Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rezeki Ganda Elnusa

Pengadilan mengabulkan gugatan ganti rugi PT Elnusa kepada Bank Mega. Sebelumnya, pengadilan antikorupsi juga menghukum para pembobol rekening Elnusa membayar ganti rugi.

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UANG yang pernah lenyap itu kini bersiap mengalir kembali ke brankas PT Elnusa. Putusan itu diambil majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis dua pekan lalu. Majelis, yang mengabulkan gugatan perusahaan minyak yang 41 persen sahamnya milik Pertamina itu, memerintahkan Bank Mega segera membayar ganti rugi Rp 111 miliar, duit Elnusa yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk deposito di Bank Mega.

Elnusa tentu saja menyambut riang putusan ini. Apalagi ada "bonus" tambahan. Dalam putusan yang dibacakan ketua majelis hakim Ari Jiwantara itu, majelis mengabulkan permohonan Elnusa, yang meminta gedung Menara Bank Mega di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, dijadikan sita jaminan. "Kalau tidak dibayar, gedung pencakar langit itu jadi milik kami," kata Vice President Corporate Legal PT Elnusa Imansyah Syamsoeddin.

Pada 7 September 2009, Elnusa menempatkan uang Rp 50 miliar ke Bank Mega Cabang Jababeka, Cikarang, Bekasi, dalam bentuk deposito berjangka. Tiga pekan kemudian, deposito itu ditambah lagi sebesar Rp 50 miliar. Kerja sama dan pelayanan yang baik dari bank ini membuat Elnusa makin antusias membenamkan uangnya di sana. Total Rp 161 miliar duit Elnusa disimpan di Bank Mega. Itu antara lain terdiri atas deposito berjangka Rp 40 miliar, Rp 11 miliar, dan Rp 10 miliar. Menurut Imansyah, sebelum kasus duitnya dibobol dari bank itu, Elnusa sempat mencairkan deposito sebesar Rp 50 miliar.

Imansyah merasa kemenangan pihaknya itu sudah sepantasnya. Nasib uang cadangan milik Elnusa sempat terkatung-katung hampir setahun. Sebelum kasus ini terungkap, Elnusa masih menganggap uang itu aman dan tumbuh berkembang di Bank Mega. Dokumen dan blangko deposito yang mencatat uang itu disimpan rapi. Dokumen inilah yang digunakan hakim sebagai landasan memenangkan kubu Elnusa. "Penempatan dana itu sah menurut hukum," kata hakim Ari saat membacakan putusan.

Polisilah yang pertama kali mengungkap kasus ini setahun lalu. Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya mengendus ada transaksi janggal di rekening milik Elnusa di Bank Mega. Kemudian terungkap deposito itu "digarap" komplotan pembobol dengan cara merekayasa transaksi antar-rekening. Pembobolan rekening itu melibatkan Kepala Kantor Bank Mega Cabang Jababeka Itman Harry Basuki dan Direktur Keuangan PT Elnusa Santun Nainggolan. Terlibat pula Direktur PT Discovery Channel-PT Harvestindo Asset Management Ivan C.H. Litha, Andhy Gunawan, Richard Latief, dan Teuku Zulham Sjuib. Salah satunya, Richard, bukan nama asing bagi polisi dalam urusan pembobolan bank. Semuanya ditahan dan dijadikan tersangka.

Pertengahan Mei tahun lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis mereka empat hingga sembilan tahun penjara. Mereka juga diwajibkan membayar denda ke negara, yang kemudian akan diserahkan ke Elnusa. Jaksa menyatakan ada uang negara, lewat Pertamina sebagai badan usaha milik negara, yang tersimpan di Elnusa.

Denda terbanyak dijatuhkan kepada Ivan, yakni Rp 89,25 miliar. Total denda dari para tersangka Rp 111 miliar atawa sebesar uang Elnusa yang mereka gangsir ramai-ramai. "Klien kami sudah berkomitmen membayar denda ini," kata Dwi Heri Sulistiawan, pengacara Itman.

Perkara denda ini ternyata menjadi masalah. Bank Mega menganggap hakim perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan khilaf karena tak menggunakan putusan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, yang lebih dulu keluar. "Putusan perdata itu tidak dapat diterima dengan logika," ujar Corporate Secretary PT Bank Mega Tbk Gatot Aris Munandar.

Akibatnya, kata dia, kedua putusan ini bertentangan karena, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bank Mega disebut tak bersalah. Apalagi, akibat dua putusan ini, Elnusa menerima ganti dua kali lipat dari jumlah uang mereka yang hilang itu. "Mereka menerima pengembalian dana dari para terpidana sekaligus ganti rugi dari Bank Mega," kata Gatot. Bank Mega menyatakan banding terhadap putusan ini.

Imansyah tak menampik dua putusan ini menguntungkan Elnusa. Tapi ia menegaskan pihaknya tak akan serakah. Imansyah menyatakan perusahaannya akan mengalihkan denda dari para terpidana yang seharusnya diberikan ke Elnusa kepada Bank Mega dengan syarat bank itu harus menunaikan kewajibannya membayar ganti rugi lebih dulu. Dengan demikian, ujarnya, Bank Mega dan Elnusa sama-sama tak rugi. "Kami fair saja. Kalau mereka minta denda itu, akan kami beri," katanya.

Prinsip Elnusa, kata Imansyah, uang Rp 111 miliar miliknya kembali. Menurut dia, jika saja Bank Mega mau diajak kerja sama saat kasus ini terungkap, gugatan itu tidak perlu ada. Elnusa, kata dia, menggugat Bank Mega setahun silam ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena membutuhkan uang itu untuk menjalankan roda bisnisnya. Gugatan dilakukan karena perundingan dengan Bank Mega, termasuk mediasi di pengadilan, gagal. "Kami sudah tidak melihat ada niat baik Bank Mega," ujarnya.

Dikabulkannya gugatan Elnusa itu menginspirasi Pemerintah Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, untuk melakukan hal sama. Dana senilai Rp 80 miliar milik kabupaten tersebut yang disimpan di Bank Mega Cikarang juga dibobol Itman dan kelompoknya. Pembobolan tersebut juga melibatkan orang dalam kabupaten itu. Modus pembobolannya sama seperti yang terjadi pada Elnusa, yaitu merekayasa transaksi deposito. "Materi gugatan saat ini masih diproses," kata Kepala Bagian Humas Kabupaten Batu Bara Radiansyah Lubis.

Adanya denda ganda ini dipandang ganjil oleh pakar hukum pencucian uang Yenti Garnasih. Menurut Yenti, semestinya hakim menetapkan putusan yang tidak membingungkan tergugat dan penggugat. "Putusan perdata atas Bank Mega itu sebenarnya aneh," ujarnya. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Negeri seharusnya sinkron. Ia menyatakan yang bisa menengahi dua putusan itu adalah Mahkamah Agung. "Putusan itu harus dibawa ke MA, karena tidak mungkin ada denda ganda," kata Yenti.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus