, DPT, hepatitis B, hepatitis influenza B, dan campak
- Usia 3-7 tahun: polio, DT, dan campak
- Usia di atas 7 tahun: polio, tetanus, dan campak
Lokasi vaksin ulang:
- Ada 44 puskesmas di wilayah Kota dan Kabupaten Bekasi. Daftar bisa dilihat di Dinas Kesehatan.
- Kota Tangerang: Puskesmas Ciledug
- DKI Jakarta: RS Polri Kramat Jati, RSUD Pasar Rebo, RS Ciracas, Puskesmas Ciracas
3. Tes kesehatan bagi yang menunjukkan gejala demam setelah vaksinasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo