Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seratusan orang menyesaki halaman rumah dinas Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad sejak pagi, Kamis pekan lalu. Sebagian besar perempuan berumur di atas 40. Di dada kiri kaus merah mereka terpampang lambang PDI Perjuangan, sementara di punggung berderet tulisan putih: "Barisan Pendukung Mochtar Muhammad".
Setiap kali mobil atau rombongan tak dikenal datang, ibu-ibu itu sigap membuat pagar hidup di pintu masuk rumah. Para lelaki bergiliran berorasi. "Kami siap membela Pak Mochtar, apa pun risikonya," teriak seorang lelaki. Ibu-ibu pun menjawab, "Setujuuu." Jika tak ada rombongan orang asing gemuruh mereda.
Sehari sebelumnya, tersiar kabar bahwa tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi akan menjemput paksa Mochtar untuk dijebloskan ke penjara. Pada 9 Maret lalu, Komisi memang melayangkan surat panggilan agar Mochtar melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang memvonis dia bersalah. Tapi, hingga sore hari itu, tim penjemput Mochtar tak kunjung tiba. Satu per satu barisan pendukung Mochtar bubar.
Perjalanan kasus suap dan korupsi yang membelit Mochtar memasuki titik balik pada 7 Maret 2012. Mahkamah Agung menganulir putusan bebas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung yang memvonis bebas Mochtar pada Oktober 2011. Majelis hakim kasasi menghukum Mochtar enam tahun penjara, denda Rp 300 juta, dan ganti kerugian negara Rp 639 juta.
Menurut Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko, Mochtar bersalah dalam empat kasus pidana yang dituduhkan jaksa. "Dia terbukti menyuap dan menerima suap," kata Djoko yang memimpin majelis.
Mochtar, misalnya, terbukti menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat. Mochtar meminta pimpinan satuan kerja di Pemerintah Kota Bekasi menyisihkan dua persen uang proyek sampai terkumpul Rp 4,25 miliar. Atas perintah Mochtar, Rp 4 miliar diberikan kepada anggota DPRD Jawa Barat, agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi segera disetujui.
Menurut Mahkamah, Mochtar juga terbukti menerima upeti proyek di Kota Bekasi. Misalnya proyek di Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Mochtar memakai Rp 1 miliar upeti itu untuk membayar utangnya ke sebuah bank.
Sejak 2008, lebih dari 250 vonis bebas kasus korupsi dianulir Mahkamah Agung. Berdekatan dengan vonis Mochtar, Mahkamah juga menghukum Bupati Subang Eep Hidayat dan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin.
Eep terlibat kasus korupsi upah pungut pajak bumi dan bangunan senilai Rp 14 miliar di Kabupaten Subang. Pada Agustus 2011, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas Eep. Alasan hakim, antara lain, tak ada kerugian negara berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Namun, pada Februari 2012, Mahkamah menghukum Eep lima tahun penjara. Majelis kasasi pimpinan Artidjo Alkostar juga mewajibkan Eep membayar denda Rp 200 juta dan mengganti kerugian negara Rp 2,5 miliar.
Adapun Agusrin terlibat korupsi bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Agusrin memerintahkan pembukaan rekening baru di luar rekening resmi kas daerah untuk menampung uang bagi hasil dari pemerintah pusat sebesar Rp 21,3 miliar.
Pada Mei 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis bebas Agusrin. Tapi, Januari lalu, hakim kasasi yang juga dipimpin Artidjo menghukum Agusrin bersalah karena memperkaya diri dengan merugikan keuangan negara.
Seperti Mochtar, Eep dan Agusrin tak tinggal diam. Mereka melawan vonis bersalah Mahkamah. Mereka tak hanya mengandalkan upaya peninjauan kembali. Jurus-jurus tak lazim pun mereka keluarkan. Eep, misalnya, melawan dengan menyerukan mogok bagi pegawai di Kabupaten Subang, berunjuk rasa ke kantor Mahkamah Agung, sampai mengajak hakim kasasi "berduel".
Agusrin bahkan melawan ketika jaksa mengajukan permohonan kasasi atas vonis bebas dia. Melalui penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, Agusrin mengajukan uji tafsir Pasal 67 dan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ke Mahkamah Konstitusi. Menurut kubu Agusrin, lantaran dia divonis bebas, jaksa tak boleh meminta kasasi. Tapi, pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Agusrin itu.
Menurut Artidjo Alkostar, hakim agung yang banyak menganulir vonis bebas koruptor, korupsi merupakan kejahatan dengan kerugian negara luar biasa. Hakim tidak boleh menyisakan sedikit pun pemakluman atas korupsi. "Harus zero tolerance," ujarnya. Sikap seperti itu, kata Artidjo, belum merata di kalangan hakim.
Di luar urusan sikap, menurut Artidjo, banyak hakim yang tidak cermat menilai fakta di persidangan. Artidjo mengibaratkan putusan hakim sebagai anyaman. Pertimbangan hukum harus lurus dan saling menguatkan dari ujung ke ujung. Kalau di tengahnya ada bengkok atau tubrukan, putusan pasti tidak logis. "Itu yang kami luruskan," kata Artidjo.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menyambut baik keberanian hakim agung mengoreksi vonis bebas koruptor. Masalahnya, kata Emerson, pekerjaan belum tuntas sampai keluar vonis. Lebih penting lagi, putusan kasasi harus bisa dilaksanakan.
Urusan eksekusi ini memang jadi persoalan tersendiri. Eep dan Agusrin, yang divonis lebih dulu daripada Mochtar, hingga kini belum diseret ke penjara. Ganjalannya, antara lain, jaksa tak mau mengeksekusi sebelum menerima salinan lengkap putusan kasasi. Celakanya, tak ada kepastian kapan salinan itu sampai ke tangan jaksa dan terpidana. "Itu jadi peluang bermain bagi mereka yang nakal," ujar Emerson.
Kuasa hukum Mochtar, Sirra Prayuna, mengatakan kliennya tidak mau dieksekusi sampai menerima salinan putusan kasasi dari panitera Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Kalau sudah terima, kami akan menyerahkan diri," kata Sirra.Tapi Mahkamah Agung meminta keterlambatan pengiriman salinan putusan lengkap tidak dijadikan dalih menunda eksekusi. Jaksa bisa memenjarakan koruptor berdasarkan petikan putusan atau ekstravonis kasasi. Prosedur sederhana itu telah disepakati Mahkamah dan Kejaksaan Agung sejak 2004. Sekarang, "Berani enggak jaksa daerah mengeksekusi gubernur?" kata Djoko.
Jajang Jamaludin, Hamluddin, Rusman Paraqbueq
Lolos di Daerah, Kena di Mahkamah
Lebih dari 700 pejabat dan politikus yang menjadi terdakwa kasus korupsi divonis bebas oleh hakim di daerah sejak 2008. Tapi, di Mahkamah Agung, sekitar 250 dari mereka divonis bersalah.
Vonis Bebas dan Kasasi Jaksa
2008
2009
2010
2011
Yang Kena Batunya
E.C.W. Neloe, Direktur Utama Bank Mandiri
Sumita Tobing, mantan Direktur Utama TVRI
Koesparwoto, mantan Kepala Divisi Regional VII PT Telkom
Nurdin Halid, mantan Ketua Umum PSSI
Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu
Mochtar Muhammad, Wali Kota Bekasi
Eep Hidayat, Bupati Subang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo