Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis pencurian listrik: byar pet

Vonis pencurian listrik berbeda-beda. termasuk pelanggaran pidana umum, korupsi, kasus perdata, atau apa?

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YURISPRUDENSI baru lahir Kamis pekan lalu di Pengadilan Negeri Tangerang, Jawa Barat. Untuk pertama kali dalam sejarah peradilan, pencuri listrik dihukum berdasarkan Undang-Undang Anti Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971). Bukan dengan pidana umum yang diatur dalam KUHP. "Putusan ini berpedoman pada kaidah hukum yang berlaku," kata Abdul Razak, hakim yang memvonis lima terdakwa pencuri listrik itu. Dalam vonis itu Direktur Utama PT Karya Tulada, Anton Rustandi dan Manajer Umum, Iwan Tandjaja, dijatuhi hukuman masing-masing 3 tahun dan 1 tahun. Anton juga dihukum denda sebesar Rp 10 juta dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 896 juta kepada negara. Pengusaha Oey Handi, rekanan PT Karya Tulada, dihukum 1,5 tahun. Jacobus Mustamu, pensiunan pegawai PLN, dan Himi Taruma, seorang sopir, dijatuhi hukuman denda masing-masing Rp 5 juta. Keduanya dianggap membantu mengundurkan meteran listrik. Menurut Jaksa Darmono, pencurian listrik itu dilakukan lima terdakwa sejak empat tahun lalu. Akibatnya, negara (PLN) dirugikan Rp 1,5 milyar. Para terdakwa, tertangkap basah oleh Tim OPAL (operasi pencurian listrik) saat mengundurkan meteran di gardu listrik pabrik kertas Karya Tulada, Tangerang, pada 26 Oktober 1991. OPAL digalakkan setelah Presiden awal Oktober 1991 menginstruksikan agar pencuri listrik ditindak berdasarkan Undang-Undang Anti Korupsi. Instruksi itu, ditujukan kepada pencuri listrik di kalangan industri. Kerugian PLN yang Rp 10 milyar per bulan itu, sebagian besar diduga akibat pencurian listrik di kalangan industri. Saat itu Tim OPAL berhasil menjaring 11 industri. Namun, baru PT Karya Tulada yang diseret ke pengadilan. Sisanya, masih terus diusut. Namun ada sebagian, seperti PT Sandratex, malah dideponir. Alasan pendeponiran kasus Sandratex, diungkapkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Soesandi, karena kerugian akibat pencurian itu (sebesar Rp 2,1 milyar) telah dibayar lunas PT Sandratex melalui tagihan susulan PLN. Akibatnya, kejaksaan mengalami kesulitan menjerat pabrik itu dengan pasal korupsi. Sebab, unsur merugikan negara -- salah satu unsur tindak pidana korupsi -- menjadi sulit dibuktikan. Kasus itulah yang kemudian mengundang reaksi. LBH membawa masalah ini ke sidang praperadilan, -- ditolak. Belakangan, sejumlah advokat Jakarta melaporkan kasus pencurian itu ke polisi. Alasannya, pencurian listrik bukan kasus pidana korupsi, tapi pencurian biasa. Maka, penyidikan pencurian ini urusan polisi, bukan kejaksaan. Seperti ingin menjawab pelaporan para pengacara, muncul argumentasi baru. Jaksa Agung Muda Intel, Sukarno, menyatakan kasus Sandratex bukan kasus pidana, melainkan kasus hukum perdata. Soesandi memperkuat Sukarno, menyebutkan, antara PT Sandratex dan PLN ada ikatan perjanjian jual beli listrik. Pada salah satu pasal perjanjian itu diatur tagihan susulan. Pengacara Karya Tulada, Mohammad Assegaf di persidangan menyatakan kasus kliennya sama dengan kasus PT Sandratex. Bagaimana mungkin kliennya kemudian disebutkan melakukan tindak pidana korupsi? Jaksa bersikukuh bahwa Karya Tulada bisa dijaring dengan korupsi, karena kerugian negara belum terbayar. "Tagihan susulan tidak pernah dilakukan PLN dan karena itu tagihan tak pernah dibayar terdakwa," tangkis Jaksa Darmono. Hakim sependapat dengan jaksa. Sementara itu, Hakim Hasoloan Siahaan dari Pengadilan Negeri Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu juga memvonis pencuri listrik. Terdakwa Yoso Sugiyarto, Direktur PT Dua Naga Purbalingga, dihukum 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Di sini Siahaan tak memakai pasal korupsi seperti rekannya di Tangerang. Ia menganggap pencurian listrik yang diadilinya termasuk pidana umum biasa (pasal 406 KUHP, secara melawan hukum merusak barang milik orang lain). Pelanggaran yang dilakukan Yoso, menurut Hakim, merusak meteran PLN yang terpasang di pabrik kelapa miliknya. Caranya, memasang alat penghambat putaran meteran magnetic contactor. Alat yang dihubungkan dengan meteran itu ditanam dalam bak beton permanen di bawah tanah sehingga petugas sulit menemukannya. Dengan bantuan magnetic contactor, menurut hakim, perusahaan itu hanya kena tagihan ratusan ribu rupiah saja. Padahal, yang harusnya dibayarkan, seperti sebelum penghambat dipasang, rata-rata Rp 6 juta. Perbuatan itu dilakukan sejak 1989, dan terbongkar Oktober 1991 saat PLN melakukan Operasi Pijar. Total PLN dirugikan Rp 78,5 juta. Sebulan setelah tertangkap, Yoso membayar kerugian itu lewat tagihan susulan yang dikirim PLN. Kendati demikian, hakim tak melihat upaya itu telah menghapus tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Pembayaran tagihan susulan hanya dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan hukuman. Masih ada variasi lain dalam kasus pencurian listrik ini. PTUN Jakarta belum lama ini membatalkan beberapa tagihan susulan yang dibuat PLN. Alasannya, selain PLN tak mampu membuktikan kesalahan konsumen, tagihan susulan itu diproses tanpa dasar jelas. Lalu, apa pula pertimbangan PTUN? "PTUN hanya menilai prosedur PLN melakukan penagihan susulan, bukan soal perdata atau pidana," kata Humas PTUN Paulus Effendi Lotulung. Apa pun alasannya, kasuskasus di atas menunjukkan di antara aparat penegak hukum sendiri masih ada kesimpangsiuran dalam menangani pencurian listrik. Masyarakat makin lama makin bingung. Ada perbedaan penafsiran, ada juga penafsiran yang dibedakan. Aries Margono, Bina Bektiati, Sri Wahyuni (Jakarta), R. Fajri, dan Heddy Lugito (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus