Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keringat seperti tak habis-habisnya keluar dari wajah Rahmat Sorau. Sembari berkali-kali menyeka keringat di wajahnya, pandangan pria 30 tahun ini tetap tertuju ke kursi jaksa penuntut umum Djaenuddin. Sesekali Rahmat mencondongkan tubuhnya ke depan untuk lebih menyimak kalimat yang diucapkan jaksa. Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, ini seperti tak ingin ada satu patah pun kata-kata jaksa yang lolos dari telinganya.
Rabu pekan lalu, jaksa Djaenuddin membacakan dakwaannya terhadap Rahmat. Jaksa mendakwa bapak satu anak ini telah melakukan korupsi dana Pemilihan Umum 2004. Rahmat, kata Djaenuddin, telah menilap dana pemilu Rp 108 juta yang diambil dari biaya operasional anggota panitia pemungutan suara (PPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK), dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) Konawe yang jumlahnya sekitar 1.800 orang.
Selain itu, kata Djaenuddin, Rahmat juga memotong uang honor sekitar 1.000 PPS masing-masing Rp 25 ribu dengan alasan untuk asuransi. "Padahal, pemotongan itu sudah ditolak anggota PPS," kata Djaenuddin. Ia menjerat Rahmat dengan UU Nomor 20/2000 tentang tindak pidana korupsi. "Itu semua jelas pelanggaran hukum," kata Djaenuddin. Rahmat sendiri sejak dua bulan lalu mendekam di tahanan Punggoloka, Kendari.
Rahmat menampik tuduhan yang dilemparkan kepadanya. Menurut Rahmat, semua pembelian yang dilakukan KPUD ditentukan oleh sebuah tim. Rahmat mengaku memang memotong dana operasional PPS untuk uang asuransi, tapi, katanya, itu dilakukannya setelah melakukan pertemuan dengan seluruh anggota PPS pada 18 kecamatan di Konawe. "Itu atas persetujuan seluruh anggota PPS," katanya.
Terungkapnya kasus korupsi di tubuh KPUD Konawe ini tak lepas dari laporan KPUD Watch Sulawesi Tenggara. Beberapa saat setelah pemilu usai, lembaga ini segera melakukan investigasi penggunaan dana pemilu di provinsi tersebut. "Dari hasil investigasi kami, total anggaran pemilu legislatif dan presiden yang dikorupsi KPUD se-Sulawesi Tenggara sekitar Rp 516 juta," kata Taslim Suri, Koordinator KPUD Watch Sulawesi Tenggara. Jumlah itu pun, kata Taslim, belum final. "Bisa jadi jauh lebih besar," katanya.
Salah satu yang diteliti Taslim adalah pembelian bantalan dan paku penusuk kertas suara. Untuk pembelian perangkat "ecek-ecek" ini, KPUD Watch menemukan indikasi korupsi pada hampir semua KPUD. Rata-rata, kata Taslim, setiap KPUD membeli bantalan tersebut Rp 35 ribu per lembar. Padahal, di pasar, harga itu per lembarnya paling banter Rp 17 ribu. "Itu harga satuan. Kalau membeli dalam jumlah banyak, harganya bisa turun hingga Rp 15 ribu," ujar Taslim.
Yang mengejutkan adalah pembelian paku penusuk kertas suara yang panjangnya tak lebih dari 10 sentimeter. Hampir semua KPUD membeli paku itu dengan cara per batang. "Mereka membeli satu batang Rp 6.000, padahal satu kilogram paku tersebut harganya Rp 14 ribu dan isinya sekitar 50 batang paku," kata Laode Udin, Koordinator Program dan Data KPUD Watch Sulawesi Tenggara.
Dengan pembelian model ini, tak heran jika dana pembelian "paku coblos" dan bantalannya itu melambung. Di Kabupaten Muna, misalnya, KPUD setempat, kata Laode, menghabiskan "uang paku coblos " sekitar Rp 17 juta untuk 2.800 bilik pencoblosan. "Dari korupsi pembelian bantalan dan paku coblos seluruh KPUD Sulawesi Tenggara, negara sudah dirugikan ratusan juta rupiah," kata Laode.
Selain melakukan mark up harga suatu barang, nyaris semua KPUD melakukan berbagai macam potongan dana operasional PPK dan PPS. Selain untuk asuransi, misalnya, KPUD Konawe juga masih memotong lagi honor setiap anggota PPS Rp 25 ribu untuk uang pin. "Anggota PPK dan PPS tak berkutik karena dana tersebut langsung dipotong dari dana operasional mereka," kata Laode.
KPUD Watch juga menemukan hampir semua KPUD se-Sulawesi Tenggara membeli sejumlah peralatan yang tak ada hubungannya langsung dengan pemilu. Barang-barang itu seperti karpet, AC, dan beraneka jenis kursi. "Kami menduga pembelian semua barang-barang itu sudah di-mark up," kata Taslim. Menurut dia, pihaknya menghitung pembelian benda-benda seperti ini telah "memakan" uang negara sekitar Rp 4, 7 miliar.
Bukan hanya KPUD Konawe yang berurusan dengan aparat penegak hukum. Kini sejumlah pengurus KPUD di berbagai daerah pun sedang dibelit masalah yang sama, ditengarai menyelewengkan dana pemilu. Ini menimpa KPUD Kabupaten Lumajang, KPUD Lampung, dan KPUD Jakarta.
Ketua KPUD Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Misbahul Munir Anshari, misalnya, pekan-pekan ini juga akan diajukan ke pengadilan. Misbahul dituduh mengkorupsi dana pemilu sekitar Rp 200 juta. "Semua uang itu digunakan untuk kepentingan pribadinya," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Lumajang, M. Suhardy.
Menurut Suhardy, Misbahul telah menilap dana penyewaan kendaraan, dana sosialisasi pemilu, serta dana pengadaan bantalan dan paku penusuk suara. Untuk penyewaan kendaraan, misalnya, setelah meneliti bukti perjanjian sewa-menyewa, kejaksaan menemukan penyelewengan yang dilakukan Misbahul Rp 134 juta. "Dia membengkakkan harga lima mobil yang disewa KPUD Lumajang," kata Suhardy.
Misbahul sendiri menolak dirinya dikatakan melakukan korupsi. Menurut dia, semua yang dilakukannya telah melewati prosedur dan untuk kepentingan kantor. "Saya tidak melakukan korupsi apa pun. Semua akan saya buktikan nanti di pengadilan," katanya. Seperti Ketua KPUD Kabupaten Konawe, Misbahul juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi yang pelakunya, jika terbukti korupsi, bisa dihukum hingga 20 tahun penjara.
Di Jakarta, dugaan penyelewengan dana pemilu oleh KPU DKI Jakarta sedang gencar dibahas Komisi A DPRD. Komisi yang membidangi pembangunan daerah ini menengarai KPU Jakarta telah menyelewengkan dana pemilu sedikitnya Rp 110 miliar. Penyelewengan itu, antara lain, meliputi dana pengadaan rompi, tiang bendera, hingga biaya penyewaan kantor KPUD yang dinilai tak wajar. "Kami akan melaporkan penyimpangan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Ketua DPRD DKI Ade Surapriatna.
Merebaknya dugaan korupsi di KPUD seperti melengkapi kisah skandal korupsi yang kini terkuak di tubuh KPU Pusat, "induk" KPUD. Karena itulah, untuk menyelesaikan korupsi di KPUD ini, sejumlah organisasi mendesak BPK turun tangan. "Saya yakin jika BPK yang mengaudit, jumlah korupsi yang ditemukan akan lebih besar dari yang kami temukan," kata Taslim. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas mengakui pihaknya sudah menerima dokumen penyelewengan pada sejumlah KPUD. "KPK tidak akan tinggal diam terhadap kasus-kasus ini seperti ini," katanya.
L.R. Baskoro, Dedy Kurniawan (Kendari), Mahbud Djunaidy (Lumajang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo