PEMANDANGAN sehari-hari di Ibu Kota: ada petugas Kamtib mengobrak-abrik pedagang kaki lima. Tapi kali ini Kamtib Jakarta Barat tersandung perkara. Seorang pedagang sate Madura, Baidowi, 42 tahun, pekan-pekan ini menuntut ganti rugi Rp 7 juta kepada Wali Kota Jakarta Barat di pengadilan. Ia merasa sangat dirugikan karena gerobak satenya diboyong dan dirusakkan Kamtib tanpa diketahuinya. Baidowi, yang dulunya tukang kayu, mulai berjualan sate ayam keliling pada 1984. Sampai Baidowi biaa memiliki sebuah gerobak yang beroda dan berukir. Usaha Baidowi pun tak lagi sekadar keliling. Ia "memarkir" gerobak satenya di pinggir Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. "Selama dua bulan lebih, saya berdagang di situ, tak pernah ada yang melarang," kata Baidowi, yang mengaku dari dagang sate itu mendapatkan untung Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu semalam, berangan-angan melengkap dagangannya dengan sate dan sop kambing, plus warung bertenda dan berkursi-meja. Sore 25 Juli silam, Baidowi mendapat kabar buruk. Gerobak satenya terkena operasi Kamtib. Bersama istrinya, Eti, yang sedang mengandung anak kedua, ia bergegas ke kantor Wali Kota menanyakan nasib gerobaknya. Tapi di situ ia hanya bisa menemui petugas jaga, yang tak tahu apa-apa tentang gerobaknya. Esok harinya, ia coba melihat ke tempat penampungan barang-barang hasil operasi Kamtib di Kebon Sirih. Gerobak itu juga tak ada. Menurut petugas, gerobaknya ada di Cakung. Di tempat terakhir ini, Baidowi lemas. Gerobak yang dibuatnya selama dua tahun dan menghabiskan biaya sekitar Rp 2 juta itu telah rusak berat dan hancur. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah jawaban petugas Kamtib di situ: Baidowi bisa memperoleh bekas gerobaknya itu asal saja membayar denda Rp 3 ribu. Baidowi tak mau membayar denda tersebut. "Saya mau menerima kembali gerobak itu asalkan diberi biaya perbaikannya," ujar Baidowi, yang hijrah ke Jakarta pada tahun 1982. Tapi, sampai dua minggu menuntut kembah kekayaan satu-satunya itu, Baidowi tak juga mendapatkan hasil. Akhirnya, melalui Pengacara Djoni Irawan dan Rona Murni dari LBH Jakarta, ia menggugat Wali Kota Jakarta Barat. Ia menuntut ganti rugi Rp 7 juta: Rp 2 juta sebagai pengganti gerobak, sisanya untuk kerugian moril. "Perbuatan petugas Kamtib itu tidak manusiawi. Mereka mengambil dan merusakkan barang milik orang lain tanpa diketahui pemiliknya," kata Rona Murni. Di persidangan, kuasa hukum Wali Kota, Nyonya Hendroningsih dan Noerwenda -- dari Biro Hukum DKI mengakui gerobak sate Baidowi terkena operasi kamtib. Sebab, kata mereka Baidowi telah melanggar Perda No. 3 Tahun 1972 tentang Ketertiban Umum. "Ia berjualan tanpa izin di lokasi jalur hijau," kata kedua kuasa hukum itu. Berdasarkan itu, kedua kuasa Wali Kota itu beranggapan bahwa petugas Kamtib tak melakukan perbuatan melawan hukum. Sebab, berlandaskan perda tadi, para petugas itu dalam melakukan operasi ketertiban disertai surat tugas bertanggal 25 Juli 1988. Wali Kota Jakarta Barat, Sudjoko Tirtowidjojo, juga menganggap Baidowi bersalah karena berjualan di daerah terlarang. "Sebelumnya, dia memang didiamkan karena tak ada pemeriksaan. Tapi sewaktu operasi, dia kena sialnya," kata Sudjoko. Tapi Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto mengakui, ulah para petugas Kamtib terhadap gerobak sate Baidowi itu berlebihan. "Meskipun tukang sate itu salah, 'kan tidak harus dihancurkan gerobaknya," ujarnya. Wiyogo menghormati upaya hukum yang ditempuh Baidowi. "Masyarakat memang semakin sadar akan hak-haknya. Tapi biarlah pengadilan yang memutuskan siapa yang bersalah," kata Wiyogo. Hp. S. dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini