Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Wanita dari Indonesia dan sake di kabukicho

Dikirim ke jepang sebagai ''artis'' tapi ada yang diperlakukan sebagai wanita penghibur. ada pula yang diajak jalan-jalan ke tokyo, kemudian dijebloskan ke sarang pelacuran. sejauh mana peran yakuza?

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WIWIEK Shepita, 23 tahun, penyanyi dangdut di Jakarta. Parasnya lumayan. Suara pun oke punya. Ia sudah melansir tiga album dangdut, di antaranya Pantang Menimang Cucu. Sekali waktu datang tawaran show ke Jepang dari PT Kharisma Arya Rinjani di Cipete, Jakarta Selatan. Buat Wiwiek, yang sesekali diundang manggung di luar kota, tawaran ini menggiurkan. Ia dijanjikan gaji Rp 2 juta sebulan plus bonus Rp 400 ribu. Di benak Wiwiek, yang tinggal di gang sempit di Jakarta Barat ini, sudah berseliweran bayangan wah. Niatnya mantap ke Jepang. Dan April lalu, ia dan beberapa calon artis lainnya dikumpulkan PT Kharisma di sebuah diskotek di Jakarta Pusat. Di sana keanehan mulai tercium. Kharisma menerimanya sebagai penari. Toh Wiwiek bersedia berangkat. Tawaran gaji penari Rp 800 ribu sebulan plus honor Rp 300 ribu. Pengalamannya sebagai penari? ''Saya sering muncul di TV sebagai penyanyi dan penari latar,'' ujar Wiwik, yang sudah setahun bergelimang di dunia hiburan ini. Maka, Mei lalu, berangkatlah Wiwiek dan dua rekannya ke Fukuoka, di bagian utara negeri Matahari Terbit. Setelah berpindah kota, ia dipekerjakan di bar Star Tanjou di Kota Kagoshima. Lokasi bar itu agak kumuh, di pinggir kota yang merupakan daerah pelabuhan, bersebelahan dengan tambak ikan. Mulanya menyenangkan. Pemilik bar, yang dipanggil Papa-san, mengajak Wiwiek ke swalayan untuk membeli pakaian dalam dan keperluan sehari-hari. Tapi ibu satu anak ini juga disuruh beli rok dan pakaian mini. Dan malamnya, ketika ia dan rekannya sudah berkebaya, lalu disuruh Papa-san menukarnya dengan rok mini. Malam pertama di bar itu para tamu masih sopan. Justru sang Papa-san yang mulai naik syur. ''Ia memeluk, meraba, dan menciumi kami, agar kami terbiasa dengan tamu- tamu,'' cerita Wiwiek. Ketika diprotes, sang Papa-san menjawab keras, ''Saya butuh hostes, bukan artis.'' Hari demi hari, bar mulai ramai. Apalagi kemudian masuk lima wanita Filipina dengan tugas yang sama. Kebanyakan tamu itu sopir truk dan nelayan yang kadang kala bertingkah kasar. ''Mereka tak cuma minta ditemani dansa, tapi tangannya meraba-raba tubuh saya,'' cerita Wiwiek. Malah, katanya, kalau bar sepi, mereka disuruh mejeng di depan bar sembari sesekali menarik rok mininya ke atas. Tengah malam, ujar Wiwiek, Papasan sering menyelinap ke kamarnya untuk menggerayangi dia dan temannya. Sekali waktu artis yang di Jakarta dibayar Rp 500 ribu untuk satu paket lagu di TV ini meledak. ''Saya ditawar 30.000 yen untuk diajak tidur,'' katanya. Jumlah itu sama dengan Rp 420 ribu. Karena ditolak, sang tamu ngamuk, dan Wiwiek memukul kepala tamunya dengan botol. Buntutnya, Papa-san menggamparnya. Perlakuan pada Wiwiek makin kurang ajar. Sekali waktu, Wiwiek pernah dinaikkan ke atas meja oleh tamunya sembari digerayangi bagian-bagian penting tubuhnya. Tak tahan, dia menulis surat ke KBRI. Suratnya itu diteruskan KBRI ke Jakarta dan akhirnya Wiwiek dan teman-temannya dipulangkan. Merasa ditipu, Wiwiek mengajukan PT Kharisma ke pengadilan dan menuntut ganti rugi Rp 1,3 miliar per orang. Sampai sekarang persidangan kasus ini masih berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, PT Kharisma hanya menganggap Wiwiek dan tiga temannya tak bisa menyesuaikan diri di negeri orang. ''Kami sudah mengirim 94 orang, dan di Jepang sampai sekarang masih ada 30 orang, kok yang mendapat perlakuan jelek cuma empat orang. Kami dengar empat orang ini suka menolak tamu, kerja seenaknya, dan suka keluyuran kalau tak bekerja,'' kata Hidayat, Direktur Kharisma. Memang ada juga si Indah (bukan nama sebenarnya) yang mengaku kepada TEMPO diperlakukan dengan baik di Jepang. Ia bekerja di bar Castle, Nagasaki. ''Mama-san saya baik dan tidak pernah berlaku kasar kepada saya. Memang ada juga tamu yang mencoba jail, tapi kalau kita menolaknya, ia tak bisa memaksa,'' katanya, di kantor PT Kharisma. Belum jelas apa yang terjadi pada 90 ''artis'' Kharisma yang dipekerjakan sebagai hostes tadi. Tapi urusan wanita Indonesia yang dikirim ke dunia hiburan Jepang memang bukan lagi cerita baru. Lima tahun lalu, Lena sebut saja begitu bersama tiga temannya dibujuk seorang germo dari Jepang untuk ''jalan- jalan'' di Tokyo. Ternyata, ia dijebloskan ke rumah pelacuran di Kota Saku tiga jam berkereta api dari Tokyo. Bisnis pelacuran di kota pusat distribusi pelacur Asia itu konon dikuasai Yakuza, jaringan mafia Jepang. Setelah meloloskan diri, Lena yang berasal dari Cibubur itu melapor ke KBRI. Ia dipulangkan ke Indonesia. Jepang rupanya punya dua wajah. Siang, pekerjanya berpacu dengan waktu dan stres tinggi. Malamnya, si pekerja doyan alkohol dan seks. Misalnya, di Kabukicho, tempat hiburan malam terbesar di Tokyo yang oleh media massa Jepang disebut kawasan pelacuran internasional. Pelacur dari berbagai negara, bahkan dari Eropa dan Amerika Latin, bisa dijumpai di sini. Barangkali, di antara bau sake Kabukicho, siapa tahu ada pula wanita dari Indonesia. Toriq Hadad, Bambang Sujatmoko (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus