Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan yang digelar di Puri Cikeas, Bogor, akhir pekan pertama Februari lalu itu bukanlah pertemuan rutin. Kendati demikian, sejumlah petinggi negara hadir di sana. Mereka, antara lain, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Azwar Abubakar beserta wakilnya, Eko Prasodjo; serta Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Di sana, bersama para pembantunya itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyimak penjelasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin dan wakilnya, Denny Indrayana.
Sepanjang menjabat presiden hingga periode kedua, inilah pertama kalinya Yudhoyono menggelar pertemuan khusus untuk membahas permohonan uji materi atas sebuah undang-undang. Maklum, gugatan judicial review kali ini menohok langsung Presiden, yang mengangkat 19 wakil menteri dalam kabinetnya, Kabinet Indonesia Bersatu II. Setelah menyimak penjelasan para punggawanya, giliran Yudhoyono angkat bicara. Presiden menunjuk Denny Indrayana untuk mengawal gugatan uji materi itu. "Siapkan semua argumen hukum," kata sumber Tempo menirukan ucapan Presiden.
Yang membuat sebagian hadirin terenyak adalah permintaan Presiden agar Denny dan kawan-kawan tak hanya berfokus menyiapkan "pertahanan" hukum. Presiden juga mengingatkan mereka agar menghitung urusan di luar hukum, seperti adanya kepentingan politik kelompok tertentu. "Bila perlu, saya akan bicara dengan Aburizal Bakrie," ujar Presiden.
Tapi, belum sempat menjelaskan apa yang dia maksud, Yudhoyono menyebutkan saat itu bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Aburizal. Soalnya, Ketua Umum Partai Golkar itu sedang berseteru dengan politikus Partai Demokrat, Ramadhan Pohan. Beberapa hari sebelumnya, Aburizal memang melaporkan Ramadhan ke Markas Besar Kepolisian RI dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Melihat Presiden seperti bimbang, Menteri Djoko Suyanto meminta izin menyela. Dia memberitahukan urusan Aburizal dengan Ramadhan sudah kelar karena keduanya saling memaafkan. Mendengar kabar itu, Yudhoyono pun langsung memanggil ajudannya. "Sebelum saya lupa, segera agendakan pertemuan dengan Aburizal," kata Presiden.
Sampai pekan lalu, peserta rapat terbatas di Cikeas belum tahu apakah Yudhoyono jadi bertemu dengan Aburizal untuk membahas gugatan atas posisi wakil menteri. Yang pasti, kini Mahkamah Konstitusi tinggal mengetuk palu. Bila Mahkamah kelak menerima permohonan uji materi, 19 wakil menteri yang diangkat Yudhoyono nasibnya tengah menghitung hari.
Dari lantai dua Gedung Istana Pasar Baru, Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Adi Warman merancang siasat. Aksinya baru diketahui oleh umum pada 25 Oktober 2011, ketika Adi mengajukan berkas judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dia menggugat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Menurut Adi, pasal itu inkonstitusional karena jabatan wakil menteri tak ada dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sepekan sebelumnya, pada 18 Oktober 2011, Presiden Yudhoyono melantik 13 wakil menteri baru. Itu menambah enam wakil menteri yang telah diangkat lebih dulu. Dari total 19 wakil menteri, 14 berasal dari birokrat karier. Sisanya berlatar belakang guru besar dari sejumlah universitas.
Menurut Adi, pengangkatan wakil menteri juga memboroskan uang negara. Tanpa memerinci sumber data dan cara perhitungannya, menurut dia, selama 2011, negara mengeluarkan dana Rp 21 miliar untuk seorang wakil menteri. Sampai 2014, ketika jabatan semua wakil menteri berakhir, negara bakal mengeluarkan dana Rp 1,8 triliun. "Sebagai wajib pajak, saya merasa dirugikan," kata Adi, yang mengaku anggota Dewan Kehormatan Partai Hati Nurani Rakyat.
Cara pengangkatan wakil menteri tersebut juga dipersoalkan Adi. Ia mengutip penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Kementerian yang menyebutkan wakil menteri sebagai jabatan karier. Faktanya, pos wakil menteri kebanyakan justru diisi orang dekat Presiden dan Wakil Presiden. Nah, kata Adi, karena cara rekrutmen wakil menteri tidak jelas, banyak kader Gerakan Nasional yang tidak mendapat kesempatan. "Padahal mereka punya hak untuk duduk di pemerintahan," kata pria yang pernah maju dalam bursa calon Gubernur Banten ketika provinsi itu baru pisah dari Jawa Barat tersebut.
Dengan semua argumen itulah Adi meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Kementerian bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Akibatnya, "Semua jabatan wakil menteri harus dilikuidasi," kata Adi. Saat mengajukan permohonan, Adi menunjuk kuasa hukum dari kantor pengacara yang ia dirikan, Adi Warman & Partners. Dua bulan berlalu, tapi berkas uji materi itu tak jelas kabarnya. "Setelah saya ngamuk di MK, baru diproses," kata lelaki 47 tahun ini.
Hingga awal Maret lalu, pemohon dan pemerintah telah menghadirkan sejumlah saksi untuk memperkuat alasan mereka. Kedua belah pihak juga telah menyampaikan kesimpulan mereka. Salah satu saksi yang diajukan Gerakan Nasional adalah bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Menurut ahli hukum tata negara itu, konstitusi tak mengenal jabatan wakil menteri. Konstitusi juga hanya memerintahkan pembuatan undang-undang tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara, bukan undang-undang kementerian negara seperti yang ada sekarang. "Tidak sesuai dengan perintah konstitusi," kata Yusril pada sidang 19 Januari 2012.
Kendati demikian, Yusril mengakui jabatan wakil menteri pernah ada di zaman Presiden Sukarno. Dalam kabinet pertamanya, Sukarno mengangkat tiga wakil menteri. Era Orde Baru juga mengenal jabatan menteri muda. "Tapi menteri muda itu tugasnya jelas," katanya. Tanpa tugas yang jelas, jabatan wakil menteri saat ini, ujar Yusril, "Mubazir dan berlebihan."
Melalui para saksi ahli dan kesimpulan yang diteken tiga menteri—Amir Syamsudin, Azwar Abubakar, dan Sudi Silalahi—pemerintah berupaya mematahkan semua argumen pemohon uji materi ini. Ihwal jabatan wakil menteri yang tak diatur konstitusi, misalnya, pemerintah beralasan bahwa hal itu bukan berarti tidak boleh. Faktanya, menurut pengacara senior Adnan Buyung Nasution, hanya sebagian kecil jabatan pemerintahan yang diatur konstitusi. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, presiden pun berwenang membentuk struktur baru dan menunjuk pejabat di lingkungan eksekutif. "Sepanjang tidak secara eksplisit dilarang," kata Arif Hidayat, saksi lain dari pemerintah.
Menurut pemerintah, pangkal persoalan bukan pada Pasal 10 Undang-Undang Kementerian, melainkan pada penjelasan pasal itu. Syarat wakil menteri harus "pejabat karier" bertentangan dengan ciri jabatan wakil menteri yang diangkat presiden.
Dua profesor administrasi negara, Sofian Effendi dan Miftah Toha, menguatkan pendapat pemerintah. Jabatan wakil menteri, ujar keduanya, sejatinya jabatan politis. Seperti praktek di negara maju, pengisian jabatan itu sebaiknya diserahkan kepada presiden. Masalahnya, penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Kementerian malah membatasi kewenangan presiden. Merujuk pada UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, pemerintah menyatakan penjelasan undang-undang tak boleh berisi norma atau aturan baru.
Jadi, ke mana palu hakim bergerak? Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan dasar hukum pengangkatan wakil menteri memang mengidap masalah. Tapi, soal bagaimana Mahkamah akan memutuskan, Mahfud memberi isyarat. "Kami tak akan membuat putusan yang menimbulkan guncangan." Sewaktu memutuskan, kata Mahfud, hakim konstitusi akan berpikir sebagai negarawan. "Stabilitas pemerintahan tetap penting."
Menurut sumber Tempo, Mahkamah Konstitusi, yang akan menjatuhkan putusan beberapa pekan lagi, kemungkinan besar tidak akan mengabulkan semua keinginan pemohon. Tapi posisi sejumlah wakil menteri belum aman. Soalnya, Mahkamah Konstitusi bisa jadi akan memperkuat persyaratan jabatan karier untuk wakil menteri. Bila putusan seperti itu yang keluar, wakil menteri yang berlatar belakang akademis berada di ujung tanduk.
Apa pun putusan Mahkamah Konstitusi kelak, Wakil Menteri Denny Indrayana mencoba berpikir positif. "Saya masih optimistis," katanya. Denny lantas menunjuk kalender hitung mundur di atas lemari di pintu masuk ruang kerjanya. Pada kalender warna-warni itu tertera angka 939. Itu pas dengan hitungan mundur hingga 20 Oktober 2014, ketika masa jabatan normal wakil menteri berakhir.
Sebaliknya, bila Mahkamah membuat vonis yang membuatnya tergusur, Denny bersiap-siap "pulang kampung", kembali ke kampus. Kebetulan pula, pada Februari lalu, almamaternya, Universitas Gadjah Mada, mengukuhkan Denny sebagai salah satu guru besar di bidang hukum. "No wamen, no cry," kata Denny memelesetkan lagu reggae yang dipopulerkan Bob Marley pada pertengahan 1970-an.
Jajang Jamaludin, Setri Yasra
Utak-atik Kursi Wakil Menteri
Tak lama lagi Mahkamah Konstitusi akan mengetukkan palu, menetapkan posisi wakil menteri sesuai dengan konstitusi atau tidak. Sejumlah saksi ahli sudah mengutarakan pendapat tentang jabatan wakil menteri itu di depan majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Yang Diuji
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara
"Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu."
Penjelasan pasal 10:
Yang dimaksud "wakil menteri" adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet.
Di Ujung Tanduk
Setidaknya ada tiga opsi putusan Mahkamah Konstitusi yang bisa memiliki akibat yang berbeda.
Opsi 1
Opsi 2
Opsi 3
Bertentangan dengan Konstitusi
Pasal 17 UUD 1945
1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian diatur dalam undang-undang.
Akibat: Empat wakil menteri yang berasal dari kalangan akademikus terancam tersingkir
Ali Ghufron Mukti
Wakil Menteri Kesehatan
Jabatan sebelumnya:
Eko Prasojo
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Jabatan sebelumnya:
Wiendu Nuryanti
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan
Jabatan sebelumnya:
Denny Indrayana
Wakil Menteri Hukum dan HAM
Jabatan sebelumnya:
Jajang Jamaludin.
Sumber: Berkas kesimpulan pemohon judicial review, kesimpulan pemerintah, dan wawancara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo