Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BROWNIES Sutradara: Hanung Bramantyo Skenario: Hanung Bramantyo, Salman Aristo, Erick Sasono, Lina Nurmalina Pemain: Marcella Zalianty, Bucek Depp, Philip Jusuf-Jauw, Arie K. Untung Produksi: Sinemart
Tidak perlu ruwet-ruwet. Mengapa film ini memilih judul Brownies? Mengapa bukan getuk lindri atau putu mayang atau kelepon atau semar mendem, misalnya? Tentunya bukan karena mau sok Barat. Alasannya sederhana dan tidak penuh pretensi: sutradara Hanung Bramantyo yang asal Yogyakarta ini "menyukai legitnya kue brownies".
Jika alasannya sudah subyektif seperti ini, siapa peduli dengan judul. Pada akhirnya, kita duduk selonjor sembari makan popcorn (jagung berondong, makanan asal Amerika) sembari menyaksikan film Brownies, sebuah dongeng modern tentang seorang gadis jelita bernama Mell (Marcella Zalianty), seorang creative-director sebuah agen iklan terkemuka. Film ini dimulai dengan perjalanan Mell dari Singapura ke Jakarta. Di atas pesawat, sembari mengelus cincin tunangannya, dia menatap foto Joe (Philip Jusuf-Jauw), seorang kekasih impian: tampan, kaya-raya dengan masa depan gemilang. Ketika cinta dan fantasi itu mendarat bersamanya di tanah Jakarta, hatinya jatuh terbanting. Dia menemukan sang kekasih berendam dengan perempuan lain di kamar mandi di apartemennya.
Maka, adegan berikutnya adalah sebuah komedi kedunguan para lelaki yang tak setia: "I am sorry, Baby, did not mean to . You are the one... bla... bla... bla ." Dan semua rayuan gombal ini ditutup dengan satu kalimat tajam dari Mell, "Jadi, tadi sedang apa? Main catur?"
Selanjutnya, seperti juga semua drama-komedi yang kita kenal, plot tak menjadi penting. Yang utama adalah bagaimana sineas dan sinematografer menyajikan cerita ini. Bagaimana Mell menjalani masa patah hatinya, bagaimana sahabatnya Didi (pemain baru, Elmayana Sabrena, yang tampil luar biasa) membantu Mell menjadi gadis yang kuat, yang segera menyadari bahwa sejak dulu Joe memang seorang "playboy yang tak akan pernah stop main perempuan", dan "hanya satu yang bisa membuatnya kapok, yaitu raja singa!".
Di dalam sebuah drama, tragedi bisa menjadi komedi. Dan Hanung berhasil menyelenggarakannya. Patah hati karena tunangan yang sialan adalah sebuah tragedi, karena itu peristiwa yang merobek hati. Tetapi, itu bukan peristiwa yang harus dianggap membunuh jiwa. Get rid of those guys, and move on , demikian kira-kira Didi menjerit.
Tetapi Mell tidak bisa bergerak, dan tidak bisa melangkah dari kubangan masa lalu, meski akhirnya dia bertemu dengan Are (Bucek Depp). Kecuali ketampanannya, segala sesuatu dalam diri Are berbanding terbalik dengan mantan kekasihnya. Are seorang writer-to-be alias seniman yang tengah berjuang menyelesaikan novel perdananya. Dia membangun sebuah toko buku bersama sahabatnya. Tetapi, ada satu hal yang menyatukan mereka: brownies. Sementara Mell selalu gagal membuat brownies yang enak, Are mengaduk adonan brownies dengan dahsyat, meski anehnya, "Saya tak pernah mencicipi brownies buatan saya sejak ibu meninggal."
Ini memang bukan film ruwet dan tidak berpretensi untuk menjadi ruwet. Tetapi membuat film yang sederhana dan wajar sesungguhnya persoalan kompleks terutama. Tidak mudah berperan sebagai seorang creative-director, tidak mudah berperan sebagai gadis berusia di akhir 20-an yang sukses dalam karier dan sial dalam percintaan, dan lebih tidak mudah lagi menjadi seseorang yang tak pernah bisa memutuskan antara seorang pria kaya-raya tampan yang pandai berkata-kata dan seorang lelaki muda gondrong yang ahli membuat brownies dan masih memperjuangkan kesuksesan novel perdananya. Dan tampaknya tidak mudah pula bagi Marcella Zalianty, seorang aktris yang berbakatdan memperlihatkan sinarnya dalam film Bintang Jatuh karya Rudy Soedjarwountuk meniupkan roh bagi sosok Mell.
Sebaliknya, Elmayana Sabrena, seorang pendatang baru yang berperan sebagai sahabat Mell, adalah duo yang sungguh asyik bersama Arie Kuntjoro (dikenal sebagai VJ MTV). Pasangan ini, bersama Bucek Depp, memberi warna yang dituntut untuk sebuah drama-komedi: ringan, menyentuh, dan penuh warna.
Penata artistik Eross Eflin berhasil membangun sebuah dunia yang begitu muda dan penuh harapan: toko buku yang penuh cita-cita, kantor periklanan yang funky, dan taman tempat pertemuan para kekasih yang romantik. Sangat pas untuk tema film ini.
Beberapa bagian tak nyaman? Kecil saja. Sosok Are digambarkan terlalu penuh khotbah (dan saya berdoa agar para penulis skenario mulai belajar teknik menyunting dialog yang bikin penonton menghela napas), serta beberapa pemain tampak diarahkan untuk berbicara sembari memandang keluar jendela. Jika gaya sinetron ini dibuang, Hanung sudah siap dimasukkan dalam satu keranjang dengan para sineas Indonesia yang tengah meniupkan roh ke tubuh per-filman Indonesia.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo