TIDAK ada yang lebih keji daripada kekerasan politik. Ini pendapat Dr. Barbara Chester, seorang psikiater di Amerika Serikat. "Bahkan penyiksaan istri oleh suami, perkosaan terhadap anak kandung, dan kekejaman pada anak-anak, yang semuanya tergolong kekerasan sangat berat, masih belum apa-apa dibandingkan kekejaman politik," demikianlah kesimpulan Chester. Ada kesan ia mendramatisasi. Apalagi kalau mengingat bagaimana getolnya para cendekiawan di sana memperjuangkan hak asasi, sementara berbagai kekejaman yang tidak masuk akal -- terutama kekejaman fisik -- justru terjadi di AS. Aniaya terhadap anak, perkosaan gila-gilaan (ingat, film The Accused), atau pembantaian yang dilakukan para mafioso, hanya bisa ditemukan di benua bebas itu. Kalau dikatakan kekejaman politik lebih dahsyat, apakah ini bukan cara lain untuk menutup-nutupi aib sendiri? Ternyata, Chester punya setumpuk alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ia aktif dalam sebuah grup psikoterapi yang khusus mendalami kekerasan politik. Di AS, terdapat 10 grup psikoterapi semacam itu, dan akhir Mei lalu mereka bertemu dalam sebuah seminar nasional di Minneapolis. Penyelenggara seminar adalah Asosiasi untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan AS bersama Pusat Rehabilitasi Korban Kekerasan Minneapolis. Seminar itu membahas nasib sejuta pengungsi dan pelarian politik, yang kini mendapat suaka di AS. Sebagian besar lari, untuk menghindari perlakuan kejam dari rezim yang berkuasa. Sebagian besar didera trauma kejiwaan. Mereka berasal dari Asia Tenggara, khususnya Kamboja dan Vietnam, berbagai negara Timur Tengah, Etiopia, dan sebagian besar negara Amerika Latin. Sekitar 100.000 atau 10% kini sedang menjalani terapi di perbagai rumah sakit jiwa AS. "Kami mengalami kesulitan besar menangani mereka," kata Douglas Johnson, Direktur Pusat Rehabilitasi Korban Kekerasan Minneapolis. Menurut psikiater ini, belum ada metode terapi yang bisa diterapkan untuk menyembuhkan korban kekerasan politik. "Karena itu, masalah kejiwaan jenis ini secepatnya harus diteliti agar metode terapinya bisa digariskan." Para psikiater itu sulit memahami bagaimana politik yang represif bisa melahirkan kekejian. "Sulit membayangkan, di masa kini masih terjadi perlakuan yang tidak manusiawi semacam itu," tulis Dr. Joseph Westermeyer, ahli psikiatri dari University of Minnesota, dalam jurnal Hospital and Community Psychiatry, Maret lalu. Menurut Westermeyer, akibat kekerasan ini cuma bisa disamakan dengan akibat kekejaman Perang Dunia II. Misalnya korban kamp konsentrasi. Memang sekilas, akibat kekerasaan politik hampir mirip dengan akibat kekerasan lain. "Manifestasi psikiatrisnya sama saja, depresi, ketegangan, dan rasa takut," kata Barbara Chester. "Tapi, depresi yang dialami korban kekejaman politik disertai kepanikan yang seperti tidak akan pernah berakhir." Misalnya ketika mengalami mimpi buruk. "Saya terkejut," kata Chester. "Kepanikan itu berkelanjutan, padahal mereka sudah terbangun dari tidurnya. Malah selagi sadar, justru pengalaman buruk itu seolah-olah terulang. Kepanikan inilah yang mempersulit psikiater untuk menyembuhkan mereka. Sesuai dengan metode baku, terapi mengatasi trauma kejiwaan dilakukan dengan menggali kembali pengalaman buruk yang mengakibatkan trauma itu. Pada korban kekejian politik, panik dan ketegangan timbul kembali secara intensif ketika mereka mengingat-ingat pengalaman pahit yang sudah lama lewat. "Karena itu, para korban cenderung tidak mau bicara sekalipun untuk kesembuhan," kata Chester. Menurut analisanya, para korban pernah berusaha keras melupakan semua pengalaman teramat pahit itu, karena inilah satu-satunya mekanisme kejiwaan yang membuat mereka bisa bertahan. "Kita menduga kekejaman politik itu cuma kekajaman fisik," kata Chester. "Misalnya pemukulan atau hukuman kurungan, yang tidak berbeda dari hukuman atas pelaku kriminal." Namun, ternyata, lebih berat dari itu. Siksaan yang secara sistematis dilakukan oleh berbagai rezim biasanya berupa aniaya yang disertai penekanan secara psikologis. Siksaan fisik justru tidak berlebihan, bahkan tidak usah berat. Namun, dengan adanya siksaan jiwa, kekejaman itu benar-benar melewati batas. "Misalnya secara sengaja membiarkan orang-orang dianiaya di depan keluarga dekatnya. Seorang ayah, umpamanya, disiksa di depan istri dan anak anaknya," kata Chester. Maka, palu godam kekejaman itu meremukkan secara lahir dan batin. Di samping itu, Chester menemukan bahwa para pasiennya digayuti rasa bersalah yang mendalam. Dia menuturkan pengalaman seorang pemuda Etiopia yang disiksa karena merahasiakan nama kawan-kawannya yang ikut memberontak. Karena tak tahan, pemuda itu akhirnya bicara. Namun, urusannya tidak selesai sampai di situ. Ia diharuskan melihat kawan-kawannya disiksa, sebelum kepalanya sendiri dibenamkan ke dalam air, kakinya diikat, dan dihajar oleh enam tentara. Pemuda itu akhirnya selamat, sementara semua kawannya tewas. "Saya menyesal, saya pikir saya lebih baik mati saja," kata pasien itu seperti ditirukan Chester. Jiwanya kemudian terguncang hebat. Selain sering panik, ia juga kehilangan kepercayaan pada siapa pun. Dan diburu rasa bersalah. Politik yang represif telah menggenjot orang-orang yang tertindas untuk bersikap mulia. Sebuah hasil angket menunjukkan bagaimana mereka pertama-tama fanatik membela keadilan dan kebenaran. Baru sesudah itu, mereka fanatik membela kepentingan masyarakat dan, terakhir, kepentingan keluarga. Kepentingan diri sendiri hampir tidak ada. Ketiga misi itulah yang telah memotivasi masyarakat untuk menentang pemerintah. Dan mereka jadi militan. Rezim yang paling berkuasa pun harus bersikap sangat kejam untuk melumat fanatisme yang menggumpal itu. Belum tentu mereka berhasil. Kalaupun akhirnya kekejaman itu menang, maka penguasa tidak memperoleh apa-apa, kecuali manusia yang fisiknya hancur dan jiwanya memar. Dan par psikiater hanya dapat mengatakan, jiwa yang memar itu sulit disembuhkan.Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini