Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konsekuensi rezim devisa bebas

Konsekuensi rezim devisa bebas: medan keseimbangan arus barang & arus lalu lintas pembayaran internasional medan keseimbangan arus barang & arus uang secara domestik atau keseimbangan riil & finansial.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA setiap forum internasional, resmi ataupun tidak, hal yang paling menarik perhatian pada Indonesia adalah berlangsungnya rezim devisa yang 100% bebas. Bila Anda bepergian ke AS, Anda harus mengisi formulir imigrasi dan melapor kalau membawa lebih dari 10.000 dolar AS. Di Indonesia, setiap pemilik modal warga negara Indonesia dapat menanam modal di mana saja di luar negeri, tanpa harus meminta izin dan dalam jumlah sebesar apa pun. Begitu juga kalau orang bepergian ke luar negeri dan ke Indonesia, asing maupun warga Indonesia sendiri, pemerintah tidak memusingkan mereka dengan devisa yang mereka bawa. Bebasnya lalu lintas pembayaran internasional ini jarang kita kaji konsekuensi, manfaat, dan risikonya. Di saat semakin lancar dan cepatnya lalu lintas pembayaran internasional berputar, agak jarang ada diskusi yang membahas implikasi makro ekonomis dari rezim devisa bebas. Pada umumnya diketahui bahwa rezim devisa bebas bersama-sama kelancaran pembayaran bunga (interest) dan cicilan (amortization) utang memberi jaminan terbukanya Indonesia untuk memperoleh pinjaman pada pasar uang internasional (International Secondary Money Market). Dengan begitu, rezim devisa bebas menjadi "senjata" yang memungkinkan Indonesia memperoleh pinjaman atau mengeluarkan surat utang yang dapat "diuangkan" dengan segera. Situasi demikian praktis menjadi asuransi bagi Neraca Pembayaran Indonesia, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti jatuhnya harga minyak bumi, jatuhnya harga komoditi ekspor primer lainnya, atau bila Neraca Transaksi Berjalan kita mengalami defisit yang amat berat. Rezim devisa bebas mengandung konsekuensi setidak-tidaknya pada tiga medan ekonomi, yaitu: 1. Medan keseimbangan arus barang dan arus lalu lintas pembayaran internasional. 2. Medan keseimbangan arus barang dan arus uang secara domestik atau keseimbangan antara sektor riil dan sektor finansial. 3. Proses deregulasi ekonomi secara keseluruhan. Pada medan pertama, masalah yang timbul adalah adanya di satu pihak kebebasan yang praktis penuh dalam lalu lintas pembayaran internasional, dengan di pihak lain pembatasan di sektor perdagangan luar negeri. Ketetapan Gubernur Bank Sentral di bulan Maret dan April praktis meniadakan pembatasan bank-bank domestik untuk memperoleh pinjaman off-shore dari luar negeri. Penetapan posisi devisa dalam jumlah tertentu bagi semua bank adalah kebijaksanaan yang harus dilaksanakan, karena kalau tanpa itu amat boleh jadi dana rupiah yang tersedia semakin terbatas. Dengan Pakto 27 dan Peraturan Penyempurnaan Maret dan April 1989, sektor perbankan semakin di depan dalam proses deregulasi. Tetapi gejala restriksi di sektor perdagangan tidak kunjung berhenti. Pembatasan berbagai ekspor primer demi peningkatan value added hanya menghasilkan US$ 1 untuk setiap pengorbanan rupiah di atas nilai tukar rupiah. Setiap US$ 1 dari ekspor mebel mengorbankan lebih dari Rp 4.000 dihitung dari hilangnya ekspor rotan mentah dan setengah diproses. Proses regimentasi di sektor ekspor dan tingginya tarif di sektor impor jauh dari adanya rezim perdagangan yang bebas. Djisman Simanjuntak (BIES, April 1989) menghitung bahwa dampak Paket 21 November 1988 pada PT Krakatau Steel hanya meniadakan 15 jenis komoditi dengan nilai US$ 322.000 saja yang bebas dari Barier Non-Tarif. Di pihak lain Djisman Simanjuntak mengukur, masih 15 jenis komoditi dengan nilai US$ 318.704 juta yang masih diberlakukan Barier Non-Tarifnya (NTB). Dengan perkataan lain, dampak Paknov 21 pada upaya efisiensi PT Krakatau Steel amat kecil. Ketidakseimbangan Neraca Perdagangan dengan Neraca Modal dan Neraca Jasa-Jasa tidak bisa berlangsung secara terus-menerus. Pada suatu ketika, bila tidak ada perubahan kebijaksanaan, Indonesia harus bersiap-siap menghadapi kemacetan arus barang internasional dan arus lalu lintas internasionalnya. Inequilibrium dalam ekonomi tidak pernah bersifat permanen dan stabil. Persoalannya bukan membuat rezim devisa yang bebas menjadi restriktif, tetapi bagaimana membuat rezim perdaganan menjadi bebas. Implementasi Ronde Uruguay sebagai hasil konperensi GATT hendaknya dilaksanakan bila Indonesia tetap ingin agar komoditi ekspornya tidak terganggu di pasaran dunia. Kini kita masuk ke medan kedua. Di dalam teori Keynes, keseimbangan umum (general equilibrium) terjadi pada titik di mana arus uang dan arus barang mencapai pertemuannya. Dalam diagram ini dikenal sebagai IS = LM curve dari teori Keynes. Kini, dengan semakin menguatnya pemikiran neo-klasik dan pasar bebas, semakin banyak orang mengkritik teori Keynes. Tetapi pandangan perlunya keseimbangan antara arus uang dan arus barang tidak bisa dikatakan sebagai hal yang kedaluwarsa. Ini semata-mata karena ekonomi pada akhirnya juga transformasi dari logika economic man. Bila orang menganggap aset terbesar adalah aset finansial, maka insentif bagi investasi fisik menjadi semakin berkurang. Instink spekulasi akibatnya menjadi semakin in, dan kerja nyata akumulasi fisik menjadi out. Dalam ekonomi modern, Crash October I987 adalah contoh nyata dari terlalu dititikberatkannya kegiatan finansial ketimbang kegiatan ekonomi nyata. Bila investasi fisik tidak dapat dibiayai dengan tabungan sendiri, dan bila ekspor tidak sanggup membiayai kebutuhan impor barang modal, maka godaan untuk bergerak di bidang pasar modal dan investasi finansial internasional menjadi semakin nyata. Pelajaran bagi kita adalah jangan sampai tiba-tiba kita semua kaget ketika terjadi capital out-flow, investasi fisik terhenti, dan beban utang semakin membengkak. Ketidakseimbangan antara arus barang dan arus uang secara domestik telah lama kita ketahui. Dan mekanisme koreksi, dan di sini kita berbicara ke medan ketiga, yaitu deregulasi kembali, tampaknya berlangsung secara tersendat-sendat. Spurt deregulasi (Pakto, Paknov, Pakdes II, dan Penyempurnaan Pakto) semakin menonjolkan deregulasi yang titik beratnya di sektor finansial. Bangkitnya Pasar Modal Indonesia adalah salah satu buktinya. Tetapi, dalam sektor riil, khususnya di sektor perdagangan dan industri, deregulasi masih tersendat-sendat. Keppres No. 21 Tahun 1989 dengan "Daftar Negatif Investasi" masih lebih kuat "bau" regulasinya dari deregulasi yang sebenarnya. Proses deregulasi yang dibutuhkan adalah proses yang lebih substansial. Bila tidak, maka bayangan capital flight, "akumulasi fisik" yang terhenti, dan spekulasi di sektor finansial akan terus muncul dan mewarnai iklim usaha kita.Dr. Sjahrir adalah Visiting Scholar pada Harvard Institute for International Development, Universitas Harvard, AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum