Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Top 3 Hukum: Profil 5 Orang di Kasus Harun Masiku yang Dicegah KPK ke Luar Negeri, Inisial T Pengendali Judi Online Indonesia

Pencegahan yang dilakukan KPK masih berkaitan dengan pengejaran Harun Masiku, buron kasus suap yang sudah empat tahun menghilang.

26 Juli 2024 | 07.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Staf Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, Kusnadi, memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta, Rabu, 19 Juni 2024. Dalam pemeriksaan sebelumnya penyidik KPK melakukan penyitaan satu ponsel, buku tabungan dan dua kartu ATM milik Kusnadi dan dua ponsel dan buku agenda DPP PDIP milik Hasto Kristiyanto, dalam penyidikan perkara dugaan suap penetapan anggota DPR RI periode 2019 - 2024 dengan tersangka politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku, yang hingga saat ini dalam pelarian dan menjadi buronan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) KPK. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tiga berita terpopuler kanal hukum pada Jumat pagi ini dimulai dari KPK cegah lima orang ke luar negeri pada kasus Harun Masiku. Empat di antaranya adalah internal PDIP.

Berita terpopuler kedua adalah Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengungkap inisial T sebagai dalang di balik bisnis judi online Indonesia di Kamboja. Benny juga menyebut negara terlalu lama abai dengan membiarkan praktik sindikat penempatan pekerja migran ilegal.

Berita terpopuler ketiga adalah sejumlah fakta kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon pada 2016. Kasus ini kembali menjadi sorotan setelah seorang saksi kunci, Dede mengaku telah memberikan kesaksian palsu pada kasus Vina Cirebon tersebut. Akibat kesaksian palsunya itu, tujuh orang divonis penjara seumur hidup.
 
Berikut 3 berita terpopuler kanal hukum pada Jumat, 26 Juli 2024: 

1. KPK Cegah Lima Orang ke Luar Negeri di Kasus Harun Masiku, Berikut Profilnya

KPK mencegah bepergian ke luar negeri terhadap lima orang dalam kasus Harun Masiku. Pencegahan itu masih berkaitan dengan pengejaran buron kasus suap itu yang sudah empat tahun menghilang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam konferensi persnya pada Selasa, 23 Juli 2024 menyebutkan kelima nama yang dicegah itu berinisial K, SP, YPW, DTI dan DB. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Terhitung sejak 22 Juli 2024, KPK telah mengeluarkan surat keputusan nomor 942 tahun 2024 tentang larangan bepergian ke luar negeri untuk dan atas nama lima orang," kata Tessa Mahardhika kepada wartawan, Selasa, 23 Juli 2024. 

Menurut informasi yang dihimpun Tempo, empat dari lima orang itu adalah internal PDIP, yakni Kusnadi, Simeon Petrus, Yanuar Prawira Wasesa, Donny Tri Istiqomah. Sementara satu lainnya adalah Dona Berisa, istri eks kader PDIP Saeful Bahri. Saeful merupakan terpidana dalam kasus suap Wahyu Setiawan. 

Lantas siapakah orang-orang itu dan apa keterlibatannya sehingga KPK mencegahnya? 

Donny Tri Istiqomah 

Dalam laporan Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020, Donny Tri Istiqomah sejatinya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap ini. Donny terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 8 Januari 2020 bersama Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Feidelina, dan Saeful Bahri yang ketiga sudah divonis bersalah dalam perkara itu. 

Donny merupakan advokat sekaligus kader PDIP yang diduga menjadi perantara suap dari Harun Masiku. Ia disebut-sebut dekat dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang ngotot menjadikan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW). 

Hasto diduga memberikan Rp 400 juta kepada Saeful Bahri lewat Donny Tri Istiqomah untuk diserahkan kepada Wahyu Setiawan sebagai cara memuluskan Harun Masiku melenggang ke Senayan. 

Masih menukil laporan Majalah Tempo, sempat terjadi perselisihan antara pimpinan lembaga antirasuah itu saat Donny dan Hasto akan dijadikan tersangka dalam kasus tersebut.  

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango (kala itu) kemudian menengahi. Menurut mantan hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar itu, Harun memang harus menjadi tersangka, sedangkan Hasto masih jauh. Nawawi juga menganggap Donny adalah pengacara partai yang sedang menjalankan tugasnya sehingga tidak bisa dijerat. Karena itu, KPK hanya menetapkan Wahyu dan Agustiani sebagai penerima suap. Sedangkan Saeful dan Harun dijerat dengan pasal pemberi suap. 

Kusnadi 

Kusnadi merupakan staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Namanya mulai mencuat setelah ia diperiksa tanpa surat pemanggilan oleh KPK pada 10 Juni 2024. 

Beberapa hari sebelum OTT atau pada 5 dan 6 Januari 2020, informasi yang diperoleh Tempo menyebutkan Kusnadi beberapa kali berkomunikasi dengan Harun Masiku. Kusnadi diduga meminta Harun Masiku untuk datang ke salah satu kantor Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Jalan Sutan Sjahrir 12A, Menteng, Jakarta Pusat.  

Setelah dari Sutan Sjahrir 12A, Harun Masiku melancong ke Singapura menggunakan pesawat Garuda pada Senin, 6 Januari 2020. Dia bahkan memesan banyak tiket pesawat untuk perjalanannya menuju Singapura maupun saat akan pulang ke Indonesia. 

Ketika ditanya apakah Kusnadi mengetahui soal jejak-jejak terakhir Harun Masiku di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, sebelum kabur paada 8 Januari 2020 atau ketika operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, Kusnadi mengklaim tidak tahu. "Enggak, enggak tahu," ujar Kusnadi, usai diperiksa KPK pada, Rabu, 19 Juni 2024. 

KPK telah menyita tiga telepon seluler, buku tabungan, kartu debit, sebuah buku hitam milik Hasto, dan uang tunai Rp 130 juta dalam tas Kusnadi. Penyitaan itu dilakukan saat penyidik KPK memeriksa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada 10 Juni 2024.

Selengkapnya klik di sini

Selanjutnya Kepala BP2MI ungkap inisial T yang kendali judi online di Indonesia dari Kamboja...

2. Kepala BP2MI Ungkap Inisial T yang Kendalikan Judi Online di Indonesia dari Kamboja

Selama empat tahun terakhir, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah menangani 2.589 PMI yang tiba di Tanah Air dalam keadaan meninggal, hingga 3.643 pekerja yang sakit, depresi dan hilang ingatan. BP2MI juga menangani kepulangan 110.569 orang buruh migran akibat dideportasi.

Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan yang menimpa para pekerja migran adalah potret yang memilukan. Dia mengatakan negara terlalu lama abai dengan membiarkan praktik sindikat penempatan pekerja migran ilegal. 

"Perdagangan orang adalah bisnis kotor, bisnis haram yang perputaran uangnya sangat fantastis. BP2MI menabuh genderang perang melawan sindikat penempatan ilegal dan tindak pidana perdagangan orang," kata Benny usai mengukuhkan 165 Kawan PMI se-Sumatera Utara, Selasa, 23 Juli 2024.

Ia menyebutkan negara juga memberi stigma stigma sangat buruk kepada tenaga kerja Indonesia bahwa seolah-olah TKI adalah orang-orang yang harus dipandang rendah. "Kami memberi label terhormat dengan menetapkan PMI sebagai pejuang keluarga, pahlawan devisa. Pada 2023, PMI menyumbang Rp 227 triliun, sumbangan terbesar kedua untuk negara,"ucap Benny.

BP2MI dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu bertanya alasan negara tidak mampu menyentuh sindikat penempatan ilegal. Ternyata sindikat ini dilindungi oknum-oknum yang memiliki atribut kekuasaan negara. Di depan presiden, panglima TNI, Kapolri, menteri dan lembaga, Benny menyebut oknum-oknum itu berasal dari TNI, Polri, menteri, lembaga. Bahkan, ia mengakui ada oknum di BP2MI terlibat dalam sindikat penempatan ilegal pekerja migran Indonesia. 

"Kita percaya oknum brengsek dan pengkhianat republik selalu ada di mana-mana, tapi kita yakin di institusi negara, kepolisian, MPR, TNI, kementerian, lembaga dan lainnya, masih banyak orang-orang baik yang memiliki komitmen kepada negara, merah putih dan Republik Indonesia," katanya disambut tepuk tangan.

Kepada anggota Komisi 9 DPR Saleh Partaonan Daulay yang hadir, Benny melaporkan tren baru korban penempatan ilegal. Rata-rata mereka adalah lulusan SMA, sarjana, beberapa kasus malah mereka yang menyandang gelar strata Dua. Dari Sumatera Utara juga tidak sedikit yang menjadi korban TPPO untuk menjadi operator judi online atau kejahatan siber lainnya di Kamboja. 

Ia pun sudah menyampaikan kepada Jokowi, Menkopolhukam, Kapolri, hingga Panglima TNI bahwa sangat mudah menangkap aktor di balik bisnis judi online di Kamboja. "Saya cukup menyebut inisialnya T aja, boleh ditanya kepada Pak Menko. Presiden kaget, Pak Kapolri kaget, cukup hebohlah waktu itu. Orang ini selama Republik ini berdiri, tidak tersentuh hukum," ujar Benny.

Ia pun menegaskan saatnya negara mengambil tindakan tegas dengan menyeret para penjahat itu. "Yang merupakan penjual anak bangsa yang selama ini mengambil keuntungan dari bisnis haram perdagangan manusia," ujar Benny.

Menurut dia, sangat berbahaya jika memilih bekerja secara ilegal, apalagi di luar negeri. Pekerja akan mengalami risiko dideportasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, gaji tidak dibayar karena terikat oleh perjanjian kerja, pemutusan hubungan kerja sepihak karena tidak ada perjanjian, eksploitasi masa kerja sampai 20 tahun. "Sepanjang 2020 sampai Juni 2024, Satgas BP2MI telah melakukan 1.584 kali pencegahan dan menyelamatkan 18.949 calon pekerja nonprosedural," ungkap Benny.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sumatera Utara Ismael P Sinaga berharap Kawan PMI memastikan pekerja migran mendapat informasi yang membuatnya terhindar dari praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang marak terjadi. Sedangkan Saleh Partaonan Daulay mengatakan Sumut menjadi wilayah rawan TPPO karena berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Dia meminta masyarakat aktif memberi informasi kepada Kawan PMI. 

Selanjutnya 5 kejanggalan kasus Vina Cirebon...

 

3. 5 Kejanggalan Kasus Vina Cirebon: Dari Hasil Autopsi hingga Kesaksian Palsu Dede

Kematian Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 silam kembali menjadi sorotan setelah salah satu saksi kunci, Dede mengaku telah memberikan kesaksian palsu pada kasus tersebut. Akibat kesaksian palsunya itu, tujuh orang divonis penjara seumur hidup. Sedangkan satu orang lainnya divonis 8 tahun penjara karena saat ditangkap masih berusia di bawah umur.

Dede mengaku bahwa sejak awal tidak pernah mengetahui peristiwa tersebut atau bahkan mengenal para terpidana. “Tidak kenal nama, tidak kenal muka, tidak kenal, sama sekali tidak kenal," ujar Dede dalam konferensi pers yang dipimpin Otto Hasibuan, dikutip dari YouTube DPN Peradi, Selasa, 23 Juli 2024.

Pengakuan Dede itu semakin menambah daftar kejanggalan dalam pengungkapan kasus Vina Cirebon. Sebelumnya, Investigasi Tempo telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam pengungkapan pembunuhan Vina dan Eky, mulai dari hasil visum, penangkapan para tersangka hingga pengakuan Dede. Berikut adalah daftar kejanggalan-kejanggalan kasus Vina di Cirebon yang telah Tempo rangkum.

1. Kejanggalan Hasil Autopsi

Awalnya, Vina dan Eky yang ditemukan ditemukan tewas di flyover Talun, Desa Kepongpongan, Kabupaten Cirebon, pada 27 Agustus 2016  dianggap sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Namun, Iptu Rudiana yang merupakan ayah Eky mencurigai penyebab kematian yang berbeda.

Berdasarkan putusan disebutkan bahwa Eky ditusuk oleh beberapa pelaku menggunakan senjata tajam. Namun hasil visum pertama dan ekshumasi menyatakan bahwa tidak ada bekas luka akibat benda tajam di tubuh Eky. Rupanya cerita soal luka tusuk itu berawal dari laporan Rudiana yang mengaku melihat luka tusuk di bagian dada depan sebelah kiri anaknya.

Hasil visum itu dibenarkan oleh dokter yang menangani Eky yakni dokter Rahma Tiaranita. Dalam laporannya, Rahma menyebut hanya ada trauma akibat benda tumpul, bukan senjata tajam. “Tidak ditemukan luka akibat tusukan benda tajam,” demikian kesaksian Rahma saat diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 17 Oktober 2016 dan di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Cirebon.

Kejanggalan lainnya adalah adanya indikasi bahwa Vina diperkosa sebelum meninggal berdasarkan penemuan sperma dalam hasil visum ekshumasi. Kondisi ini dianggap aneh karena tubuh Vina sudah dikuburkan selama sepuluh hari. Beberapa ahli menyatakan bahwa sperma hanya dapat bertahan hidup maksimal tiga hari.

2. Prosedur Penangkapan Para Tersangka

Polisi diduga tak menerapkan prosedur yang tepat saat menangkap tersangka pembunuh Eky dan Vina. Berawal ketika polisi mendapat laporan dari Iptu Rudiana yang saat itu menjabat sebagai Kepala Unit Satuan Narkoba Polres Cirebon pada Rabu, 31 Agustus 2016 sekitar pukul 17.00.

Kemudian dalam pemeriksaan sekitar pukul 18.30 WIB, Rudiana menyebutkan bahwa ada 11 nama yang diduga mengeroyok Eky dan Vina, lalu memperkosa Vina. Empat diantaranya buron yaitu Pegi Setiawan alias Perong, Andi, Dani dan Andika. “Saya curiga penyebab kematian anak saya dan Vina bukan kecelakaan tunggal tapi kemungkinan dibunuh,” ujar Rudiana saat pemberkasan.

Kejanggalan dalam proses pemeriksaan mulai terlihat ketika Rudiana dengan jelas menggambarkan peran setiap pelaku. Padahal pemeriksaan para pelaku baru dimulai pada pukul 20.20 WIB. Ternyata, Rudiana dan timnya telah menangkap para pelaku sebelum melaporkan kasus pembunuhan secara resmi.

3. Penangkapan 8 Tersangka Kasus Vina dan Eky

Dua hari setelah kematian Vina dan Eky, Rudiana sempat menyisir kawasan Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Cirebon. Di sana, ia bertemu dengan saksi kunci yakni Aep dan Dede yang mengaku melihat sekelompok pemuda mengejar dan melemparkan batu ke arah Eky yang memboncengkan Vina.

Dengan informasi ini, Rudiana bersama timnya dari Satuan Narkoba Polres Cirebon Kota menangkap delapan pemuda di dekat sekolah tersebut pada 31 Agustus 2016 saat sedang nongkrong. Mereka adalah Rivaldi Aditya Wardana (21), Eko Ramadhani (27), Hadi Saputra (23), Jaya (23), Eka Sandi (24), Sudirman (21), dan Supriyanto (20) yang divonis seumur hidup. Serta Saka Tatal, masih dibawah umur, divonis hukuman 8 tahun penjara 3 bulan penjara.

Namun penangkapan para tersangka tersebut justru dianggap janggal, terutama soal penangkapan Sudirman dan Taka. Kuasa hukum Saka dan Sudirman, Titin Prialianti mengakui kliennya memang ada di antara orang yang berkumpul di sana. Namun saat itu, Saka datang untuk mengantarkan bensin yang diminta pamannya yang menunggu di sana. Sedangkan Sudirman yang berada di rumah, tiba-tiba dipanggil untuk ikut kongko. “Kalau Sudirman enggak dipanggil, kayaknya dia bakal selamat, deh,” ucap Titin.

4. Penangkapan Pegi Setiawan

Delapan tahun berselang, kisah kematian Vina dan Eky delapan tahun lalu diangkat menjadi film. Disebutkan bahwa masih ada tiga orang pembunuh Vina dan Eky yang masih buron. Ketiganya adalah Dani, Andi dan Pegi alias Perong. Desakan dari masyarakat kepada pihak kepolisian Cirebon pun bergulir lantaran ketiga buronan pelaku utama pembunuhan tersebut tak kunjung ditangkap.

Hingga kemudian pada 21 Mei 2024  Polda Jawa Barat mengumumkan telah menangkap Pegi Setiawan. Pegi dituding sebagai satu dari tiga buronan kasus pembunuhan terhadap Vina dan Eky.  Anehnya, setelah penangkapan Pegi, polisi menyatakan bahwa buronan kasus ini hanya satu. Polisi mengumumkan dua nama buron lain yakni Dani dan Andi adalah fiktif alias gaib.

Pada 8 Juli 2024, Pegi dinyatakan bebas. Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung, Eman Sulaeman  menyatakan bahwa penetapan Pegi sebagai tersangka oleh dianggap bermasalah dan tidak sah secara hukum. Dalam putusannya, Eman menyoroti kesalahan prosedur yang dilakukan Polda Jawa Barat dalam penetapan Pegi sebagai tersangka.

Hakim menilai polisi tidak pernah memeriksa Pegi sebelumnya sebagai saksi atau pun calon tersangka. Selain itu, penyidik tak pernah memeriksa Pegi atau pun memberikan surat panggilan kepada Pegi dalam delapan tahun terakhir.

5. Kesaksian Palsu Dede

Teranyar, Dede yang merupakan saksi kunci kasus Vina mengaku telah memberikan kesaksian palsu. Dede mengaku disuruh oleh saksi kunci lain yang bernama Aep dan juga Iptu Rudiana. Kala itu, dia berada dalam kondisi tertekan dan ketakutan.

"Nah, pada saat itu kan saya rakyat kecil, Pak, saya nggak ngerti hukum. Sekolah pun saya hanya SMP, saya merasa takut ketika sudah di dalam, Pak, saya bisa apa di situ, Pak?" imbuhnya.

Dia juga menekankan tidak menerima upah atau diiming-imingi sesuatu. Dia melakukan hal tersebut karena merasa takut karena berada di dalam Polres dan juga berhadapan dengan Rudiana yang merupakan seorang polisi.

“Apa karena Pak Rudi polisi?" tanya Otto. "Nah iya bisa jadi Pak. Iya memang karena polisi, saya takut," jawab Dede.

Atas perbuatannya, pengacara 7 terpidana pembunuhan Vina dan Eky melaporkan Aep dan Dede atas dugaan kesaksian palsu ke Bareskrim Polri.  “Dari kesaksian Aep inilah yang membuat mereka masuk penjara, dan kesaksiannya apakah benar atau palsu,” kata perwakilan Peradi, Jutek Bongso, saat ditemui di Mabes Polri, Rabu, 10 Juli 2024.

Pilihan Editor: Polisi Periksa Saksi dan CCTV, Mahasiswa Yogya Tewas Kecelakaan Diduga Hindari Orang Bawa Senjata Tajam

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus