Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAYAN Gendo Suardana mendadak sontak berdiri. Wajah mahasiswa Universitas Udayana itu terlihat kecewa. Sejurus kemudian, setengah berlari dia meninggalkan ruang sidang dan menemui rekan-rekannya yang bergerombol di luar Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Ketua majelis hakim I Made Sudia sempat terpana. Ia lalu berteriak lantang, "Petugas, amankan terdakwa!" Gendo, sang aktivis, digiring kembali ke ruang sidang pidana yang berlangsung Senin pekan lalu itu.
Gendo, 29 tahun, pantas kecewa. Keinginannya untuk mendatangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kesampaian. Penetapan hakim Pengadilan Negeri Denpasar sepekan sebelumnya yang setuju menghadirkan sang Presiden dimentahkan Pengadilan Tinggi. Padahal, kehadiran Yudhoyono sangat penting bagi Gendo yang tengah didakwa perkara sensitif: menghina presiden.
Kejadiannya berawal dari aksi demonstrasi. Gendo dan kawan-kawan unjuk rasa menentang kenaikan bahan bakar minyak di depan gedung DPRD Bali, akhir Desember tahun lalu. Saat itu, Gendo membawa poster Presiden Yudhoyono yang wajahnya dicoreti bak drakula. Poster itu kemudian dibakar para demonstran. Aksi inilah yang menyeret Gendo ke meja hijau. Ia didakwa menghina kepala negara dan simbol-simbol negara. Jaksa menjerat dengan Pasal 134 KUHP juncto Pasal 136 bis KUHP.
Gendo mencoba jurus penangkis. Saat sidang April lalu, ia berpesan pada pengacaranya, Agus Samijaya, agar meminta hakim menghadirkan Presiden. Menurut Samijaya, saksi korban perlu hadir untuk membuktikan ada tidaknya unsur penghinaan kepada Presiden. "Jangan sampai kata penghinaan hanya asumsi jaksa, sedangkan Presiden tidak mempermasalahkannya," kata Samijaya. Hakim ternyata mengabulkan permintaan ini.
Tapi penetapan hakim ini ditolak jaksa Putu Suparta Jaya. Ia lalu melakukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Hakim tunggal Pengadilan Tinggi I Made Lingga belakangan memutuskan bahwa penetapan hakim I Made Sudia tadi tak mutlak dilaksanakan. Dengan kata lain, Presiden Yudhoyono boleh tetap sibuk bekerja di Istana Negara, Jakarta. Ia tak usah repot-repot datang memberi kesaksian di persidangan Denpasar.
Upaya mendatangkan presiden menuai debat. Menurut pakar pidana Andi Hamzah, tak ada keharusan menghadirkan presiden sebagai saksi korban dalam kasus penghinaan kepala negara. "Karena korbannya bukan Susilo Bambang Yudhoyono, tapi presiden," kata Andi. Jaksa, bagi Andi, sudah mewakili institusi negara. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Gde Swardana, juga menyatakan tak lazim jika presiden hadir dalam persidangan. "Apalagi presiden itu sangat sibuk."
Taktik menghadirkan presiden sudah sering terjadi. Dalam kasus-kasus dengan dakwaan melanggar "pasal-pasal penghinaan presiden", terdakwa sering meminta kehadiran presiden untuk jadi saksi korban di persidangan. "Tapi selalu ditolak," kata Gatot, pengacara Monang Johannes Tambunan, aktivis mahasiswa yang Senin pekan lalu divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia, lagi-lagi, didakwa menghina presiden.
Para terdakwa dan pengacara tak putus asa. Mereka juga menggugat penggunaan Pasal 134 dan 136 KUHP. Pasal-pasal ini, kata Samijaya, telah memakan banyak korban aktivis demokrasi. "Ini pasal-pasal warisan kolonial Belanda," kata Samijaya, setengah berteriak. Bersama pasal penyebaran rasa permusuhan terhadap penguasa, pasal ini biasa dijuluki hatzaai artikelen atau pasal karet.
Pemuda Soekarno pernah juga jadi korban pasal karet ini. Pemerintah Belanda, pada 1930, pernah mengadili anak muda yang kemudian menjadi Bapak Bangsa ini, karena dianggap menyebarkan "kebencian terhadap pemerintah Belanda". Mohammad Hatta juga ketiban sial. Saat di Belanda, pada 1927, ia pernah diadili dengan tuduhan yang sama. Bedanya, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun, Hatta bebas.
Pasal-pasal hukum warisan kolonial juga ramai dikritik. Mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum, Romli Atmasasmita, menilai penggunaan pasal-pasal ini sebagai tindakan berlebihan. "Di negara demokrasi, pasal penghinaan terhadap presiden itu tidak ada," katanya. Perbuatan yang dianggap menghina bisa saja digugat pencemaran nama baik. Pendek kata, "Saya juga tak setuju pasal-pasal itu masuk dalam rancangan undang-undang KUHP yang baru."
Tapi banyak pula yang setuju. Pakar hukum pidana Andi Hamzah justru oke-oke saja ihwal masih dipergunakannya "pasal penghinaan presiden". Menurut Andi, di mana-mana selalu ada pasal yang menjaga kehormatan kepala negara dan simbol negara. Tak terkecuali di negara demokratis seperti Indonesia. "Di Belanda, mengatakan ’dandanan ratu itu norak’ saja sudah tindak pidana," kata dia.
Pasal-pasal ini sebenarnya pernah "mati suri" setelah Soeharto jatuh. Tapi, belakangan, sejak Megawati berkuasa, dihidupkan lagi, lalu dipakai sebagai senjata pamungkas para hakim untuk mengurung terdakwa. Peristiwa kelabu itu masih saja terjadi. Sejumlah aktivis yang mengkritik presiden ramai-ramai ditangkap dan diadili. "Rezim ini tak ada bedanya, cuma ganti baju," kata Gatot, sang pengacara.
Abdul Manan (Jakarta), Rofiqi Hasan (Denpasar)
Yang Terjerat Pasal Kolonial
Sejak pemerintahan Megawati, pasal-pasal karet yang terdapat dalam KUHP, kitab hukum warisan kolonial Belanda, ini terus memakan korbaan. Siapa saja mereka?
Tahun 2002
Terdakwa:
Tahun 2003
Terdakwa:
Terdakwa:
Tahun 2005
Terdakwa:
Terdakwa:
Terdakwa:
Terdakwa:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo