Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka, hidup di dunia PLN akan terus bercahaya. Demikian kira-kira yang bisa kita deskripsikan tentang reaksi gembira para karyawan dan pensiunan pegawai PLN yang bersorak-sorai di ruang sidang Mahkamah Konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi membacakan keputusannya: membatalkan Undang-Undang No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Artinya? Listrik di negeri ini tetap diurus oleh negara (dan hanya Perusahaan Listrik Negara alias PLN yang mengelolanya), bukan oleh swasta.
"Kami senang karena Mahkamah Konstitusi berhasil menyelamatkan aset negara yang hampir tergadai," kata Batara Lumbanradja, bekas pengurus Serikat Pekerja PLN yang kini menjadi staf ahli di PLN.
Acara sorak-sorai karyawan PLN ini tentu bisa dipahami. Artinya, lahan pencarian nafkah mereka aman. Tapi kita tak tahu apakah para kepala rumah tangga se-Indonesia ini juga ikut bercahaya atau tidak dengan keputusan ini. Kita tak tahu apakah jika pihak swasta yang mengelola, sudah pasti hasilnya lebih buruk daripada dikelola pemerintah. Yang jelas, kita sudah tahu bagaimana PLN sebagai pengelola listrik negara ini: tak selalu dahsyat amat (dan juga banyak kasus pencurian listrik yang tak tertangani).
Tapi kira-kira begini alasannya. Dalam sidang yang dipimpin Jimly Asshidiqie, Mahkamah menyatakan Undang-Undang No. 20/2002 tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 2. Pasal itu menyebutkan, cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Mahkamah berpendapat, listrik merupakan kebutuhan vital bagi rakyat banyak. "Sehingga dinyatakan tak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat," kata Jimly, Ketua Mahkamah Konstitusi
Permohonan hak uji material itu sendiri diajukan oleh sejumlah organisasi yang menilai undang-undang kelistrikan, jika diterapkan, bakal membuat masyarakat menderita. Organisasi itu, antara lain, Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan 324, Serikat Pekerja PLN, dan Ikatan Keluarga Pensiunan PLN. Organisasi tersebut lantas mengajukan judicial review, pengujian material, UU No. 20/2002 itu kepada Mahkamah Konstitusi. Pada 15 Oktober lalu, Mahkamah Konstitusi pun mulai menggelar sidang.
Menurut Batara, ada beberapa hal penting dalam undang-undang itu yang membuat pihaknya mengajukan judicial review. Undang-undang itu, ujarnya, selain mengubah infrastruktur PLN menjadi komoditas serta mengubah kepentingan umum menjadi bahan komoditas, juga akan berpengaruh pada penetapan harga listrik yang akan mencekik rakyat kecil. Karena, dengan undang-undang ini, menurut Batara, pihak swasta akan diberi wewenang besar untuk mengelolanya.
Koordinator Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Johnson Panjaitan, juga melihat bahaya mengancam jika sektor kelistrikan dipegang swasta. Menurut Johnson, karena berkompetisi, seharusnya harga listrik menjadi murah. Tapi kenyataannya tidak. Masyarakat harus menanggung beban tingginya harga listrik yang dikelola swasta. "Ini kan kedok yang mengatasnamakan privatisasi, padahal menjadi rampok," katanya. Alasan ini, kata Johnson, yang membuat PBHI meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang itu.
Mahkamah Konstitusi menyatakan, ada tiga pasal UU No. 20/2002 yang menyangkut sistem unbundling, pemisahan usaha ketenagalistrikan, yang sangat bertentangan dengan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Ketiga pasal itu adalah pasal 16, 17, dan 68. Namun, karena ketiga pasal itu justru merupakan jantung dari undang-undang ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan mencabut undang-undang itu secara keseluruhan. Setelah undang-undang ini dicabut, UU No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan dipakai lagi.
Jimly menekankan, UUD 1945 bukanlah menolak kompetisi, antidivestasi, ataupun privatisasi yang kini gencar dilakukan di berbagai sektor. "UUD hanya tidak mengenal pasar bebas," katanya. Konstitusi, kata Jimly, mengatur pemerintah tidak kehilangan hak dan wewenangnya dalam pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk cabang produksi menguasai hajat hidup orang banyak. Dan listrik, menurut majelis hakim, cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. "Jadi, sesuai dengan Pasal 33 UUD, listrik harus tetap dikuasai oleh negara," tutur Jimly.
Kendati UU No. 20/2002 dibatalkan, bukan berarti pembatalan tersebut berlaku surut. Berbagai kontrak dan perjanjian kerja sama yang ditandatangani berdasarkan undang-undang itu tetap diperlukan hingga habis masa kontrak atau perjanjiannya. Sekretaris Jenderal Departemen Energi, Luluk Sumiarso, yang datang dalam sidang Rabu pekan lalu itu, menyatakan menerima dan memahami putusan tersebut. Ini berbeda dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, saat mendengar putusan tersebut. "Kami akan segera menyiapkan langkah antisipasi terhadap kemungkinan dampak putusan tersebut terhadap investasi listrik," kata Yusgiantoro.
Yusgiantoro khawatir pencabutan UU No. 20/2002 itu akan menurunkan kepercayaan investor terhadap dunia usaha di Indonesia. Menurut Yusgiantoro, hingga kini pemerintah belum mampu memenuhi investasi senilai US$ 30 miliar untuk pengembangan kebutuhan PLN. Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie mengkhawatirkan putusan itu akan menghambat laju investasi yang kini mulai terasa marak kembali di Indonesia.
Tapi kekhawatiran itu dinilai Batara berlebihan. "Dengan undang-undang yang lama pun, investasi tetap masuk," ujar Batara. Direktur Utama PLN Eddie Widiono juga sependapat dengan Batara. Menurut Widiono, undang-undang PLN lama tak menutup sama sekali peluang investasi sektor swasta ke PLN. "Tidak ada masalah bagi swasta untuk bekerja sama dengan PLN," katanya. Menurut Batara, persoalan dalam UU No. 20/2002 itu sebenarnya bukan pada ada atau tidaknya investasi. Tapi, "Isu utamanya adalah soal aset dan soal divestasi aset PLN," katanya.
Batara menuturkan, dalam salah satu poin perjanjian antara Bank Dunia dan PLN disebutkan, hingga Desember 2005, PLN diwajibkan melakukan divestasi atas aset-asetnya. Perjanjian itu, ujarnya, merupakan implikasi UU No. 20/2002. "Ini berbahaya karena aset PLN akan tergadaikan," ujarnya.
Kendati Mahkamah Konstitusi telah membatalkan UU No. 20/2002, bukan berarti semuanya beres. Serikat Pekerja PLN meminta semua peraturan pemerintah yang diterbitkan berkaitan dengan undang-undang itu segera dicabut. Selain itu mereka juga meminta pembenahan manajemen di tubuh PLN. "Manajemen sekarang sudah terkontaminasi dengan UU No. 20/2002," ujar Batara.
Menurut Batara, di PLN kini ada dua kubu berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Rabu pekan lalu itu. Kubu pertama, kubu peduli dengan PLN dan menyambut positif pembatalan UU No. 20/2002, dan kubu kedua adalah mereka yang selama ini menikmati dampak undang-undang yang baru dibatalkan itu. UU No. 20/2002, ujar Batara, selama ini membuka peluang adanya proyek yang dikerjakan perusahaan lain di luar PLN. Peluang ini dimanfaatkan untuk mengeruk uang untuk kepentingan pribadi bagi mereka yang berkaitan dengan proyek tersebut. "Karena itu, kini yang terpenting adalah pembenahan manajemen PLN secara menyeluruh," kata Batara.
Sukma N. Loppies dan Muhamad Fasabeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo