PARA penggemar binatang langka harus berpikir dua kali untuk meneruskan hobinya. Kini Pemerintah tak hentihentinya mengampanyekan Undang-Undang Konservasi Hayati (UUKH), yang disahkan tahun 1990. Ini senjata baru untuk melindungi satwa langka seperti burung cenderawasih, burung beo nias, harimau, kera siamang, atau ikan arowana. Baru-baru ini Pemerintah mengumumkan agar siapa saja yang memiliki atau memelihara satwa langka mendaftarkan peliharaannya ke Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Paling lambat 31 Mei 1992. Lewat tanggal itu, mereka bisa dibidik UUKH, yang ancaman hukumannya bisa 10 tahun penjara atau denda Rp 200 juta. Ancaman UUKH cukup mengerikan. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan lama, Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931, yang cuma mengancam pelanggar dengan hukuman 3 bulan kurungan atau denda 500 gulden. Dengan peraturan warisan Belanda itu, pada Maret 1990, seorang pemilik 41 ekor burung cenderawasih dan 25 ekor satwa langka lain divonis denda Rp 12.500 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Bisakah UUKH menangkal perdagangan dan peredaran satwa langka dengan efektif? Rabu pekan lalu, untuk pertama kalinya ketentuan baru itu menelan korban, seorang pedagang ikan hias di Pasar Ngasem, Yogyakarta, Weini Hartono, 56 tahun. Pengadilan Negeri Yogyakarta memvonis Weini 3 bulan penjara dan denda Rp 1 juta (subsider 2 bulan kurungan). Ia terbukti memperdagangkan dua ekor siamang. Boleh jadi, kasus yang menimpa Weini itu terhitung kesialan saja. Pada Agustus 1991, Weini yang sehari-hari menjadi calo jual-beli binatang itu menjual sepasang siamang kepada seorang Suprapto, seharga Rp 225.000. Bisnis semacam ini dilakukan hampir semua pedagang di Pasar Ngasem. Tapi, entah bagaimana, cuma ulah Weini yang tercium oleh tim pengamanan satwa langka, yang terdiri dari unsur Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, Korem, polisi, dan kantor kejaksaan. Maka, seorang anggota tim tersebut, Thalib, pura-pura mau membeli siamang. Karena membayangkan bakal mendapat untung besar, Weini kemudian membeli kembali sepasang siamang dari Suprapto, dengan harga Rp 300.000. Pada 8 Januari lalu, sepasang siamang itu pun dijual Weini kepada Thalib, seharga Rp 425.000. Ternyata, laba itu cuma berumur sehari. Esoknya, rumah Weini digerebek tim pengamanan. Alhasil, berbagai binatang peliharaan Weini disita. Di rumah Weini ada tiga ekor kancil, dua ekor burung nuri, dan seekor burung kabayan. Tidak jelas apa dasar penyitaan ini. Selanjutnya, Weini diajukan ke meja hijau. Dakwaan yang dijatuhkan padanya, memperdagangkan sepasang siamang tadi. Oleh Hakim Nyonya Sri Budiastuti, ia dihukum 3 bulan plus denda Rp 1 juta atau 2 bulan kurungan. Ini mengacu ke UUKH. Weini, yang pernah delapan tahun bekerja sebagai penjaga binatang buas di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogya, agaknya tak terlalu memprotes keputusan itu. Ia hanya mengajukan grasi. Ia juga lebih memilih menjalani hukuman 5 bulan penjara, karena uangnya sudah habis dan tak bisa menutup denda Rp 1 juta tadi. Toh Weini mengaku tak habis pikir: kenapa cuma dia seorang yang kena jebak dan ditangkap tim. Padahal, "Di Ngasem banyak yang jual binatang begitu. Malah ada yang jual ular sampai jutaan rupiah. Lha, saya ini paling cuma untung Rp 30-50 ribu saja," katanya dalam bahasa Jawa. Pembela Weini, Daris Purba, juga mempertanyakan, mengapa Suprapto selaku penjual tak diadili. "Undang-undangnya kan menekankan masalah jual-belinya secara langsung. Kenapa Weini yang kena, tapi penjualnya tidak?" kata Daris. Ia juga menambahkan bahwa para pedagang ataupun masyarakat seperti Weini sesungguhnya tidak mengetahui bahwa ketentuan UUKH itu sudah berlaku. Hakim Nyonya Sri Budiastuti menimpali argumentasi Weini dan pengacaranya itu. "Lo, pengadilan kan hanya mengadili siapa yang diajukan penyidik," ujarnya. Hakim Sri juga berpendapat, semua orang dianggap harus tahu UUKH, begitu peraturan itu diundangkan Pemerintah. Happy S. dan Nunik Iswardhani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini