JARINGAN televisi asing, dalam tiga bulan terakhir ini, tiba-tiba sudah mengepung wilayah Indonesia. Setelah CNN dan ESPN menyewa transponder Palapa, Oktober ini dua jaringan televisi Amerika (STV dan MTV) serta BBC dari Inggris menjalin kerja sama dengan STAR TV, Hutch Vision Hong Kong, dan memancarkan siarannya lewat satelit Asia Sat I. Semua pemancar asing itu, seperti dikatakan pihak STAR TV, sengaja diarahkan ke kawasan Asia, termasuk Indonesia. Bagaimana dengan sikap pemerintah Indonesia yang hingga kini masih menolak siaran asing? Pemerintah menganggap semua siaran tersebut sebagai sekadar luberan. Menteri Penerangan Harmoko, misalnya, berpendapat siaran asing yang ditangkap di Indonesia hanyalah dampak kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung. Berikut ini petikan wawancara wartawan TEMPO Iwan Qodar dan Bambang Aji. Bisa Anda jelaskan perbedaan siaran luberan dengan siaran yang direkayasa? Intinya, luberan itu merupakan masalah teknologi yang tak bisa dihindari. Maksud saya, arah dari luar melalui satelit tidak bisa kita bendung. Lewat parabola, misalnya, kita bisa menangkap siaran dari Moskow, Prancis, atau Beijing. Sedangkan siaran yang direkayasa adalah siaran yang dipancarkan ke Indonesia oleh penyelenggara televisi asing. Kalau begitu, CNN atau STAR TV yang ditangkap sebagian penduduk Sumatera dengan televisi biasa bukan termasuk peluberan? Itu masalah peluberan. Sebab, mereka tidak merancang program khusus untuk kepentingan Indonesia, tetapi untuk 38 negara di kawasan Asia Pasifik. Di Sumatera itu kasusnya sama dengan masyarakat NTT selatan yang menangkap siaran dari Australia. Kalau ada yang menyiarkan programnya secara khusus ke Indonesia, seperti rencana Emerald Network dan Topaz, pasti kita tolak. Tapi CNN dan STAR TV juga membuat program khusus untuk Asia. Bahkan satelitnya diarahkan ke Asia Tenggara. Ini kan bukan peluberan lagi? Lo, bukan begitu. Itu masih termasuk peluberan. Arah satelit, sekali lagi, tidak bisa kita tolak. Namun, kalau nanti mereka juga membangun jaringan penyiaran di Indonesia, itu baru disebut siaran yang direkayasa. Kalau nanti, misalnya, CNN atau BBC minta izin membangun jaringan siaran di sini, akan kita tolak. Kalau hanya peluberan, mengapa ada perusahaan swasta yang memungut iuran siaran luberan tadi? Ini kan lucu, apa bisa dibenarkan? Untuk peluberan, siapa saja boleh menangkap siaran itu. Tapi kalau sekarang ada perusahaan swasta yang memungut iuran, itu harus diatur. Memungut iuran televisi saja pakai keppres. Saya pikir pihak Parpostel bisa melakukan pendekatan. Baiklah, apa masih perlu larangan siaran asing itu jika mengingat kemajuan teknologi yang tak bisa kita bendung? Ya, karena kita ingin menjaga kedaulatan dan proteksi terhadap siaran televisi dalam negeri. Apalagi siaran televisi itu mempunyai fungsi penyampaian informasi, hiburan yang sehat, dan pendidikan. Di samping itu, untuk menyaring pengaruh buruk dari pihak luar. Bukankah 80% film yang diputar televisi swasta kita juga dari impor? Benar. Namun, ini kan untuk sementara waktu saja. Dalam jangka panjang, mereka juga harus mengacu kepada ketentuan yang berlaku. Kasusnya sama dengan keadaan TVRI pada 1962. Pada waktu itu hampir semua film TVRI impor. Karena menyelenggarakan media eletronik ini tidak semudah media cetak, paling tidak sampai akhir Pelita V mereka sudah bisa siaran seperti TVRI sekarang. Film asingnya hanya tinggal 20%. Jadi, kalau televisi kita sudah maju, proteksi terhadap siaran asing itu akan dibuka? Kita ini dinamis. Peraturan (SK Menpen Nomor 111) itu akan kita sesuaikan dengan kemajuan zaman. Menurut saya, sampai saat ini larangan itu masih sangat relevan. Kenapa kita tidak menangkal saja luberan tersebut, misalnya dengan larangan pemakaian parabola? Itu memang satu-satunya jalan untuk membendung luberan siaran asing. Tapi prinsip Indonesia adalah ikut mengembangkan percaturan informasi dan komunikasi. Jadi, saya cenderung untuk menerima teknologi parabola. Soal bagaimana pemirsa menyaring sendiri luberan itu, ya kita serahkan saja kepada keimanan pemirsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini